Merkuri mengancam kesehatan generasi mendatang karena bersifat persisten, terakumulasi, dan lintas generasi. Kandungan merkuri yang di atas baku mutu ditemukan pada air, tanah, dan udara, serta rantai makanan. Kalau negara tak segera mengaturnya, masa depan negara bisa hancur.
Di lokasi-lokasi penambangan emas skala kecil (PESK) ditemukan kadar merkuri yang jauh melebih batas baku mutu, di air, tanah, udara, dan rantai makanan. Riset oleh Balifokus dilakukan di tiga lokasi PESK, yakni Sekotong, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bombana (Sulawesi Tenggara), dan Cisitu (Banten).
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil sampel biomarker (penanda kadar merkuri dalam tubuh), air, udara, dan tanah di Poboya (Sulteng), dan Gunung Botak (Maluku).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami mengambil sampel kuku, darah, rambut dari beberapa lokasi. Hasilnya, di atas ambang baku mutu. Kami mengambil sampel air juga di atas baku mutu,” kata Karliansyah, pelaksana teknis Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya yang juga Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Minggu (17/9) di Jakarta.
Beberapa hasilnya, kadar 49 mikrogram (µg)/l. Ambang batas ditetapkan WHO adalah 5-10 µg/l. Di lokasi itu, dampak merkuri berupa tremor dan rahang menghitam. “Dari sampel tanah dan udara belum melampaui ambang batas, tetapi jika tak dicegah akan ikut pola air,” ujarnya.
Karliansyah menambahkan, kemungkinan mereka yang di luar lokasi terpapar merkuri karena PESK berdampingan dengan sawah. “Ini serupa kasus di Kumamoto-perfektur kota Minamata tempat kasus Merkuri dikenalkan pertama kali di dunia -karena merkuri masuk dalam tanah. Jika semua medianya tercemar, juga orangnya, tamat kita (sebagai bangsa),” ujarnya.
“Pemantauan terhadap pencemaran amat lemah. Pengawasan logam berat dalam bahan makanan belum dilakukan, padahal riset kami menemukan cemaran merkuri amat tinggi pada beras yang dikonsumsi masyarakat sekitar penambangan emas,” kata Yuyun Ismawati dari BaliFokus.
Perempuan usia subur
Studi IPEN (International POPs Elimination Network) atau jaringan masyarakat sipil global dan lingkungan global dan Biodiversity Research Institute tahun 2017 di 25 negara termasuk di Indonesia, menemukan paparan merkuri pada perempuan usia subur tinggi.
Di Indonesia, studi dilakukan dengan mengumpulkan sampel rambut dari 67 perempuan usia subur di dua lokasi pertambangan emas skala kecil di Pongkor, Kabupaten Bogor, dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Dari 97 persen dari sampel rambut di Indonesia, kadar merkuri di atas ambang batas 1 ppm (part per million) yang dianjurkan WHO. Semua sampel yang dikumpulkan di Indonesia memiliki kadar merkuri di atas rata-rata 6 ppm.
“Padahal, tiap konsentrasi merkuri di rambut ibu hamil naik 1 ppm, potensi IQ (tingkat kecerdasan) anak turun 1,8 poin dari angka normal,” ujarnya.
Di lokasi-lokasi pengolahan emas tradisional ini ditemukan tingginya kecacatan janin yang diduga akibat paparan merkuri. “Di area Cisitu, menurut observasi 2 tahun (2014-2016), kasus bayi lahir cacat 14 anak per 1.000 orang. Belum dipastikan ini terkait paparan merkuri,” ujarnya.
Kasus penyakit kronis keracunan merkuri, di lokasi tambang 15-20 persen populasi. “Dari penelusuran kadar merkuri di rambut atau kuku, ditemukan itu,” kata Yuyun. (ISW/AIK)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2017, di halaman 10 dengan judul “Merkuri Mengancam Generasi Mendatang”.
—————-
Beras dan Ikan Tercemar Merkuri
Prioritaskan Pemantauan pada Makanan
Logam berat merkuri diidentifikasi telah mencemari ikan dan beras. Namun, pemantauan merkuri pada bahan makanan masih belum intensif dilakukan. Setelah ratifikasi Konvensi Minamata, pemerintah diharapkan memprioritaskan pemantauan logam berat.
