Darurat sampah plastik yang dialami Indonesia telah menggugah sebagian orang bergerak mengurangi sampah plastik. Ada yang memulai dengan mengubah gaya hidup sendiri, mengkampanyekannya ke orang lain, hingga menghasilkan produk yang ramah lingkungan.
Kisah-kisah itu muncul dalam acara Nature Youth Collaboration yang diadakan WWF Indonesia di Jakarta, Sabtu (16/3/2019) senja. Selain memperkenalkan laman baru www.wwf.id, acara ini mengangkat cerita para tokoh dan aktivis lingkungan dalam menjalankan gaya hidup ramah lingkungan.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Gede Robi, musisi dan aktivis lingkungan, menceritakan kegelisahannya melihat ‘banjir’ sampah yang melanda Indonesia, Jakarta, Sabtu (16/3/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gede Robi, musisi dan aktivis lingkungan, menceritakan kegelisahannya melihat ‘banjir’ sampah yang melanda Indonesia. Setidaknya ada 500 juta kantong kresek dan 92 juta sedotan plastik yang beredar di Indonesia setiap hari. Produk plastik yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari telah merusak alam, mengancam kehidupan satwa, bahkan kehidupan manusia.
Menurut Robi, kondisi demikian mesti segera dikendalikan. Jika tidak kondisinya akan semakin parah. Masyarakat, khususnya kalangan milenial, diajak untuk berhenti ataupun mengurangi penggunaan plastik.
Caranya adalah dengan menggunakan tas belanja dan menolak kantong kresek, menggunakan botol minum isi ulang, serta menggunakan sedotan tahan lama ataupun berhenti menggunakan sedotan sekali pakai.
“Sampah di Indonesia ibarat keran terbuka. Ember di bawahnya telah penuh dan membasahi sekitarnya. Kegiatan kita bersih-bersih pantai, sungai, dan mendaur ulang sampah hanya ibarat mengepel air yang tumpah. Lalu bagaimana bagaimana air bisa kering? Caranya, matikan kerannya. Berhenti gunakan plastik sekali pakai,” kata Robi, yang juga vokalis band Navicula.
Robi juga sempat menceritakan proyek film dokumentasi yang sedang digarapnya dan rencananya diluncurkan di bioskop November 2019. Film berjudul “Pulau Plastik” itu bercerita tentang kondisi pencemaran sampah di Bali. Dia berharap film itu nantinya bisa menggugah masyarakat agar lebih peduli terhadap isu sampah.
Cerita senada disampaikan Kleting Titis Wigati, perancang busana dan pegiat lingkungan. Pecinta kegiatan menyelam ini memperhatikan bahwa sampah plastik telah mengancam hingga ke kehidupan dasar laut. Selain berbagai jenis biota, tak jarang dia berjumpa dengan kemasan plastik di dasar laut. Sampah-sampah itu juga telah mengontaminasi ikan-ikan, termasuk yang dikonsumsi manusia.
Menurut Kleting, sebanyak 80 persen limbah plastik berasal dari manusia urban. Sampah itu dipicu pula oleh budaya konsumtif manusia yang serba instan dan serba baru.
Sebagai manusia urban dan pelaku industri fashion, Kleting pun cemas karena turut sebagai penyumbang sampah. Tidak hanya dari kemasan plastik makanan dan kemasan plastik produk pakaian yang dijualnya, tetapi juga produk pakaian itu sendiri, sebab industri fashion penyumbang polusi terbesar kedua di dunia.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Kleting Titis Wigati, perancang busana dan pegiat lingkungan menceritakan pengalamannya dalam mengurangi penggunaan sampah plastik dalam keseharian dan bisnis yang ditekuninya, Jakarta, Sabtu (16/3/2019).
Menyadari hal itu, Kleting mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, baik di kehidupan rumah tangganya maupun dalam bisnisnya. Kemasan plastik produk pakainnya diganti dengan kemasan bioplastik berbahan baku cassava.
Yang tidak kalah mendasar, Kleting tidak lagi memesan bahan baku baru dari pabrik untuk produk pakaiannya, melainkan menggunakan kain sisa pabrik garmen.
“Sebanyak 20 persen bahan sisa pembuatan pakaian dibuang atau dimusnahkan. Saya tidak mau menjadi penyumbang limbah. Jadi, saya mencari sampah pabrik (sisa bahan) kepada penadah. Sekarang saya bisa berkreasi tanpa menambah limbah,” kata Kleting.
Sementara itu, Sizigia Pikhansa, bagian pemasaran dan komunikasi Evoware, menceritakan bagaimana mulanya perusahaan itu memproduksi gelas dan kemasan makan berbahan rumput laut. Kedua produk itu lahir dari kegelisahan rekan-rekannya melihat ‘banjir’ sampah di Ibukota. Apalagi, telah ditemukan fakta bahwa 90 persen garam meja yang beredar di dunia terkontaminasi bahan mikroplastik. Parahnya, kandungan paling tinggi mikroplastik itu terdapat pada merek garam dari Indonesia.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Sizigia Pikhansa, bagian pemasaran dan komunikasi Evoware, menceritakan gelas berbahan rumput laut yang diproduksi perusahaannya, Jakarta, Sabtu (16/3/2019).
Maka, untuk menekan penggunaan gelas dan kemasan plastik sekali pakai, Evoware bersama mitranya meciptakan produk yang ramah lingkungan. Gelas dan kemasan rumput laut itu bisa dimakan setelah digunakan sehingga tidak menghasilkan sampah. Jika pun tidak dimakan, produk itu bisa dijadikan kompos. “Totally zero waste,” kata Sizigia. (YOLA SASTRA)–HENDRIYO WIDI
Editor HENDRIYO WIDI
Sumber: Kompas, 16 Maret 2019