Para peneliti di Indonesia berlomba-lomba menghasilkan inovasi untuk mengatasi Covid-19, termasuk obat yang diklaim manjur. Namun, riset obat-obatan itu harus melalui uji klinis demi memastikan keamanan obat itu.
Inovasi untuk menemukan obat Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru menjadi harapan masyarakat, namun harus tetap dengan mematuhi prosedur ilmiah dan menaati peraturan yang ada. Klaim obat-obatan yang belum teruji bisa membahayakan keamanan publik dan memicu sikap antisains.
“Kami mengapreasiasi dan menyambut baik semua penelitian dan inovasi, termasuk obat-obatan untuk mengatasi Covid-19 ini. Namun, semua harus dilakukan sesuai prosedur ilmiah agar tidak menjadi kontradiktif,” kata Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi, di Jakarta, Minggu (5/7/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berry menyampaikan hal ini menanggapi maraknya klaim terhadap temuan obat-obatan yang bisa mengatasi Covid-19 di Indonesia. Terbaru, Menteri Pertanian mengklaim pihaknya telah menemukan kalung antivirus korona dan siap memproduksinya. Sebelumnya, pihak Universitas Airlangga, Surabaya, juga mengklaim menemukan komposisi obat-obatan untuk menyembuhkan Covid-19.
“Kita tidak dalam rangka menyalahkan temuannya. Namun seharusnya dikomunikasikan melalui tahapan yang benar, misalnya dipublikasikan di jurnal ilmiah yang peer review hingga melalui tahapan uji klinis. Saya kira tidak tepat jika klaimnya dilakukan melalui media massa,” tuturnya.
Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, ada prosedur panjang yang harus dilalui sebelum suatu obat diklaim bisa menyembuhkan. Apalagi, Covid-19 merupakan penyakit baru yang masih banyak hal belum diketahui.
Menurut Herawati, iklim riset dan inovasi harus digalakkan, terutama mendorong kemandirian obat-obatan. Indonesia juga mempunyai potensi hayati luar biasa, yang bisa dikembangkan. Namun, prosedur penemuan obat-obatan juga harus ditaati.
“Saya tidak tahu prosesnya, tetapi apakah benar sudah ada publikasi ilmiah terkait klaim-klaim ini? Apakah benar sudah diuji invitro keampuhan obatnya ke virusnya langsung? Ini pasti perlu laboratorium minimal tingkat keamanannya BSL (level keamanan hayati) 3. Lalu bagaimana uji praklinis ke hewan dan uji klinisnya?” katanya.
Neni Nuraini, peneliti senior dari Biofarma mengatakan, proses dan prosedur penemuan obat-obatan sebelum bisa dilepas ke publik sangat panjang. Ini dilakukan agar publik terjamin keamaannya saat menggunakannya. “Selain obat berbasis biologi dan kimia, memang ada jamu, herbal berstandar, dan fikomarka. Ini punya prosedur berbeda-beda,” ujarnya.
AP PHOTO/BEN MARGOT—Seorang farmakolog menunjukkan sebotol obat hidroksiklorokuin, Senin (6/4/2020) di Oakland, Calif. Organisasi Kesehatan Dunia menghentikan sementara uji klinis obat hidroksiklorokuin sebagai bagian dari terapi Covid-19.
Untuk jamu tradisional yang sudah dibuktikan secara empiris dan terbukti keampuhannya di masyarakat, menurut Neni, tak perlu diuji lagi asal komposisinya tidak diubah, termasuk prosedur pemberiannya. “Namun, kalau jamu yang sebelumnya diminum lalu diubah menjadi salep atau bentuk aerosol itu dianggap obat baru. Harus diuji lagi. Demikian juga obat herbal berstandar harus melewati uji praklinis atau diuji di hewan,” kata Neni.
Sementara itu, fitomarmaka merupakan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis pada manusia. “Kalau fitofarmaka, ini bisa diresepkan oleh dokter. Kalau jamu dan obat herbal berstandar tidak bisa,” ungkapnya.
Menurut pengalaman Neni, uji klinis ini juga harus dilakukan dalam tiga tahap. Uji klinik fase satu untuk keamanan, fase dua untuk keamanan dan uji dosis, dan ketiga uji keamanan dan efikasi atau khasiat. “Jadi walaupun aman atau tidak ada efek samping, kalau khasiatnya rendah atau tidak ada khasiatnya, itu bisa dianggap membahayakan. Contohnya, orang merasa aman dengan obat-oabatan tertentu, padahal tidak, itu akan merugikan,” katanya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pekan lalu, Direktur Registrasi Obat BPOM Rizka Andalucia menegaskan, konsumen memiliki hak menggunakan obat dengan aman dan nyaman. Oleh karena itu, setiap obat yang beredar, termasuk herbal, harus diuji khasiat dan keamanannya.
Meski aman dan sudah biasa dipakai, kalau penggunaan obat tidak berkhasiat juga dianggap merugikan. Untuk Covid-19, sampai saat ini belum ada satu obat yang bisa dianggap bisa menyembuhkan, semuanya masih uji coba.
Rizka menambahkan, tanpa ada uji klinik, produk obat-obatan tidak bisa mendapatkan izin edar. Selain itu juga ada uji mutu, yang terkait dengan proses produksi. “Tidak boleh ada overklaim,” tuturnya.
Prosedur ini tidak bertujuan menghambat inovasi. Khusus untuk Covid-19, ada upaya percepatan, namun kaidah dasar seperti uji klinis tetap wajib dilakukan. Mengacu pada World Medical Association, sekalipun dalam kondisi darurat, obat yang diberikan tetap harus aman untuk melindungi masyarakat.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 6 Juli 2020