“Selama ini pemantauan terhadap pencemaran amat lemah. Untuk logam berat dalam bahan makanan belum dilakukan, padahal riset kami menemukan ada cemaran merkuri amat tinggi pada beras yang dikonsumsi masyarakat sekitar penambangan emas,” kata Yuyun Ismawati dari Bali Fokus, pada Jumat (14/9), saat dihubungi dari Jakarta.
Cemaran merkuri dalam beras ditemukan di Kasepuhan Cisitu (Jawa Barat), Pongkor (Bogor-Jawa Barat), Sekotong (Lombok Barat), dan Bombana (Sulawesi Tenggara). Cemaran merkuri pada beras di Cisitu adalah yang tertinggi, 1.800 bagian per miliar (part per billion/ppb). Padahal, standar aman kandungan merkuri dalam beras dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) adalah 30 ppb dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 50 ppb.
Dewi Krisnayanti, yang meneliti beras di Sumbawa Barat dan Lombok Barat, mengungkapkan, “Merkuri pada beras yang pernah saya teliti tahun 2012, yang tertinggi sekitar 10 kali ambang batas dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).”
Ia menjelaskan, sifat merkuri amat spesifik, berbeda dengan logam lain. Merkuri yang bersifat anorganik bisa berubah di tanah dan di air menjadi metilmerkuri (MeHg) bersifat organik. “Maka dia bisa terserap tanaman seperti halnya zat hara lain. Sifat itu tak ada pada logam lain. Selain padi, juga tanaman sayuran bisa menyerap MeHg,” ujarnya.
Lebih lama
Dampak dari mengonsumsi beras atau sayuran yang mengandung merkuri lebih lama muncul daripada dampak terhadap penambang yang setiap hari kontak langsung dengan merkuri. Sementara kasus penyakit kronis keracunan merkuri di lokasi pertambangan itu diperkirakan 15-20 persen populasi.
“Dari biomarker atau penelusuran kadar merkuri di tubuh (rambut atau kuku) memang ditemukan. Sebagian di antara mereka sudah meninggal, tetapi tak mudah mengaitkan langsung kematian mereka dengan paparan merkuri.” ujarnya.
Menurut Dewi, dampak terhadap penambang terjadi lebih cepat daripada mereka yang mengonsumsi beras. “Kita bisa melihat dampaknya dalam lima tahun. Kalau tremor-tremor saja sudah bisa terlihat,” katanya.
Alternatif pengganti merkuri dalam pertambangan emas adalah sianida yang bisa terurai jadi karbon dan nitrogen. “Dampak ke lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan merkuri, tetapi proses mendapatkan hasil lebih lambat. Jika memakai proses sianidasi, pemerintah harus memiliki regulasi kuat untuk manajemen limbahnya,” kata Dewi.
Ikan dan kerang
Menurut kajian Etty Riani, dosen dan peneliti di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), cemaran merkuri dan berbagai logam berat lain telah ditemukan pada ikan dan kerang di sejumlah perairan Indonesia, salah satunya yang tertinggi di Teluk Jakarta.
“Kandungan merkuri yang tinggi telah menyebabkan kecacatan pada beberapa biota laut. Sangat berbahaya jika dimakan,” kata Etty.
Kepala Humas Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nelly L Rachman memaparkan, lembaganya sejauh ini tak memantau logam berat pada bahan makanan seperti kerang dan beras. “Kami hanya memantaunya pada bahan makanan olahan yang dikemas,” ujarnya.
Pemantauan logam berat pada bahan makanan seharusnya dilakukan kementerian terkait. Untuk beras oleh Kementerian Pertanian dan ikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Dalam praktiknya, ini belum dilakukan. Ikan yang akan diekspor justru diperiksa, sedangkan untuk konsumen dalam negeri tidak,” kata Yuyun.
Peneliti Balai besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Dwiyitno, mengatakan bahwa pemantauan logam berat pada ikan sejauh ini tak dilakukan intensif. Pemantauan itu hanya sebatas riset dan tidak periodik.(AIK/ISW)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Beras dan Ikan Tercemar Merkuri”.
————————
Antisipasi Dampak Cemaran Merkuri
Paparan pada Perempuan Indonesia Terparah
Perempuan di Indonesia memiliki tingkat keterpaparan merkuri tertinggi dibandingkan dengan 24 negara lain yang diteliti secara global. Hal itu membahayakan kesehatan mereka dan janin.
