Lahan hutan yang terus tergerus oleh kegiatan ekonomi membutuhkan terobosan kebijakan. Hal itu untuk menyelamatkan lahan hutan yang tersisa demi melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia dan menahan laju pemanasan global. Agar tujuan konservasi bisa tercapai, pemerintah perlu memastikan rakyat bisa mendapatkan manfaat dari kegiatan pelestarian hutan.
“Kita memerlukan transformasi konservasi sumber daya hutan bagi keberlanjutan bangsa. Upaya memakmurkan masyarakat bisa sejalan dengan upaya menjaga lingkungan, termasuk mengurangi pencemaran,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) HS Alikodra, Senin (11/5), di Bogor, Jawa Barat. Menurut dia, hutan yang tetap lestari berpeluang memberi manfaat ekonomi, antara lain lewat ekowisata dan bioprospeksi.
Sebagai salah satu negara dengan megabiodiversitas, Indonesia memiliki hutan tropis yang menjadi pusat penyebaran keanekaragaman hayati darat. Bermacam jenis tumbuhan, hewan, dan mikroba berpotensi memberi manfaat untuk pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan, dan energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, keanekaragaman hayati itu terancam kebijakan pembangunan ekonomi yang mengabaikan fungsi ekologi jangka panjang. Alikodra mengatakan, lahan hutan semakin kritis dan terfragmentasi menjadi kantong-kantong sempit, membuat pergerakan serta aliran gen pada berbagai spesies sangat terbatas. Akibatnya, potensi perkawinan sedarah tinggi dan bisa berujung pada kepunahan suatu spesies.
Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo sekarang semakin kritis. Diperkirakan 60.000 hektar kawasan hutan tempat konservasi gajah sumatera itu kini rusak karena dijadikan kebun kelapa sawit. Kini, ribuan penduduk dari luar wilayah telah bermukim di lokasi itu tanpa ada tindakan yang berkelanjutan dari pemerintah.
Kompas/Syahnan Rangkuti
Di level global, luasan hutan yang rusak di Indonesia menempati urutan kedua setelah Brasil untuk tahun 1990-2005. Jumlah hutan yang rusak di Brasil selama periode tersebut mencapai 42 juta hektar, sedangkan di Indonesia seluas 28 juta hektar.
Salah satu kegiatan yang mengancam keberadaan hutan adalah perkebunan kelapa sawit. Alikodra mencontohkan, luasan hutan di Sumatera terus berkurang sejak budidaya kelapa sawit berkembang. Taman Nasional Tesso Nilo, misalnya, memiliki luas sekitar 80.000 hektar, tetapi yang berupa hutan tinggal lebih kurang 30.000 hektar. Penyebabnya, lebih dari 50 persen dimanfaatkan warga untuk perkebunan, terutama sawit.
“Saya tidak menolak sawit, tetapi kenyataannya hutan terus berkurang, hanya tersisa yang masuk area konservasi resmi,” ujar Alikodra.
Untuk menekan laju kerusakan hutan, semua pihak harus terlibat, termasuk masyarakat, tidak hanya kementerian dan dinas yang mengurusi bidang kehutanan. Manfaat ekonomi harus ada agar masyarakat mau terlibat dalam upaya melestarikan hutan.
content
Kosta Rika
Alikodra menyebutkan, Kosta Rika bisa menjadi contoh negara yang berhasil memajukan ekonomi sambil melestarikan hutan. Pada 1990, hampir 100 persen hutan di Kosta Rika habis dibabat, antara lain akibat perkebunan tebu dan tambang. Pemerintah Kosta Rika pun terdorong untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor HS Alikodra menjelaskan program perkawinan badak di Suaka Rhino Sumatera Lampung.–ARSIP Prof Alikodra
“Setelah lima tahun membangun, hutan semakin lestari, tetapi kemajuan ekonomi tidak terganggu karena pemerintah mengembangkan ekowisata dan bioprospeksi,” kata Alikodra. Negara kecil di Benua Amerika tersebut bahkan menyabet urutan ketiga tertinggi pada 2010 untuk Indeks Kinerja Lingkungan (Environmental Performance Index/EPI), di bawah Eslandia dan Swiss.
Pemerintah Indonesia perlu membuat transformasi kebijakan agar tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan sumber daya hutan, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati sekaligus memberi kemakmuran kepada masyarakat lokal. Program yang dijalankan Kosta Rika bisa dikaji untuk direplikasi di setiap kabupaten/kota mengingat ada otonomi daerah.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Satriyas Ilyas mengatakan, upaya melestarikan lingkungan perlu diterapkan pada kegiatan pertanian dan perkebunan. Salah satunya, penerapan teknologi untuk penyediaan benih yang tahan penyakit serta pupuk yang ramah lingkungan.
Contoh pendekatannya adalah pemberian perlakuan terhadap benih secara biologis (biological seed treatments), yakni dengan memanfaatkan mikroba-mikroba sebagai agens hayati untuk menjadi bioprotektan dan biofertilizer. Adanya fungsi bioprotektan bisa menggantikan peran pestisida sintetis dalam menekan penyakit, terutama yang terbawa benih. Adapun biofertilizer berguna untuk menekan penggunaan pupuk buatan. Dengan demikian, lingkungan aman dari dampak bahan-bahan kimia sintetis sehingga tanah tetap subur. –Johanes Galuh Bimantara
Sumber: Kompas Siang | 11 Mei 2015