Pergerakan massa udara basah Madden Julian Oscillation diperkirakan masih bertahan di wilayah Indonesia hingga akhir bulan dan berpotensi meningkatkan hujan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Namun, untuk Jawa yang telah memasuki kemarau cenderung lebih kering dibandingkan rata-rata iklimnya.
Daerah yang mengalami peningkatan hujan akibat pergerakan Madden Julian Oscilation (MJO) ini terutama di wilayah yang memiliki zona iklim ekuatorial. “Daerah-daerah seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara yang dilanda banjir beberapa hari lalu masih belum masuk kemarau. Hujan tinggi juga dipicu oleh keberadaan MJO yang saat ini berada di Indonesia bagian tengah,” kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Jumat (14/6).
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Warga menyeberang dengan rakit sederhana di Desa Pondidaha, Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, Kamis (14/6/2019). Banjir merendam empat kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara seminggu terakhir. Kerusakan daerah hulu, pembukaan lahan untuk industri dan perkebunan skala besar ditengarai menjadi penyebab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena MJO merupakan aliran massa udara di sepanjang katulistiwa yang terjadi secara periodik dari barat ke timur. Analisis tanggal 9 Juni 2019 menunjukkan MJO masih berada di atas Samudera Hindia, namun sepekan terakhir berada di wilayah tengah Indonesia, sekitar Kalimantan dan Sulawesi. Berikutnya, MJO akan bergerak ke Indonesia bagian timur, sekitar Maluku dan Papua sebelum kemudian meninggalkan wilayah Indonesia.
“Biasanya MJO bergerak di wilayah Indonesia selama 10 – 20 harian. Kali ini kemungkinan sampai sebulan. Ini terutama dipengaruhi oleh anomalu suhu permukaan laut dan sirkulasi udara,” kata dia.
Data BMKG, intensitas hujan tertinggi di Indonesia periode 13 – 14 Juni tercatat di Stasiun Meteorologi Sepinggan, Kalimantan Timur yang mencapai 134 milimeter (mm) per hari, disusul Stasiun Meteorologi Rahadi Usman, Kalimantan Barat sebesar 116 mm per hari.
Menurut Siswanto, kawasan ini memiliki zona iklim ekuatorial dan memiliki dua puncak musim hujan pada April dan Desember. “Curah hujan di zona ekuatorial ini masih dalam kategori menengah hingga akhir Juni,” ujarnya.
Fenomena berbeda terjadi di wilayah Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur yang iklimnya monsunal dengan satu puncak musim hujan. Iklim monsunal lebih dipengaruhi oleh pergantian angin monsun dari Asia dan Australia. “Untuk Jawa hingga Nusa Tenggara Timur saat ini masuk musim kemarau,” kata Siswanto.
Aliran massa udara di wilayah Indonesia saat ini sebenarnya didominasi angin timuran yaitu massa udara berasal dari Benua Australia. Monsun Asia pada dasarian II Juni diperkirakan normal (mendekati klimatologisnya), sementara Monsun Australia diperkirakan lebih kuat dibanding normalnya sehingga berpotensi mengurangi peluang pembentukan awan dan hujan di wilayah Indonesia, khususnya bagian selatan.
“Curah hujan bulan Juni menunjukkan, wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat bagian utara mengalami intensitas kekeringan di bawah rata-rata klimatologisnya,” kata Siswanto.
Data BMKG menunjukkan, rata-rata daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak mengalami hujan dengan durasi 21-30 hari atau kategori panjang dan sebagian bahkan sudah tidak mengalami hujan dalam durasi 31 -60 hari atau kategori sangat panjang. Sedangkan daerah di Sumba dan Flores Timur terpantau ada yang sudah mengalami kekeringan ekstrem atau hari tanpa hujan di atas 60 hari.
Curah hujan rendah di beberapa wilayah diprediksi terjadi Juli-Oktober 2019. ”Perlu diwaspadai area rentan kekeringan meteorologis seperti Jawa Tengah dan Nusa Tenggara, serta yang rentan kebakaran hutan dan lahan, seperti Riau, Palembang, Jambi, dan Kalimantan,” kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal, dalam siaran pers, kemarin.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, ”Upaya pencegahan penting dilakukan karena lebih mudah dan murah ketimbang menanggulangi kebakaran.”
Pengaruh El Nino
Sementara sejumlah lembaga meteorologi berbagai negara memperingatkan bahwa fenomena iklim El Nino masih bertahan hingga Agustus mendatang. Hal ini misalnya dilaporkan oleh Pusat Prediksi Iklim Amerika- National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang menyebutkan peluang El Nino hingga 66 persen akan berlangsung selama musim panas.
–Perkembangan terbaru kondisi El Nino. Sumber: BMKG
Namun, pengaruh El Nino tidak cukup kuat memengaruhi sirkulasi monsun di wilayah Indonesia. “Untuk El Nino kategori lemah memang tidak begitu berpengaruh di Indonesia, beda dengan El Nino kuat seperti tahun 2015 yang menyebabkan kekeringan parah. Akan tetapi, untuk India pengaruh El Nino kali ini memang besar. Selain kekeringan, mereka mengalami gelombang panas,” kata Siswanto.
Seperti dilaporkan India Meteorological Department, saat ini India mengalami kekeringan dan suhu panas. Awal pekan ini, suhu di Delhi dilaporkan memecahkan rekor terpanas kota ini, yaitu mencapai 48 derajat celcius. Bahkan, wilayah Churu di Rajashtan 50,8 derajat celcius, menjadikannya sebagai tempat terpanas di Bumi.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 15 Juni 2019