Pencemaran merkuri ke lingkungan yang lalu terakumulasi pada manusia terutama berasal dari penambangan emas skala kecil (PESK). Namun, sumber pencemarnya bisa berasal dari industri, terutama dari emisi pembangkit listrik batubara yang masuk ke lautan dan terakumulasi pada biota laut.
Demikian hasil studi terbaru International POPs Elimination Network (IPEN) atau jaringan masyarakat sipil dan lingkungan global bersama Biodiversity Research Institute (BRI). Hasil studi itu dipaparkan Toxic Program Manager BaliFokus Krishna Zaki di Jakarta, Senin (18/9).
Studi IPEN dan BRI dilakukan terhadap 1.044 perempuan berusia 18-44 tahun di 25 negara, termasuk Indonesia. “BaliFokus mengambil sampel bagi studi ini di Indonesia. Yang diuji ialah kadar merkuri di rambut,” ujarnya. Studi di Indonesia dilakukan terhadap 67 perempuan di lokasi PESK di Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Hasilnya, rata-rata kadar merkuri pada responden di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan di negara lain.
“Sebanyak 97 persen merkuri pada sampel perempuan di Indonesia melebihi ambang batas aman 1 part per million atau bagian per juta (ppm) atau 100 persen bagi batas aman 0,58 ppm,” kata Krishna. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan Myanmar yang menempati urutan kedua dengan 93 persen sampel melebihi ambang batas 1 ppm disusul Kenya 44 persen.
Sejumlah studi menyebut, kadar merkuri dalam tubuh di atas 1 ppm bisa memicu kerusakan otak, penurunan kecerdasan, serta kerusakan ginjal dan jantung. Sementara kerusakan neurologis pada janin bisa dimulai pada kadar merkuri di atas 0,58 ppm.
Studi terpisah dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di sekitar lokasi penambangan emas kecil di Lebak, Banten, tahun 2016. Hasilnya, 77,9 persen dari sekitar 100 warga yang diperiksa punya kadar merkuri pada rambut di atas ambang batas.
Data itu diungkapkan Retno Siswantari dari Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kemenkes yang datang dalam presentasi BaliFokus. “Secara nasional, kami belum punya data cemaran merkuri pada manusia, tetapi studi lokasi ada, terbaru yang di Lebak itu,” ucapnya.
Pencemaran industri
Penasihat senior BaliFokus, Yuyun Ismawati, mengatakan, sumber pencemaran utama merkuri diidentifikasi dari pemanasan merkuri di PESK. Dari studi IPEN dan BRI ini ditemukan cemaran merkuri pada manusia juga terjadi di negara yang tak punya penambangan emas skala kecil atau industri berat di sekitarnya, antara lain negara-negara Kepulauan Pasifik, seperti Kiribati, Tonga, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu.
Dari 239 responden dari Kepulauan Pasifik, 86 persen tingkat merkurinya melebihi ambang batas 1 ppm. “Diduga kuat, hal ini karena tingginya konsumsi ikan di negara-negara Kepulauan Pasifik. Ini menjadi peringatan bahwa cemaran merkuri bisa dari sumber jauh,” ujarnya.
Industri paling berpotensi menyebarkan merkuri dalam jangkauan luas ialah emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dan industri semen. “Dua industri ini diidentifikasi mengeluarkan partikel mengandung merkuri, jatuh ke laut, lalu dikonsumsi ikan. Dugaan kami, tingginya cemaran merkuri di Teluk Jakarta disumbang PLTU di dekatnya,” kata Yuyun.
Dengan maraknya pembangunan PLTU batubara dan industri semen di Indonesia, cemaran merkuri dikhawatirkan meluas dan sulit diatasi. Cemaran merkuri ke rantai makanan di perairan terakumulasi dan masuk ke tubuh manusia. “Sebagai penerapan Konvensi Minamata, sumber pencemar merkuri harus diidentifikasi,” ucapnya. (AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 10 dengan judul “Antisipasi Dampak Cemaran Merkuri”.
———————-
Merkuri Pembunuh Senyap
Bocah perempuan berusia lima tahun itu, dibawa ke Rumah Sakit Perusahaan Chisso di Kota Minamata, Kumamoto, Jepang, 21 April 1956. Dokter bingung dengan gejalanya yang aneh; sulit berjalan dan bicara, serta kejang-kejang.
