Masalah pencemaran Sungai Citarum sangat kompleks dari hulu hingga hilir. Untuk itu teknologi seharusnya bisa menjadi jalan pintas untuk bisa mengurai permasalahan yang ada. Namun, pemanfaatan tersebut dinilai belum optimal. Teknologi perlu diterapkan secara masif, terutama di daerah hulu.
ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA–Warga menyaksikan pengerukan sampah dengan eskavator di aliran sungai Citarum lama atau oxbow Cicukang di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/12/2018). Tahun 2019 Pemerintah pusat akan menggelontorkan anggaran hingga Rp 640 miliar untuk pembenahan Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Utama Bidang Fisika dari Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Neni Sintawardani menyampaikan, selama ini teknologi belum dimanfaatkan secara maksimal dalam upaya memulihkan Sungai Citarum. Pemerintah dinilai belum serius melihat potensi tersebut.
“Kita sudah membuat prototype yang sudah siap dimanfaatkan, Namun, ini tidak bisa berhenti sampai di situ. Pemerintah punya peran besar agar teknologi ini bisa dimanfaatkan, bahkan di produksi secara massal oleh industri. Itu masih tantangan saat ini,” ujarnya di sela-sela kegiatan tur media di Kawasan LPTB LIPI di Bandung, Senin (25/5/2019).
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Neni Sintawardani
Kepala LPTB LIPI Srji Priatni menuturkan, pencemaran terbesar Sungai Citarum berasal dari limbah rumah tangga. Setidaknya, sekitar 60-70 persen beban pencemar di sungai sepanjang 297 kilometer ini adalah limbah rumah tangga. Limbah ini, seperti sampah dapur, limbah buang air besar, dan limbah buang air kecil.
Atas dasar itulah, LPTB LIPI berupaya membantu pemulihan Citarum dengan fokus ke daerah hulu. Setidaknya ada tiga teknologi yang siap untuk digunakan yaitu, teknologi biotoilet, teknologi biogas, dan teknologi bioplastik.
Neni menyatakan, teknologi biotoilet sudah pernah digunakan di daerah Kiaracondong, Kelurahan Sukapura, Bandung. Penerapan biotoilet atau wc pengompos ini memanfaatkan proses aerobic (proses biologis yang terdapat oksigen terlarut) untuk mengurai bahan organik dari sisa BAB menjadi bahan kompos.
Secara sistem, BAB yang dikeluarkan ditampung di bagian bawah WC yang sudah diletakkan bahan campuran kompos, seperti sekam padi, gergaji kayu, ataupun bonggol jangung. Setelah 1-2 bulan, bahan tersebut diambil untuk dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.
“Idealnya, 1-2 bulan ini untuk penggunaan satu keluarga. Tidak ada bau yang ditimbulkan karena ada proses pembusukan dari mikroorganisme. Yang penting jangan disiram pakai air,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Maket teknologi biogas dari pengolahan limbah industri tahu yang dikembangkan oleh Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Teknologi ini sangat efektif digunakan, khususnya di daerah yang fasilitas sanitasinya sangat buruk. Di daerah Kiaracondong, 57 persen buangan WC langsung menuju ke sungai Sekewaluh yang mengalir ke Sungai Ciduarian, Anak Sungai Citarum. Namun, keberlanjutan penggunaan biotoilet di wilayah itu tidak terjadi. Kesadaran masyarakat dan pemerintah setempat untuk mengembangkan teknologi ini tidak muncul.
Selain biotoilet, teknologi lainnya adalah biogas. Teknologi ini dimanfaatkan untuk mengolah limbah kotoran hewan dan limbah indutri pangan seperti tahu dan tempe. Teknik yang digunakan secara anaerobik atau proses tanpa oksigen.
Sisa limbah dari pabrik tahu di suatu kawasan akan ditampung dalam satu kolam. Kemudian ampas limbah akan dialirkan ke tangki aqualizer dan proses berlanjut ke enam reactor anaerobic. Setelah itu, gas akan disimpan sehingga siap dialirkan ke rumah penduduk.
Dari 18-20 meter kubik limbah cair yang dihasilkan per hari bisa menghasilkan 120 meter kubik biogas per hari. Jumlah ini bisa dimanfaatkan sekitar 80 rumah penduduk. Teknologi sudah berjalan di Giriharja, Sumedang, Jawa Barat. “Sebelumnya sudah sempat mau kerjasama dengan pemerintah Bandung untuk pabrik di sekitar Citarum, namun tidak disediakan lahan,” kata Neni.
Plastik organik
Teknologi lain yang juga dikembangkan oleh LPTB LIPI untuk mencegah pencemaran di Sungai Citarum adalah teknologi bioplastik. Melalui teknologi ini bisa menghasilkan kantong plastik yang berbahan dasar organik, yakni pati singkong. Dengan begitu, plastik mudah terurai dan tidak mencemari sungai, bahkan laut.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Willy Cahya Nugraha
Peneliti LPTB LIPI Willy Cahya Nugraha menyampaikan bioplastik bisa menjadi alternatif untuk menggantikan plastik konvensional. Bioplastik yang diolah dari bahan dasar pati singkong ini mudah diurai oleh mikroba alami. Menurutnya, potensi bioplastik sangat besar untuk menanggulangi pencemaran lingkungan akibat sampah plastik.
Willy berpendapat, pemanfaatan bioplastik yang belum maksimal karena belum adanya regulasi yang kuat untuk mengatur bioplastik ini. Padahal, sebagai penghasil singkong nomor tiga setelah Thailand dan Nigeria, Indonesia mudah untuk mengembangkannya. Jika volume produksi bisa optimal, harga bioplastik bisa lebih murah. Saat ini, satu kantong bioplastik masih empat kali lipat lebih mahal dari plastik konvensional.
“Tantangan lain karena kandungan bioplastik tidak tahan air. Untuk itu, kami terus mengembangkannya, termasuk pemanfaatan untuk menjadi wadah makanan pengganti styrofoam,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Editor M FAJAR MARTA
Sumber: Kompas, 25 Maret 2019