Memanfaatkan media sosial, sejumlah wirausaha muda telah mampu mengembangkan usaha mereka. Namun, mereka menyatakan pentingnya inovasi produk dan pemasaran karena banyaknya kompetitor yang menjual produk serupa.
Malika Rizqi Anindita (23) awalnya berjualan sepatu dan pakaian melalui media sosial Instagram pada 2013. Namun, ia mengubah komoditas jualannya menjadi tas ransel.
“Sudah terlalu banyak yang menjual baju sehingga diferensiasi produknya kurang. Apalagi, saya belum produksi baju sendiri,” ujarnya, Sabtu (26/3). Melalui media sosial pula, kompetisi penjual baju bisa diketahui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasannya untuk berjualan tas adalah karena produknya yang bagus dan berkualitas serta pasar yang masih luas karena belum terlalu banyak saingan. Mulai 2014, ia memulai label Urbanions yang khusus menjual ransel dengan harga Rp 200.000-Rp 300.000. Saat ini, Urbanions sudah memiliki sekitar 14.700 pengikut di Instagram.
“Saya berjualan dengan sistem dropship yang tidak memerlukan modal banyak. Caranya adalah memajang foto-foto barang pemasok di Instagram, lalu ketika ada konsumen, saya menghubungi pemasok. Nanti dia yang mengirimkan barang ke konsumen atas nama Urbanions,” tutur Malika.
Hekal Prihandana (24) memiliki usaha buku tulis yang ia rintis sejak dua tahun lalu. “Dulu, setiap ke toko buku, saya melihat buku tulis yang desainnya bagus selalu buatan Korea atau Tiongkok. Lalu terpikir, mengapa tidak kita saja yang membuatnya?” ujarnya, Sabtu (26/3).
Produknya yang berlabel Buddy Books didesain sesuai dengan permintaan konsumen. Sasaran utamanya adalah untuk kado sehingga desainnya pun personal. Misalnya, buku tulis untuk koki didesain dengan gambar peralatan masak, sayur-mayur, dan sebagainya.
Sistem yang ia gunakan adalah membuat buku tulis sesuai dengan pesanan konsumen. “Dengan sistem itu, modalnya tidak besar. Akan tetapi, sekarang saya juga sedang berencana untuk membuat produk yang siap stok,” katanya. Kini, akun @buddybooks di Instagram telah memiliki lebih dari 45.000 pengikut.
Rizky Hamdani (25) menuturkan, pada mulanya ia bersama lima teman kuliahnya di STT Telkom, Bandung, yang tertarik dengan dunia pemrograman mendirikan sebuah perusahaan bernama Wijaya Vision. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pengembang aplikasi berbasis situs web, Android, dan iOs. Bahkan, sejak November 2015, perusahaan tersebut telah memiliki badan hukum sendiri.
“Sejak kuliah saya sudah terlibat dalam pembuatan laman e-dagang. Dari teman satu angkatan di STT Telkom, hanya sekitar 20 persen yang bisa membuat aplikasi. Lulusan sarjana kebanyakan diajarkan tentang teori, bukan praktik langsung,” tutur Rizky.
Saat ini, perusahaan tersebut belum mengembangkan aplikasi sendiri, tetapi masih menerima proyek pembuatan aplikasi dari perusahaan lain.
Leo Wijaya bersama dengan empat temannya membuka restoran MyThai di Palmerah, Jakarta Barat. Restoran tersebut berdiri sejak 4 November 2013. Ia memilih membuka usaha di bidang makanan Thailand karena sebelumnya pernah bekerja di restoran sejenis di Yogyakarta. Selain itu, menurut Leo, restoran Thailand di Jakarta masih terbilang sedikit sehingga potensi pasar masih besar. (C01/C09)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2016, di halaman 19 dengan judul “Kompetisi Makin Sengit, Pelaku Semakin Inovatif”.