Pemanasan global telah memicu perubahan lingkungan dan kehidupan, tetapi target penurunan emisi menjauh dengan kenyataan sehingga memicu kecemasan dan gerakan sosial. Ribuan pengunjuk rasa, didominasi remaja dan anak-anak dari berbagai negara termasuk Greta Thunberg dari Swedia, turun ke jalan di Madrid pada hari Jumat (6/12) malam.
Di tengah suhu dingin, masyarakat di Madrid dan berbagai negara melakukan protes hingga menjelang tengah malam dengan membawa berbagai poster yang mengecam lambatnya negosisasi terkait perubahan iklim. Aksi ini diinisiasi oleh gerakan Fridays for Future atau Strike for Climate, gerakan yang diinspirasi oleh protes yang dilakukan Thunberg.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup di Bumi dengan target penurunan emisi yang senjang dengan kenyataan telah memicu gerakan sosial. Ribuan aktivis, yang didominasi remaja dari sejumlah negara, termasuk Greta Thunberg dari Swedia, serentak turun ke jalan-jalan di Madrid pada Jumat (6/12/2019). Mereka menuntut tindakan segera terhadap krisis iklim dari para pemimpin dunia yang menghadiri Konfrensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Thunberg sebelumnya dalam perjalanan ke Chile dengan perahu ketika lokasi Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP25) dipindah ke Madrid. Remaja yang menolak menggunakan pesawat terbang dengan alasan tidak mau menambah jejak emisi karbon ini kemudian menumpang kapal katamaran ke Eropa.
Dia berlabuh di Lisabon, Portugis, pada Kamis dan kemudian melanjutkan dengan kereta api ke Madrid dan tiba pada Jumat pagi. ”Satu-satunya yang ingin kita lihat adalah aksi nyata,” kata Thunberg.
KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO–Sesaat sebelum diguyur hujan, awan hitam disertai kilatan petir menghiasi langit di kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (30/11/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan puncak musim hujan akan berlangsung mulai Februari 2020 di wilayah DKI Jakarta.
Dalam manifesto mereka, kelompok-kelompok yang terlibat dalam pawai menyampaikan pesan kepada para pembuat keputusan dari hampir 200 negara yang menghadiri KTT PBB di Madrid untuk segera membuat aksi nyata terhadap perubahan iklim yang telah mengarah pada darurat iklim.
Gerakan sosial yang dimotori anak-anak dan remaja ini sangat beralasan karena menurut UNICEF anak-anak paling terdampak dengan perubahan ini. ”Anak-anak paling terdampak siklon, banjir, hingga kebakaran hutan yang dipicu perubahan iklim. Hal ini mengancam kesehatan, pendidikan, dan bahkan masa depan kehidupan mereka,” kata Gautam Narasimhan, Penasihat Senior tentang Perubahan Iklim UNICEF. Sebanyak 503 juta anak-anak saat ini tinggal di zona berisiko iklim ekstrem.
Gautam menembahkan, anak-anak saat ini menjadi aktor penting dalam merespons krisis iklim. ”Kita berutang kepada mereka untuk mendorong semua upaya mencari solusi secara berbeda, seperti mengurangi kerentanan bencana, memperbaiki manajemen sumber air, dan memastikan pembangunan ekonomi tidak lagi menghancurkan keberlangsungan lingkungan hidup,” katanya.
Dampak nyata
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) saat ini dampak perubahan iklim sudah semakin nyata seiring dengan kenaikan suhu yang sudah mencapai 1,1 derajat celsius hingga Oktober 2019 dibandingkan tahun 1850-1990. Perubahan ekologi itu telah terjadi di daratan dan di lautan, seperti dilaporkan IPCC pada Agustus dan September 2019 lalu.
FILIPPO MONTEFORTE / AFP–Orang-orang berjalan di atas jembatan kayu di depan Basilika St Marco, Venezia, Italia, yang mengalami banjir pada Kamis (14/11/2019). Sebagian besar Venezia terendam banjir setelah gelombang pasang tertinggi dalam 50 tahun menghantam Venezia.
Dampak tersebut antara lain meningkatnya intensitas bencana, kekacauan iklim yang mengancam penyediaan makanan, penurunan keberagaman hayati, hingga pengasaman lautan yang bisa mengubah seluruh kehidupan di Bumi.
”Kenaikan suhu 1,5 derajat saja sudah membawa dampak serius di Bumi. Tetapi, tentu saja lebih baik dibandingkan penambahan suhu 2 derajat celsius,” kata Kepala Komunikasi IPCC Jonathan Lynn saat ditemui pada Sabtu (7/12).
Pengamatan juga menunjukkan tanda-tanda pemanasan yang berkelanjutan, sementara kenaikan permukaan laut semakin cepat. Greenland dan sebagian lapisan es Antartika menunjukkan ketidakstabilan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Penambahan tinggi permukaan laut yang dulu terjadi setiap 100 tahun dapat dialami setiap tahun di kota-kota besar di seluruh dunia pada tahun 2050.
Padahal, laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan, saat ini terjadi kesenjangan besar antara apa yang telah dilakukan oleh negara-negara dengan target penurunan emisi untuk menjaga pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. Produksi bahan bakar fosil global harus lebih dari setengahnya pada tahun 2030 untuk tetap menjaga kenaikan suhu tesebut, dan hal ini sangat sulit dilakukan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Anak muda dilibatkan dalam sebuah aksi peduli lingkungan di Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2019). Keterlibatan mereka dibutuhkan untuk terus menyerukan isu perubahan iklim yang menjadi sebuah ancaman besar masa depan.
Negosisasi dalam UNFCCC-COP25 yang telah dimulai sejak Senin (2/12) lalu untuk menetapkan aturan internasional baru terkait pasar karbon dan bagaimana membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim belum menunjukkan progres. Masih banyak ketidakjelasan terkait skema perdagangan emisi dan bagaimana menghindari penghitungan ganda dari pengurangan emisi yang diperdagangkan.
Banyak negara yang rentan terdampak perubahan iklim mendesak mekanisme keuangan baru untuk membayar kerugian akibat meningkatnya intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi, seperti angin topan dan banjir, serta masalah jangka panjang.
Meski demikian, sejumlah negara maju yang berpengaruh, terutama Australia, Jepang, dan Amerika Serikat, menolaknya. Bahkan, AS menarik diri dari Perjanjian Paris yang telah menyepakati kenaikan suhu tidak melebihi 2 derajat celsius, dan mengupayakan 1,5 derajat celsius, dibandingkan pre-Revolusi Industr sekitar tahun 1850-1900.
Kesepakatan tentang masalah-masalah ini akan meningkat minggu depan. Apa pun yang mereka putuskan akan menentukan jalan menuju pembicaraan berikutnya di COP25 di Inggris, saat negara-negara dituntut mengadopsi target yang lebih ambisius untuk menurunkan emisi karbon. Keputusan yang tidak progresif akan mempercepat dampak perubahan iklim dan dikhawatirkan akan memicu gejolak sosial lebih besar.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 8 Desember 2019