Dari data indeks ini diprediksi bahwa sehabis gejala El Nino yang lemah tahun lalu, pada tahun 2020 akan dilanjutkan dengan La Nina.
Kontroversi musim di Indonesia sepertinya masih berlanjut karena, meskipun saat ini sudah memasuki musim kemarau, tekanan di daratan masih rendah.
Bahkan setelah memasuki bulan Juli, pekan lalu sebagian kawasan Ibu Kota diguyur hujan angin yang disertai guntur. Hujan tersebut memang berasal dari awan penghasil badai, yaitu awan kumulonimbus. Awan ini umumnya muncul jika udara basah dan hangat, umumnya dari suhu muka laut yang hangat, sementara udara lapisan di atasnya dingin dan kering.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi itu tampaknya akan terus berkembang di sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa bagian barat dan Sumatera bagian selatan. Hadirnya tekanan udara rendah telah berlangsung beberapa bulan pada 2020.
Kondisi tekanan udara rendah yang didukung oleh suhu muka laut yang hangat menjadi sumber pembentukan awan dan hujan yang kadang berkembang menjadi hujan badai. Kontroversi cuaca yang terjadi seakan-akan kontradiktif dengan situasi pada umumnya.
Keberagaman kondisi cuaca dan iklim ini tidak terlepas dari adanya pergantian gejala alam global yang kini sedang berlangsung. Sebenarnya sejak akhir 2018 hingga awal 2020 telah giat gejala alam El Nino intensitas lemah, dampak telah kita rasakan sepanjang 2019.
Tahun 2020, selepas gejala alam El Nino ini sepertinya secara alamiah menuju ke gejala alam La Nina. Suhu muka laut dingin kawasan ekuator Samudra Pasifik sedang berkembang secara lambat dan suhu muka laut hangat berkembang di Samudra Hindia termasuk kawasan perairan Indonesia. Kondisi ini seperti mengisyaratkan bahwa kondisi laut dan udara dalam proses menuju kondisi gejala La Nina dalam intensitas yang rendah.
Kondisi tersebut selaras dengan pandangan dari para ahli cuaca dan iklim yang dirangkum Biro Meteorologi Australia, bahwa gejala alam La Nina sedang berlangsung. Dengan demikian, pembentukan awan badai dari awan tipe kumulonimbus akan sering terjadi.
Dalam hal ini, semua pihak terkait perlu mengantisipasi hadirnya bencana hidrometeorologi basah. Kontroversi cuaca baik selama musim kemarau 2020 hingga memasuki masa peralihan musim kemarau ke musim hujan menjelang akhir tahun 2020 harus diwaspadai.
Saat ini di kawasan Indonesia bagian timur dan selatan, yang biasanya mendapat pengaruh musim dingin dari Australia, belum terasa sampai sekarang, Wilayah Pacitan, Jawa Timur, dan kawasan Nusa Tenggara, misalnya, masih hangat. Hal ini terjadi karena suhu laut Samudra Hindia sepanjang Mei-Juni ini hangat, lebih hangat daripada normalnya.
Semua ini mendukung fenomena La Nina yang akan lebih banyak curah hujannya. Namun, meski hujan masih turun di bulan Juli, La Nina kali ini bukan yang kuat karena penurunan suhu tidak sampai minus 1 derajat.
Masih di utara
Saat ini garis edar semu Matahari berada di belahan bumi utara. Mau tidak mau pertumbuhan badai normalnya berada di belahan utara. Untuk diketahui, Samudra Pasifik dengan posisi di barat utara wilayah Indonesia memiliki frekuensi badai tropis paling tinggi di Bumi. Artinya, di Samudra Pasifik wilayah utara Indonesia bagian tengah dan bagian timur ada aktivitas badai tropis mulai akhir April hingga Desember.
Sementara di belahan selatan, di sekitar benua maritim Indonesia, muncul badai tropis yang istilahnya salah musim atau kontroversial. Seharusnya, pada saat tengah tahun ada kekurangan dukungan energi dari sang surya sehingga secara normal badai tidak mempunyai peluang untuk tumbuh.
Kehadiran badai di selatan mengindikasikan adanya energi yang masih tersedia di Samudra Hindia. Ketersediaan energi untuk membentuk badai tropis umumnya berasal dari panas laten hasil penguapan air laut. Dampak lebih lanjut adalah terciptanya kondisi cuaca dan iklim yang beragam dan berbeda dengan tahun 2019.
Dengan menganalisis gejala alam El Nino dan La Nina melalui data indeksnya, diketahui selama akhir 2018 hingga tengah 2019 terindikasi ada El Nino intensitas lemah. Kemudian mulai tengah hingga jelang akhir 2019 tidak terindikasi gejala alam. Namun, hujan di awal Juli 2020 tampaknya menjadi sinyal gejala alam La Nina.
Dari perkembangan suhu muka laut, ternyata gejala alam global El Nino intensitas lemah masih giat hingga Maret 2020 yang kemudian menuju ke kondisi normal. Meski demikian, saat ini gejala yang mulai tampak adalah aktivitas La Nina, meski bukan yang kuat.
Hasil pemantauan penampang lintang di kawasan ekuator Samudra Pasifik menunjukkan perkembangan suhu dingin mulai giat sejak Mei 2020 dan berpeluang mendukung menguatnya gejala alam La Nina berkekuatan lemah pada hari-hari mendatang.
Perlu antisipasi
Prakiraan ini perlu untuk mengantisipasi berbagai kegiatan yang tergantung cuaca dan iklim. Di antaranya adalah pertanian dan perikanan.
Kondisi suhu muka laut yang hangat telah mendukung berkembangnya awan dan hujan juga mempertahankan tekanan udara yang rendah. Pada bagian lain hadir angin barat yang menghambat perkembangan aliran angin timur dan aliran ke arah utara. Kondisi inilah yang telah menciptakan kontroversi cuaca dan iklim di Indonesia dan sekitarnya.
Situasi dan kondisi kontroversial juga dialami oleh negara tetangga terdekat, yaitu kawasan Australia yang seharusnya mulai memasuki musim dingin dengan kondisi tekanan yang relatif tinggi. Karena Samudra Hindia barat wilayahnya cukup hangat dan kawasan utaranya sangat hangat, maka kondisi dingin hanya berlangsung di kawasan selatan Benua Australia.
Ini mengindikasikan posisi tekanan tinggi yang umumnya berada di kawasan tengah telah bergeser ke selatan gara-gara kawasan tropis—termasuk kawasan Indonesia—mengalami kondisi dengan tekanan udara yang relatif rendah. Situasi dan perkembangan cuaca dan iklim sekitar benua maritim Indonesia dan Australia ini sepertinya akan berlanjut seiring indeks El Nino dan La Nina.
Dari data indeks ini diprediksi bahwa sehabis gejala El Nino yang lemah tahun lalu, pada tahun 2020 akan dilanjutkan dengan La Nina.
Paulus Agus Winarso, Praktisi Cuaca dan Iklim, Pensiunan ASN.
Sumber: Kompas, 6 Juli 2020