Konsorsium, Solusi Komersialisasi Riset

- Editor

Rabu, 16 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengakses Insentif yang Disiapkan Masih Minim
Produk riset para peneliti kerap terhenti pada tahap purwarupa akibat hasil tidak layak produksi massal. Industri perlu digaet sejak awal, terutama melalui konsorsium riset, guna memastikan hasil penelitian diterima di pasar.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menuturkan, menggandeng industri agar mau membuat produk massal hasil riset peneliti merupakan tantangan berat pemerintah. Kebanyakan peneliti berhenti pada purwarupa produk dan belum memikirkan sisi komersial hasil riset, termasuk harga yang terjangkau.

“Inovasi baik, tapi harga tidak kompetitif, pasti ditinggalkan pembeli,” kata Nasir, Selasa (15/3), di Jakarta, di sela peluncuran Ristekdikti-Kalbe Science Awards 2016 serta diskusi “Optimalisasi dan Komersialisasi Hasil Penelitian untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Kegiatan diadakan PT Kalbe Farma Tbk bekerja sama dengan Kemristek dan Dikti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Turut hadir Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Roy A Sparringa, dan Staf Ahli Menteri Keuangan Singgih Riphat.

Menurut Direktur Manufaktur Kalbe Pre Agusta, dalam data Global Innovation Index, Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 143 negara pada 2014. Data Business Innovation Center, dari 700 inovasi di Indonesia, 18 persen yang menembus pasar.

Karena kondisi itu, pemerintah mendorong peneliti bergotong royong dengan peneliti lain dan industri menggarap satu target riset melalui pembentukan konsorsium. Hasil terarah karena industri mampu membaca kebutuhan dan selera pasar.

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati mengatakan, hasil riset konsorsium lebih mudah ditangkap industri ketimbang riset mandiri. Misalnya, 55 persen hasil riset dengan hibah program Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional diserap industri dan mayoritasnya produk konsorsium.

“Mayoritas penelitian mandiri sekarang TRL (tingkat kesiapan teknologi)-nya di bawah enam,” ujar Dimyati. Artinya, hasil riset maksimal baru tahap purwarupa, belum siap dipasarkan.

Efisiensi anggaran
Dimyati menjelaskan, pembentukan konsorsium membuat riset lebih efisien dan efektif karena lembaga yang tergabung bisa saling memanfaatkan sarana dan tenaga ahli mitra. Selain itu, “mengeroyok” proyek riset bisa menyiasati anggaran minim.

Data indikator Iptek dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2014, anggaran belanja penelitian dan pengembangan Indonesia hanya 0,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Di level Asia Tenggara, persentase itu kalah dari Thailand (0,85 persen terhadap PDB) dan Malaysia (di atas 1 persen terhadap PDB).

Menurut Amin, lembaganya sudah merasakan manfaat konsorsium. Contohnya, LBM Eijkman mengerjakan riset vaksin flu burung bersama Balitbang Kesehatan Kementerian Kesehatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, PT Biofarma, serta Universitas Airlangga.

Sebelum dengan pendekatan konsorsium, peneliti mendapat dana hibah kecil, Rp 200 juta- Rp 300 juta, dari Kemristek dan Dikti untuk riset. Melalui konsorsium, tim peneliti mengumpulkan dana Rp 2,5 miliar. Produk yang ada, yaitu kandidat vaksin dalam skala laboratorium dan penemuan sistem pemberian vaksin injeksi tanpa jarum.

Insentif tersedia
Pada sisi lain, kata Nasir, sulitnya menggandeng industri juga karena belum jelasnya insentif jika mau memproduksi massal hasil riset. Ia berharap kemauan mengeluarkan biaya pengembangan hasil riset bisa mengurangi pajak penghasilan industri.

Namun, Singgih Riphat menegaskan, skema insentif fiskal, termasuk keringanan pajak penghasilan, sudah tersedia. Bentuk insentif lain di antaranya pembebasan bea masuk atas impor barang untuk keperluan litbang serta fasilitas pembebasan cukai untuk etil alkohol dengan kadar paling rendah 85 persen yang digunakan untuk litbang. “Semua tersedia, tapi tidak ada yang datang meminta,” ujarnya.

Menurut FX Widiyatmo, Asisten Direktur Pengembangan Bisnis Kalbe, Kalbe merasakan manfaat insentif, salah satunya pembebasan bea masuk bahan baku dan alat pengembangan obat biosimilar. Namun, pemanfaatan insentif memang belum optimal, salah satunya karena informasi kurang jelas. Karena itu, pembentukan konsorsium, terutama jika melibatkan lembaga pemerintah, juga penting guna memudahkan komunikasi terkait potensi insentif riset. (JOG)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Konsorsium, Solusi Komersialisasi Riset”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB