Banyak kejadian penting di sekitar kita yang sering luput dari perhatian, padahal hal itu penting, baik untuk diri kita sendiri maupun orang lain. Misalnya, saat makin banyak orang menggunakan media sosial untuk mencurahkan isi hati dan perasaannya atau curhat. Juga sering kita ketahui, keluarga pasien kerap bingung mendapatkan kebutuhan darah karena Palang Merah Indonesia tak punya stok.
Meminjam istilah anak muda Jakarta, boro-boro memperhatikan, mencari tahu apa yang sedang terjadi saja banyak yang ogah. Namun, bagi anak muda peserta kompetisi Startup Sprint yang diadakan Start Surabaya dan PT Elang Teknologi Tbk (Emtek), kebutuhan orang itu justru memunculkan ide untuk membuat sesuatu yang bisa membantu. Tak hanya berlomba untuk membangun usaha lewat aplikasi digital, para peserta berupaya mempertemukan pihak yang butuh bantuan dan mereka yang bisa membantu mendapatkan kebutuhan itu.
Karena itu, muncullah aplikasi kelompok anak muda untuk membantu ibu-ibu penjual masakan rumahan, tim yang mengajak anak muda donor darah untuk membantu mereka yang membutuhkan, sampai tim yang mempertemukan orang yang tengah galau dengan psikolog.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga tim itu menjadi bagian dari 10 finalis lomba Startup Sprint tersebut. Grand final lomba tersebut diadakan Rabu (6/1) di Forward Factory, Gedung Spazio Surabaya. Tempat ini dipilih karena selama ini menjadi markas Startup Surabaya, sebuah program inkubasi perusahaan rintisan (startup).
Suasana cair
Meski namanya kompetisi, suasana ”pertarungan” nyaris tak terasa. Hal itu karena di antara peserta grand final yang terdiri dari Riliv (perancang aplikasi untuk mereka yang butuh curhat), Masaku (aplikasi pengiriman makanan rumahan), dan Reblood (pembuat aplikasi untuk mendorong orang mau melakukan donor darah) sudah bersama-sama sejak awal. Kesamaan tujuan tak hanya untuk mencari uang, tetapi lebih mengedepankan membantu masyarakat membuat suasana kompetisi lebih cair.
Para juri yang terdiri dari Yansen Kamto (CEO Kibar Indonesia yang bersama kawan-kawannya mendirikan Startup Surabaya), Wicak Hidayat (Editor di KompasTekno/Kompas.com), Sanny Gaddafi (Co-Founder 8village), dan Anto Motulz (Founder, Editor at Motzter Think Creative) juga mengajukan pertanyaan ringan tetapi penting untuk mengetahui kesungguhan peserta membangun startup bidang sosial itu serta melihat kekompakan tim. Canda dan tawa mewarnai babak penilaian akhir. Maklum, sebagian peserta grogi dan deg-degan sehingga keseleo saat harus menjawab pertanyaan juri.
MASAKU
ANDRE WIJAYA (25),
Chief Executive Officer Masaku, lulusan Jurusan Komputer Sains Nanyang Technological University, Singapura
JAMES JUNIAN LIE (25),
Chief Financing Officer Masaku, lulusan Jurusan Entrepreneurship dan Inovasi Manajemen The University of Nottingham Ningbo, Tiongkok
ELISABETH BE (22),
CMO Masaku, lulusan Fakultas Visual Komunikasi Desain Universitas Ciputra, Surabaya
REBLOOD
LEONIKA SARI NJOTO (22),
CEO, lulusan Fakultas Teknologi Informasi Jurusan Sistem Informasi ITS
FAISAL SETIA PUTRA (20),
Manajer Kreatif, mahasiswa
MUHAMMAD ZUHRI (20),
Manajer Teknik, mahasiswa
ARI AGUSTINA (20),
Manajer Konten, mahasiswa
ABDIEN GUNARTA (20),
Manajer Konten, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya
RILIV
AUDREY MAXMILLIAN H (23),
CEO, alumnus Jurusan Sistem Informasi Universitas Airlangga, Surabaya
AUDY MAXMILLIAN H (24),
Chief Marketing Officer, alumnus Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya, Malang
FACHRIAN ANUGERAH (24),
Chief Technology Officer, alumnus Jurusan Sistem Informasi Universitas Airlangga, Surabaya
Di antara sekian pertanyaan, seorang juri bertanya akan seperti apakah usaha mereka pada tahun 2016? Tim Riliv ingin mengubah stigma di kalangan masyarakat yang menyatakan bahwa mereka yang berkonsultasi ke psikolog adalah orang sakit jiwa. ”Pergi ke psikolog bukan berarti sakit jiwa. Namun, karena banyak yang berpikir seperti itu, akhirnya orang takut konsultasi ke psikolog,” ujar Audrey Maxmillian.