Dua hari kemudian, adik perempuannya mengalami sakit yang sama, disusul delapan pasien lagi. Jumlah korban terus bertambah dan sebagian meninggal. Penyakit ini-kemudian dikenal sebagai penyakit minamata-juga menjangkiti kucing dan burung liar di sekitar Teluk Minamata.
Riset dari Universitas Kumamoto dan sejumlah peneliti menemukan kaitan penyakit dengan pencemaran merkuri organik atau methylmercury oleh perusahaan kimia Chisso ke Teluk Minamata. Merkuri (Hg) yang semula bersifat anorganik berubah menjadi Metil merkuri (MeHg) yang bersifat organik ketika masuk ke air atau tanah. Begitu menjadi Metil merkuri, logam berat beracun ini dengan mudah terserap dalam organisme.
Temuan itu semula disangkal. Selama investigasi, Chisso bahkan mengalihkan pembuangan ke Sungai Minamata. Pencemaran merkuri organik ke pesisir Minamata meluas. Baru 26 September 1968 atau 12 tahun sejak korban pertama ditemukan, Pemerintah Jepang akhirnya mengakui, penyakit minamata disebabkan pencemaran merkuri organik dari Chisso.
Tahun 2001, Pemerintah Jepang resmi mengakui jumlah korban tragedi Minamata mencapai 2.265 orang, dan 1.784 orang di antaranya telah meninggal. Namun, 17.128 korban lainnya masih berjuang menuntut pengakuan dan kompensasi.
Hingga kini, dampak buruk cemaran merkuri masih menghantui. Banyak anak-anak Minamata cacat fisik maupun mental karena selama kehamilan orangtua mereka teracuni merkuri.
Konvensi Minamata
Tragedi Minamata membuka mata dunia tentang bahaya pencemaran merkuri ke alam. Pada 19 Januari 2013, United Nations Environment Programme (UNEP) menginisiasi konvensi untuk mengatur peredaran dan penggunaan merkuri.
Namun, upaya menghapus penggunaan merkuri tidaklah mudah. Logam berat ini memiliki variasi kegunaan dalam industri modern, dari industri klorin, fungisida pertanian, cat, industri kertas, baterai, penambal gigi, hingga kosmetik.
Di Indonesia, salah satu konsumen terbesar merkuri selain industri adalah penambang emas skala kecil (PESK), untuk memurnikan emas. Berdasarkan data Asosiasi Petambang Rakyat Indonesia, kebutuhan merkuri untuk ribuan PESK di Indonesia mencapai 3.500 ton per tahun.
Indonesia termasuk salah satu titik panas peredaran merkuri. Selain jadi pengguna, Indonesia juga merupakan produsen merkuri. Sejak lima tahun terakhir, Indonesia yang semula jadi pengimpor merkuri berbalik jadi pengekspor. Itu setelah ditemukannya batuan sinabar (cinnabar) atau Merkuri sulfida sebagai bahan baku.
Bahan baku merkuri yang amat beracun ini terutama ditambang dari Pulau Seram dan diolah di Jawa. Produksi dan perdagangan merkuri di Indonesia itu tak tercatat resmi di Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Perdagangan (Kompas, 19 Mei 2017). Namun, United Nations International Trade Statistics Database (UN Comtrade) mencatat, tahun 2015 ekspor merkuri dari Indonesia ke sejumlah negara mencapai 567,53 ton dan pada 2016 mencapai 1.300 ton.
Tingginya peredaran merkuri di Indonesia seiring temuan terbaru International POPs Elimination Network (IPEN) atau jaringan masyarakat sipil dan lingkungan global bersama Biodiversity Research Institute (BRI). Sebanyak 97 persen perempuan di sekitar penambangan emas Pongkor, Kabupaten Bogor, dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, kadar Merkuri di rambut melebihi ambang batas aman 1 bagian per juta (part per million/ppm). Tertinggi dibanding 24 negara lain yang diteliti.
Penelitian BaliFokus juga menemukan merkuri di atas ambang batas pada beras di sekitar pengolahan emas. Sementara kajian Etty Riyani dari Institut Pertanian Bogor menemukan kandungan merkuri di atas ambang batas pada kerang dan ikan di beberapa perairan, terutama di Teluk Jakarta.
