Perlu tidaknya bahasa Inggris dalam pembangunan di Indonesia digugat. Gugatan dilontarkan Hywel Coleman OBE, perwakilan dari University of Leeds, Inggris, pada Konferensi Internasional Linguistik IX yang diadakan British Council, University of Leeds, dan Institut Teknologi Bandung, Selasa (26/6), di Bandung.
Meskipun sering kali dipandang representasi kemajuan, bahasa Inggris tak selalu menjadi faktor kemajuan ekonomi. Banyak negara belum juga berkembang meski mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Di sisi lain, dominasi bahasa Inggris menghadang upaya pemeliharaan keanekaragaman linguistik.
”Dalam situasi tertentu, bahasa Inggris memberi peran yang diharapkan, sedangkan beberapa yang lain mungkin agak mengejutkan,” kata Hywel, kemarin. Ia tak memungkiri dalam situasi yang lain, ada kemungkinan tingginya risiko ketergantungan berlebihan terhadap bahasa Inggris di saat bahasa lokal dan nasional bisa berperan lebih penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hywel mengambil studi kasus di Indonesia dalam upaya mengidentifikasi kontribusi tepat yang dapat diberikan bahasa Inggris terhadap pembangunan nasional. Namun, itu pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili kebijakan British Council.
Konferensi tiga hari (26-28 Juni) yang diikuti 30 pembicara dari sejumlah negara ini dibuka Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning dan Rektor ITB Akhmaloka. ”Inggris berkomitmen mempromosikan keamanan dan kesejahteraan internasional. Bahasa merupakan faktor penting mencapai tujuan itu. Bahasa merupakan basis menciptakan komunikasi yang baik dalam upaya mengurangi konflik,” ujar Canning.
Korbankan bahasa ibu
Tove Skutnabb-Kangas dari University of Roskilde, Denmark, mengkhawatirkan adanya ancaman serius terhadap keanekaragaman linguistik. Pemeliharaan keanekaragaman linguistik dihadang dominasi bahasa Inggris yang kian meningkat dan bahasa- bahasa ”pembunuh” lainnya.
Bahasa-bahasa ini dipelajari secara substraktif dengan risiko mengorbankan bahasa ibu sebagai bahasa daerah, kesukuan, bahasa minoritas, dan bahasa yang digunakan kelompok sangat kecil. Penguasaan bahasa itu bukan sebagai bahasa tambahan terhadap bahasa ibu.
”Sekolah-sekolah turut andil melalui pendidikan yang bersifat genosida dari kaum pendukung asimilasi dalam mencabut hak modal linguistik dan reproduksi kemiskinan,” ujarnya.
Menurut Tove, keanekaragaman linguistik dan hayati saling menegakkan dan mendukung. Sebagian besar pengetahuan tentang bagaimana mempertahankan keanekaragaman hayati dunia dijelaskan dalam bahasa adat dan bahasa daerah. Seiring dengan punahnya bahasa-bahasa itu, ilmu pengetahuan ini (sering lebih akurat dan canggih dibandingkan dengan ilmu pengetahuan ”barat” yang ”ilmiah”) juga hilang.
”Homogenisasi linguistik dapat menghancurkan prasyarat bagi kehidupan manusia di bumi,” kata Tove. (DMU)
Sumber: Kompas, 27 Juni 2012