Tim Reblood ingin makin banyak memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya donor darah, apa saja yang harus mereka lakukan sebelum donor sampai terus mendekati calon donor dengan membuka tempat donor darah di kampus dan pusat belanja. Tim Masaku antara lain ingin makin mengenalkan makanan rumahan yang juga makanan tradisional daerah ke masyarakat.
Sulit memilih
”Kami, para juri, sebenarnya sulit memilih tim mana yang akan berangkat ke Silicon Valley karena bagus semua. Aplikasi berangkat dari kepedulian kepada keadaan di sekitar. Namun, kami harus tetap memilih tim itu, kan,” kata Yansen.
Para juri akhirnya memilih tim Masaku untuk belajar tentang startup ke Silicon Valley, San Francisco, Amerika Serikat. Satu hal yang sedikit membedakan Masaku dengan dua tim lain, menurut juri, karena sejak awal merintis program startup, mereka kelihatan selalu kompak.
Masaku dibentuk awal 2015. Pilihan membuat aplikasi untuk menjembatani penggemar makanan rumahan dengan pembeli berawal dari suatu ketika Andre, salah satu anggota tim Masaku, makan mi ayam di sebuah rumah makan di Surabaya dengan teman-temannya. ”Saat mencicipi mi itu, kawanku bilang, ah kalau hanya begini rasanya, lebih enak masakan mamaku di rumah. Kupikir-pikir, iya ya masakan rumah itu sering lebih enak daripada makanan di restoran. Aku juga sering kangen makanan rumah,” tutur Andre yang lama bersekolah di Singapura.
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO
Dari situ ia dan kawan-kawan yang sepakat merintis startup memilih membuat aplikasi untuk menghubungkan para ibu penjual masakan rumahan dengan pembelinya.
”Kami mengalami trial dan error karena banyak kondisi yang tak sesuai ekspektasi,” tambah James, penyandang gelar master yang sejak awal bergabung dengan tim tersebut.
Karena kondisi itu misalnya, ibu-ibu tak berani masak dalam jumlah banyak setiap hari karena belum tentu ada banyak pesanan. Solusinya, mereka mengubah sistem pemesanan dengan pre order dua hari atau sehari sebelumnya sehingga para penjual makanan itu bisa menyiapkan makanan sesuai pesanan.
Kesulitan lain, para ibu tak menguasai operasional telepon pintar sehingga mereka harus melatih penggunaan telepon pintar dan membuka aplikasi yang mereka buat. Lisa, anggota Masaku lainnya, juga harus mengajarkan para ibu mengambil foto makanan agar menarik. ”Agak susah he-he-he, tetapi kemudian kami yang ambil foto-foto makanan yang dijual supaya menarik pembeli,” kata Lisa.
Aplikasi yang baru mereka praktikkan sejak tiga bulan lalu telah membuat 117 ibu pembuat makanan rumahan mendaftarkan diri, tetapi yang lolos dan diaktivasi baru 38 orang. Dari jumlah itu, 15 penjual sudah aktif berjualan. Order terus berdatangan dari mahasiswa sampai pekerja kantor.
Anak-anak muda itu pertengahan Februari nanti akan ke Silicon Valley untuk belajar dan menambah jaringan serta membesarkan startup-nya. Tidak hanya untuk bisnis, tetapi untuk membantu lebih banyak orang dengan teknologi. (ETA/TRI)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Januari 2016, di halaman 23 dengan judul “Peduli dan Membantu dengan Teknologi”.