Yuyun Ismawati dari BaliFokus bahkan menemukan warga di beberapa lokasi penambangan emas mengalami gejala keracunan merkuri dan sebagian meninggal. Indikasi kelahiran bayi cacat pun meningkat. Namun, data resmi tak ada.
Akhirnya, setelah tiga tahun menandatangani Konvensi Minamata, Indonesia meratifikasinya, Rabu (13/9). Itu jadi langkah maju, tetapi tantangan terberat sebenarnya penerapannya dalam kebijakan dan hukum. Sebagai pembunuh senyap, banyak orang tak sadar bahaya merkuri karena dampaknya tak seketika.–AHMAD ARIF
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Merkuri Pembunuh Senyap”.
——————
Indonesia Jadi Produsen Utama Merkuri Dunia
Laporan terbaru Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2017 menempatkan Indonesia sebagai penghasil utama merkuri dunia. Sumber utama merkuri di Indonesia didapat dari penambangan dan pengolahan batu sinabar di daerah.
Dalam dokumen yang dirilis pekan ini oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Program/UNEP) disebutkan, produksi merkuri di Indonesia mulai dilakukan pada 2012 dan terindikasi meningkat. Peningkatan produksi itu terlacak dari volume ekspor merkuri Indonesia di pasar global.
Sebelumnya, Indonesia jadi pengimpor merkuri. Namun, sejak 2012 Indonesia mengekspornya dengan volume 20 ton tahun ini. Pada 2015, ekspor merkuri dari Indonesia naik mencapai 284 ton. Sebagian besar merkuri Indonesia dikirim ke Singapura, Hongkong, Swiss, dan Vietnam.
Pada 2015, produksi merkuri dari penambangan batu sinabar di Indonesia diperkirakan 400- 500 ton dan diperkirakan terus meningkat. Jumlah itu termasuk tertinggi di dunia setelah China (800-1000 ton) dan Meksiko (400-600 ton).
Koodinator Jaringan Tambang (Jatam) Merah Johansyah, di Jakarta, Kamis (21/9), mengkhawatirkan peningkatan penambangan batuan sinabar, bahan tambang beracun ini. “Informasi yang kami kumpulkan, penambangan batu cinnabar ini terutama ada di Desa Iha, Luhu, dan Kulur, di Kecamatan Huamal Muka, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku,” ujarnya.
Ada kaitan penambangan sinabar di Pulau Seram dengan penambangan emas di sejumlah daerah, terutama di Gunung Botak, Maluku. “Perdagangan bebas merkuri hasil penambangan sinabar memicu maraknya penambangan emas dan pencemaran merkuri,” ujarnya.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Kemendag tak punya data ekspor merkuri karena tata niaga ekspornya belum diatur. Merkuri diekspor secara bebas dengan sepengetahuan Bea dan Cukai (Kompas, 19/5/2017).
Berdasarkan laporan UNEP, ekspor merkuri dari Indonesia umumnya ilegal. Data volume ekspor merkuri dari Indonesia didapat dari dokumen di pelabuhan negara tujuan. Selain di Seram, penambangan batuan sinabar ada di Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Batuan sinabar diolah di Jakarta, Surabaya, Sukabumi, dan Ambon.
Merugikan negara
Penertiban penambangan sinabar harus dilakukan seiring moratorium pemberian izin tambang emas baru. Ada 628 izin tambang emas di Indonesia, belum termasuk pertambangan skala besar, dan ada 850 titik tambang emas ilegal. “Presiden harus memastikan ratifkasi Konvensi Minamata tentang merkuri tak hanya formalitas. Pemerintah harus mengecek rencana perluasan dan pembesaran industri tambang,” ujarnya.
Yuyun Ismawati dari BaliFokus mengatakan, untuk menghasilkan 1 gram emas, butuh rata-rata 200 gram merkuri. Merkuri dipakai untuk memurnikan emas. Selain merusak lingkungan, pencemaran merkuri mengancam kesehatan masyarakat.
Tuti Hendrawati Mintarsih, Tenaga Ahli Menteri Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (20/9), menyatakan, pemakaian merkuri akan diatur tegas. Itu sesuai kondisi sosial budaya setempat agar penambang emas kooperatif.(AIK/DD03)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Jadi Produsen Utama Merkuri Dunia”.