Komitmen pengurangan plastik di masyarakat semakin kuat. Hal ini tampak dari penerapan kantong plastik berbayar di sejumlah ritel perbelanjaan dan pelarangan penggunaan kantong plastik di sejumlah daerah. Meski begitu, payung hukum terkait kantong belanja dari pemerintah pusat tetap diperlukan agar gerakan tersebut bisa konsisten.
Ketua Kelompok Kerja Kantong Plastik Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Yuvlinda Susanta, di Jakarta, Jumat (29/3/2019), menyampaikan, ritel memiliki peran penting untuk mengedukasi masyarakat tidak lagi menggunakan produk plastik sekali pakai. Penerapan plastik berbayar dinilai bisa menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA–Kantong plastik semakin dianggap sebagai masalah serius perkotaan. Sejumlah daerah pun telah berkomitmen mengurangi sampah plastik di wilayahnya dengan menerapkan larangan penggunaan kantong plastik di tingkat peritel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setidaknya ada 12 daerah yang sudah memiliki aturan terkait pengurangan kantong plastik. Bahkan, sejumlah daerah sudah melarang penggunaan kantong plastik di toko modern. Daerah-daerah itu adalah Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, Kota Bogor, Kota Denpasar, Kota Banjar Baru, Kota Jambi, dan Provinsi Bali.
Selain itu, per 1 Maret 2019, Aprindo telah mendorong 100 anggotanya untuk menjalankan program kantong plastik berbayar. Satu kantong plastik belanja atau keresek dihargai minimal Rp 200 kepada pelanggan.
Tahun 2016, penerapan plastik berbayar dijalankan sejumlah ritel. Setelah tiga bulan berjalan, pengurangan sampah kantong plastik diklaim menurun lebih dari 50 persen. Namun, program itu terhenti dan baru dimulai lagi saat ini.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Yuvlinda Susanta
”Pada 2016 itu ada rekomendasi dari pemerintah pusat untuk menerapkan kantong plastik berbayar di 27 kota/kabupaten. Namun, setelah itu, tidak ada kebijakan lanjutan berupa dasar hukum yang jelas sehingga beberapa ritel mulai undur diri (tidak melanjutkan program),” ucapnya.
Untuk itu, Yuvlinda berharap, payung hukum yang lebih kuat segera diterbitkan oleh pemerintah pusat agar keberlanjutan komitmen untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, khususnya kantong belanja plastik, bisa terwujud. Ia pun mendorong agar penerapan kantong plastik berbayar bisa dilaksanakan sampai ke ritel tradisional.
Dorongan adanya payung hukum yang lebih kuat juga disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan Suryanto. Pada 2018, Pemerintah Kota Balikpapan sudah menerapkan pelarangan penggunaan kantong plastik melalui Peraturan Wali Kota Balikpapan Nomor 8 Tahun 2018. Aturan itu diperkuat melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Suryanto
Aturan tersebut dinilai efektif. Pada periode Juli 2018 sampai Maret 2019, jumlah pengurangan sampah kantong plastik pada 13 ritel modern yang ada di Kota Balikpapan mencapai 94,68 ton. Selain itu, jumlah pengurangan sampah kantong plastik yang tercatat di 132 toko mencapai 410,8 ton.
”Kami harap ada payung hukum yang bisa mengatur pengurangan penggunaan kantong plastik secara nasional. Selama ini, kan, gerakan masih berjalan secara sporadis sehingga tidak terlalu signifikan berdampak di seluruh Indonesia,” katanya.
Alternatif lain
Namun, Suryanto menambahkan, ketika pelarangan penggunaan kantong plastik sudah diberlakukan, pemerintah sudah memberikan alternatif lain yang bisa digunakan.
”Jadi, ada alternatif kantong yang lebih ramah lingkungan. Butuh standardisasi baru untuk kantong yang bisa digunakan masyarakat, misal kantong organik,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyampaikan, peraturan menteri LHK tentang pembatasan kantong plastik masih dalam proses pembahasan. Sementara gerakan asosiasi ritel yang menjalankan program kantong plastik berbayar akan dievaluasi kembali.
”Nanti kita lihat perkembangannya dan kita akan evaluasi. Salah satu komponen penting yang akan dievaluasi adalah efektivitas pengurangan sampah plastik di samping hal-hal lainnya,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 29 Maret 2019