Disrupsi teknologi informasi terjadi di seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Kondisi ini harus dihadapi secara bijaksana dengan cara memperkuat kecakapan pelajar dalam berkolaborasi dengan mesin.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Para siswa bermain permainan tradisional dalam Orbit Habibie Festival di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Festival ini bertujuan memberikan ruang inovasi kepada generasi muda untuk berkreasi, berkarya, dan berinovasi. Festival yang berlangsung hingga Sabtu (19/10/2019) itu menyajikan beragam sektor, seperti teknologi baru robotika, kedirgantaraan, kecerdasan buatan, dan pendidikan.
Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto mengatakan, banyak hal baru yang bisa dikerjakan lebih mudah jika berdampingan dengan mesin. Untuk itu, pola pendidikan sekarang perlu menekankan kecakapan dalam berkolaborasi dengan mesin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kondisi saat ini, misalnya, penggunaan kalkulator malah dilarang di kelas. Padahal, banyak pekerjaan dan masalah jika bekerja sama dengan mesin bisa selesai dengan cepat. Yang terpenting, anak-anak tahu mana hak mesin, mana hak manusia,” ujarnya dalam seminar pendidikan bertema ”Pendidikan dalam Kehidupan Termesinkan” yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas dan Penerbit Noura, Jumat (15/11/2019), di Jakarta.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Paramadina University, Haidar Bagir (kiri), bersama Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto (tengah) saat menjadi narasumber dalam seminar pendidikan bertema ”Pendidikan dalam Kehidupan Termesinkan”, Jumat (15/11/2019), di Jakarta. Seminar yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas dan Penerbit Noura itu dimoderatori oleh wartawan senior yang juga Kepala Desk Humaniora Harian Kompas, Yovita Arika.
Menurut dia, pendidikan di Indonesia justru menunjukkan kondisi yang paradoks. Bagi sekolah di kota besar dengan fasilitas dan guru yang baik justru menjadikan teknologi sebagai bentuk kemewahan. Teknologi hanya digunakan sebagai pelengkap.
Sebaliknya, sekolah di daerah terpencil dengan fasilitas yang tidak memadai, bahkan kekurangan guru, menjadikan teknologi sebagai keharusan dan kebutuhan. Namun, kebutuhan itu justru tidak tersedia.
”Teknologi merupakan peluang terbesar bagi negara untuk menyediakan pembelajaran bermutu bagi anak-anak di daerah terpinggirkan. Teknologi itu juga dapat untuk mengembangkan kompetensi guru tanpa harus meninggalkan murid dan sekolah demi mengikuti pelatihan di tempat lain,” ucap Iwan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat bersiap melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global Dialogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat bekerja sama di berbagai bidang.
Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Paramadina University, Haidar Bagir, menuturkan, berbagai kritik diberikan pada pola pembelajaran di sekolah karena tidak mengajarkan kemampuan yang tidak bisa dicapai oleh mesin. Kemampuan itu, antara lain, terkait imajinasi dan moralitas.
”Ada potensi yang dahsyat dalam kemanusiaan yang selama ini justru diabaikan. Imajinasi sebenarnya lebih penting daripada ilmu pengetahuan karena banyak pengetahuan yang mengubah dunia muncul dari adanya imajinasi,” katanya.
Imajinasi perlu dikembangkan dengan cara yang menarik. Metode dan strategi pembelajaran pun perlu dihadirkan tidak dengan cara konservatif yang hanya diajarkan secara lisan di kelas. Anak-anak sebaiknya diajak ke berbagai tempat yang berbeda untuk memancing imajinasi.
Selain itu, lanjut Haidar, empati dalam kemanusiaan juga harus ditekankan dalam menghadapi kemajuan teknologi saat ini. ”Jadi, pembelajaran harus sampai menimbulkan empati pada anak dan bisa merasakan persoalan yang terjadi. Lalu, kondisi ini dilakukan terus-menerus sambil dibimbing untuk bisa merumuskan masalah dengan cara kreatif,” ucapnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 15 November 2019