Pemerintah Dinilai Tutup Mata pada Pencemaran Industri
Hasil pemantauan lebih dari 500 titik sampel di 57 sungai utama di seluruh Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan kualitas air sungai dari tahun ke tahun. Saat ini, 80 persen titik sampel menunjukkan kualitas sungai tercemar berat. Pemulihan membutuhkan kerja sama multipihak dari hulu ke hilir.
”Sungai-sungai kita sudah sangat tercemar. Sumbernya dari limbah domestik karena temuan bakteri Escherichia coli yang tinggi di air,” kata Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, saat membuka Rapat Kerja Teknis Pemantauan Kualitas Air Sungai di Seluruh Indonesia, Senin (24/3), di Bengkulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegiatan itu dihadiri Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim), Iskandar Zulkarnaen (Deputi Ilmu Kebumian LIPI), dan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah.
Temuan itu dinilai mengkhawatirkan. Tahun lalu, 76 persen titik sampel tercemar berat penyebabnya juga limbah domestik. Balthasar mengatakan, perilaku masyarakat yang menjadikan sungai sebagai jamban dan tempat sampah raksasa harus diubah. Ia menyadari, mengubah perilaku perlu ketersediaan fasilitas sanitasi mandi-cuci-kakus memadai.
Secara terpisah, Ahmad Ashov Birry, Pengampanye Detox dari Greenpeace Indonesia, mengatakan, hasil pemantauan ini menunjukkan, pemerintah terus menutup mata terhadap pencemaran sungai dan air oleh bahan kimia berbahaya industri. ”Terus saja salahkan masyarakat ketimbang menghadirkan solusi konkret,” katanya.
Lebih baik mencegah
Ashov mendesak Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan pencegahan polusi dibandingkan dengan mengandalkan pendekatan kontrol polusi. Pendekatan kontrol polusi mendasarkan pada baku mutu, artinya mengizinkan pemasukan bahan berbahaya beracun sampai batas tertentu, bukan mencegah masuk. Sistem itu meliputi parameter dan jenis bahan kimia terbatas; tidak merefleksikan kompleksitas limbah industri dan beragam bahan kimia berbahaya dari industri.
Henry Bastaman, Deputi Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas KLH, mengatakan, kriteria pemantauan sejak 2008 didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pemantauan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Saat mengukur kualitas sampel, air yang tercemar E coli langsung diklasifikasikan tercemar.
Pemantauan dilakukan mulai dari Kali Krueng Tamiang di Aceh hingga Kali Fly di perbatasan Papua-PNG. Pengambilan contoh dilakukan petugas Badan Lingkungan Hidup Daerah minimal 21 parameter terukur. Parameter di lapangan adalah tingkat keasaman, temperatur, daya hantar listrik, total padatan terlarut, oksigen terlarut, dan debit air. Contoh yang diperiksa di laboratorium adalah total padatan tersuspensi, total fosfor, BOD/COD, nitrit, nitrat, amonia, klorin, fenol, minyak/lemak, detergen, fecal coli, total coli, sianida, dan sulfida.
Hasil pengukuran mineral menunjukkan pencemaran limbah industri. Namun, jumlahnya tak banyak. (ICH)
Sumber: Kompas, 26 Maret 2014