Komoditas paludikultur masih terganjal oleh akses terhadap pasar dan regulasi. Padahal, teknik pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian ini dinilai sebagai alternatif efektif dalam menekan emisi karbon dari lahan gambut.
Paludikultur merupakan salah satu teknik pemanfaatan lahan gambut kering dan basah. Lahan gambut dibasahi kembali dengan mempertahankan tinggi muka air tanah sembari dikelola secara produktif. Dengan demikian, lahan gambut tetap mampu menyimpan cadangan karbon dalam jangka waktu lama. Kelembapan juga dapat mencegah kebakaran lahan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Sebanyak 69 ahli gambut dari sembilan negara bersama Badan Restorasi Gambut (BRG) RI dan masyarakat melakukan penanaman bibit pohon belangiran di Desa Taruna Jaya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (4/11/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hesti Lestari Tata dalam diskusi “Paludikultur dan Pengembangan Rantai Nilai untuk Ketahanan Iklim” di Jakarta, Rabu (20/2/2019), mengatakan, masyarakat di sejumlah wilayah Sumatera dan Kalimantan mulai menerapkan paludikultur dalam restorasi lahan gambut. Namun, penerapan teknik ini secara lebih luas terganjal serapan pasar dan regulasi.
Menurut Hesti, beberapa komoditas potensial hasil paludikultur, terutama yang bukan pangan, seperti getah jelutung, rotan, gelam, dan gemor, sulit diserap pasar. Selain karena pasarnya sulit diakses, kondisi itu juga dipicu oleh regulasi yang tidak mendukung.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Acara diskusi bertema “Paludikultur dan Pengembangan Rantai Nilai untuk Ketahanan Iklim” diadakan Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Hesti mencontohkan pada komoditas getah jelutung di Provinsi Jambi. “Dulu permintaan pasar untuk jelutung banyak. Namun, setelah ada regulasi pengenaan tarif terhadap hasil hutan bukan kayu dan larangan menyadap getah jelutung dari hutan, pasarnya jadi terbatas. Padahal, getah jelutung yang disadap petani dari lahan sendiri,” kata Hesti.
Hal yang sama juga terjadi pada komoditas rotan. Pasar untuk rotan juga sulit diakses karena adanya kebijakan bahwa komoditas ini harus diolah sebelum dijual. Kebijakan itu, kata Hesti, memang ada baiknya karena akan meningkatkan nilai jual. Namun, kebijakan tidak didukung dengan pengadaan industri pengolahan yang mudah diakses petani.
Hesti pun mengharapkan pemerintah bisa mengintervensi kendala itu dengan menciptakan pasar dan regulasi yang mendukung. Dengan demikian, semangat untuk merestorasi lahan gambut yang dimulai dari masyarakat bisa berkontribusi untuk menekan emisi karbon.
“Dengan paludikultur, masyarakat akan mendapatkan nilai ekonomi dari lahan gambut sekaligus bisa menjaga lingkungan,” ujarnya.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hesti Lestari Tata
Penasihat Teknis Utama Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) Johan Kieft mengakui, memang banyak tantangan dalam pemasaran komoditas paludikultur di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan.
“Masyarakat akan bergerak (ikut program restorasi) kalau ada insentif pasar yang cukup kuat,” kata Johan.
Johan melanjutkan, dari segi status lahan, pemerintah mesti membedakan antara komoditas yang dihasilkan hutan dan lahan petani. Regulasi yang sekarang berlaku tidak membedakan hal itu. Sementara itu, dari segi pasar, semestinya ada investasi, baik dari pemerintah maupun swasta.
Johan mencontohkan pada komoditas sagu yang berpotensi sebagai pengganti tepung gandum. Pemerintah bisa membuat kebijakan yang mendorong perusahaan makanan untuk menyerap dan meneliti pemanfaatan tepung sagu. Agar perusahaan tertarik, pemerintah dapat memberikan insentif pajak. (YOLA SASTRA)–KHAERUDIN
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 20 Februari 2019