CATATAN IPTEK
Klaim penyembuhan dan obat-obatan palsu telah setua upaya pengobatan penyakit itu sendiri. Sejarah juga mencatat, klaim semacam ini selalu menguat di kala pagebluk.
Dengan dilatari kerlip lampu dan langit hitam, keduanya duduk berhadapan di ujung jembatan. Penyanyi Erdian Aji Prihartanto alias Anji memulai wawancara itu dengan mengenalkan nara sumbernya, “Sekarang saya ada di Pulau Tegal Mas di Lampung, dan secara tak sengaja saya ketemu dengan orang yang mungkin paling dicari di dunia, ‘profesor’ Hadi Pranoto.”
Sosok yang dipanggil profesor itu berucap terimakasih, sambil tersenyum sumringah. Berikunya, Anji menerangkan,”profesor” Hadi adalah sosok yang menemukan obat Covid-19. “Obat antibodi Covid-19 ini bisa menyembuhkan dan mencegah Covid-19. Jika vaksin disuntikkan, ini diminum,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak tanggung-tanggung, Hadi menyatakan, obat yang disebutnya “antibodi Covid-19” itu telah dibagikan kepada 250 ribu orang dan mereka yang terinfeksi seluruhnya sembuh dengan masa pengobatan hanya 1 atau 2 hari. Sebagai gambaran, hingga Selasa (4/8/2020), jumlah kasus positif atau terinfeksi Covid-19 di Indonesia sebanyak 115.056 orang.
Ini baru salah satu kejanggalan dari pernyataan Hadi, selain sejumlah klaim lain, termasuk gelar profesornya yang tak jelas asal-usulnya, dan terutama pengabaian prosedur ilmiah dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyediaan obat-obatan.
Sebelum akhirnya ditutup oleh penyedia layanan, wawancara Anji dengan Hadi ini telanjur memviral. Maklum, Anji adalah pesohor dengan pengikut 3,67 juta orang di jejaring media sosial YouTube ini.
Klaim penyembuhan ini bukan hanya kali ini. Sebelumnya, sejumlah artis juga mengampanyekan kalung eukaliptus yang sebelumnya diklaim Kementerian Pertanian bisa mencegah virus korona.
Klaim penyembuhan dan obat-obatan palsu telah setua upaya pengobatan penyakit itu sendiri. Sejarah juga mencatat, klaim semacam ini selalu menguat di kala pagebluk. Semakin berbahaya dan sulit ditangani, klaim dan obat palsu pun kian menguat.
Kecemasan, kebingungan, dan keputusasaan publik merupakan lahan subur bagi klaim penyembuhan dan obat-obatan palsu itu. Dampaknya bisa sangat serius, karena bisa menyebabkan jatuhnya lebih banyak korban jiwa.
Sejarah penyakit
Selama flu Spanyol, klaim penyembuhan menghasilkan rasa aman palsu yang mendorong ratusan orang untuk menentang penutupan dan isolasi hingga penggunaan masker. Di Amerika Serikat dan Kanada misalnya, sejumlah obat palsu yang diklaim bisa menyembuhkan flu banyak dijual bebas.
Klaim penyembuhan dan obat palsu juga menyebabkan kematian banyak orang di awal merebaknya wabah HIV/AIDS melanda seluruh dunia. Laporan para peneliti dari Harvard School of Public Health (HSPH) di Journal Acquired Immune Deficiency Syndrome pada 2008 menyebutkan, ada 330.000 orang dewasa Afrika Selatan meninggal karena salah perawatan, dan 35.000 bayi dilahirkan dengan HIV.
Kesalahan perawatan ini terutama dipicu oleh maraknya klaim keliru, di antaranya berbagai ragam obat herbal, ramuan untuk digosokkan ke kulit, bahan kimia seperti Virodene yang biasa dipakai untuk pelarut industri, hingga terapi oksigen. Bahkan, ada klaim bahwa HIV/AIDS dapat disembuhkan dengan melakukan hubungan seks dengan seorang perawan. Hal ini menyebabkan pemerkosaan gadis yang lebih muda, bahkan terhadap bayi.
Selama epidemi Ebola dan SARS, klaim penyembuhan palsu juga beredar, dengan konsekuensi tak kalah mematikan misalnya larutan garam, racun ular, vitamin C, nano silver, dan beberapa herbal lain. Banyak laporan korban meninggal karena klaim keliru ini, misalnya dua orang di Nigeria dan sekitar 20 lainnya dirawat di rumah sakit setelah minum larutan garam dalam jumlah berlebihan untuk mencegah infeksi Ebola.
Sejarah berulang dalam pagebluk Covid-19, bahkan dengan skala yang lebih dahsyat dan alasan lebih beragam. Menguatnya media sosial menjadi penyebab informasi sesat dan menyesatkan tentang penyembuhan dan obat-obatan ini lebih menghebat.
Studi yang dipublikasikan di BMJ Global Health pada 21 Maret 2020 misalnya menyebutkan, lebih dari seperempat video terkait Covid-19 yang paling banyak ditonton di YouTube berisi “informasi menyesatkan atau tidak akurat.”
Secara total, video yang menyesatkan itu telah ditonton lebih dari 62 juta kali. Di antara klaim yang salah adalah gagasan bahwa perusahaan farmasi sudah memiliki vaksin Covid-19, tetapi menolak untuk menjualnya.
Popularitas informasi palsu tentang solusi dan cara untuk membunuh virus penyebab Covid-19 ini disebabkan adanya kesenjangan pengetahuan yang difasilitasi oleh kemudahan berbagi informasi melalui sosial media. Beberapa orang memang hanya karena termotivasi menyebarkan informasi, tanpa menyadari kekeliruan substansi informasinya.
Cari keuntungan
Namun, banyak juga yang sengaja menyebarkan informasi dan klaim palsu ini untuk keuntungan, baik ekonomi maupun politik. Misalnya, pada bulan Maret, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS memperingatkan perusahaan dan individu, termasuk Alex Jones, pemilik situs berita Infowars, dan penginjil Jim Bakker, agar berhenti mempromosikan dan menjual koloid perak untuk pengobatan Covid-19.
Cara lain untuk mendapat untung dari berita palsu berasal dari pendapatan iklan dan menarik pengunjung dari situs sosial mereka, sebagaimana banyak dilakukan pesohor di Indonesia. Sedangkan motif keuntungan politik banyak dikeluarkan politisi demi memberikan harapan palsu dan mengalihkan kegagalan respons mereka menghadapi wabah.
Misalnya, Presiden AS Donald Trump yang mengklaim hydroxychloroquine sebagai obat ajaib untuk Covid-19 pada akhir Maret 2020, sekalipun belum ada uji klinis. Klaim ini diikuti dengan Presiden Joko Widodo, yang menyatakan akan menyediakan 3 juta butir obat ini (Kompas, 20 Maret 2020).
Dalam kasus Covid-19 ini, motif ekonomi dari pesohor dan politisi kerap beririsan. Penting diingat bahwa, sebagian pesohor yang mengeluarkan informasi keliru tentang Covid-19, termasuk Anji, sebelumnya telah diundang Presiden Joko Widodo ke Istana pada 14 Juli 2020.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 Agustus 2020