Sampah yang selama ini menjadi masalah dapat menjadi sumber energi alternatif setelah melalui pemrosesan tertentu. Sampah yang dibakar dengan suhu tinggi dapat menghasilkan bahan bakar minyak dan gas untuk pembangkit listrik.
Sekelompok pemuda yang tergabung dalam Lembaga Riset Muda Indonesia (LRMI) melakukan riset selama enam bulan dan menemukan sistem yang diberi nama Clean, Green, Convert (CGC) Energy.
Sistem itu memungkinkan sampah dimusnahkan dalam waktu cepat lewat pembakaran suhu tinggi dengan cara ramah lingkungan, bahkan menghasilkan energi baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti dari LRMI, Nur Firdaus, memaparkan, prinsip yang digunakan dalam CGC berbeda dengan prinsip insinerasi (pembakaran) yang membutuhkan bahan bakar minyak atau energi listrik untuk membakar dan menghasilkan gas beracun pada prosesnya. CGC berbeda dengan gasifikasi yang membutuhkan sampah homogen, harus dicacah, dan sampah harus dalam kondisi kering.
”Ini modifikasi dari gasifikasi. Sistem ini memungkinkan segala jenis sampah, baik organik maupun anorganik, baik basah maupun kering, dapat dibakar tanpa harus dipilah terlebih dahulu. Selain itu, instalasi ini tidak membutuhkan bahan bakar minyak atau listrik untuk operasionalnya,” kata Firdaus.
Teknologi pembakar sampah yang diberi nama CGC itu merupakan teknologi kompak memanfaatkan tungku yang terbuat dari bata tahan api.
Firdaus mengibaratkan proses yang terjadi di dalam tungku pembakar berukuran 2 meter x 2 meter x 4 meter itu seperti proses dalam perut bumi. Dengan suhu sekitar 800 derajat celsius, begitu sampah dimasukkan ke dalam tungku, belum sampai di dasar, sampah sudah terbakar dan terurai.
Suhu tinggi didapat dari konstruksi ruang pembakaran yang terisolasi sempurna. Seluruh konstruksi dan sistem yang ada saling terkait untuk memungkinkan terjadinya suhu tinggi.
Di dalam tungku, ada api/magma yang terus menyala selama ada sampah yang dibakar. Zat beracun seperti dioksin dan furan yang biasa dihasilkan dari proses insinerasi dibakar lagi melalui proses yang berlapis. Asap hasil pembakaran dipilah untuk masuk ke alat pemisah racun, penangkap asap, dan pengumpul asap. Zat beracun akan keluar dalam bentuk cair dan dapat dimanfaatkan untuk insektisida. Sisa pembakaran 2 persen menjadi abu.
Asap yang ditangkap oleh pengumpul asap dialirkan melalui pembersih asap menjadi gas bersih. Gas ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan generator yang menghasilkan listrik.
Adapun gas bersih yang didinginkan melalui instalasi pipa akan keluar dalam wujud minyak mentah. Jika diolah lebih lanjut, dapat menjadi bensin, solar, dan minyak tanah.
Pembangkit listrik
Firdaus menyatakan, dengan sistem ini, 20 ton sampah dapat menghasilkan energi listrik sebesar 250 kVA dan 2.000 liter BBM. Dibutuhkan investasi sebesar Rp 3 miliar untuk pemasangan instalasi di tingkat tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Hal ini masih lebih murah dibandingkan dengan investasi listrik mikrohidro yang mencapai Rp 8 miliar dan menghasilkan listrik dalam jumlah yang sama.
Tak hanya di TPA, sistem ini juga memungkinkan diterapkan di tingkat komunitas. Tentu biayanya lebih ringan. Pondok Pesantren (Ponpes) Bina Insani di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sudah merasakan manfaatnya.
Kepala Ponpes Bina Insani Muhammad Munzaini menyebutkan, awalnya pihak ponpes kewalahan menangani sampah dari penghuni ponpes tersebut. Setidaknya ada enam gerobak sampah per hari. Selama ini sampah itu hanya dikumpulkan untuk dibakar.
Hal itu menimbulkan protes masyarakat sekitar karena terganggu asap pembakaran. Pemusnahan sampah tidak maksimal, masih banyak yang tidak habis terbakar. Kini, dengan proyek CGC Energy yang ada di halaman ponpes, seluruh sampah habis dibakar, bahkan kini kekurangan sampah untuk dibakar.
”Kami memang belum memanfaatkan minyak atau gas yang dihasilkan. Namun, insektisida sudah banyak diambil petani untuk membasmi hama dan rayap. Setelah masalah sampah terpecahkan, hasil pembakaran akan kami sambungkan generator dengan instalasi listrik di sekolah dan di rumah- rumah sekitar,” kata Munzaini.
General Manager PT PLN Distribusi Jateng dan DIY Djoko Abumanan, yang berkunjung untuk melihat sistem itu, menyatakan, PLN siap membeli listrik yang dihasilkan komunitas. Listrik yang dihasilkan dari sampah akan dibeli Rp 1.450 per kilowatt hour (kWh).
”Sistem ini sangat baik diterapkan di komunitas masyarakat. Harapan kami, masyarakat tidak makin konsumtif menggunakan listrik. Dengan menghasilkan listrik sendiri dan menjual ke PLN, diharapkan masyarakat terdorong untuk menghemat energi,” kata Djoko.
CGC merupakan salah satu dari beberapa hasil riset LRMI, sebuah lembaga swasta yang bergerak di bidang penelitian. Kegiatan itu, menurut Firdaus, bertujuan memotivasi anak muda untuk menghasilkan penelitian yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Amanda Putri
Sumber: Kompas, 19 Juli 2013