Mahasiswa doktoral Program Clinical Medicine University of Oxford, Inggris, Indra Rudiansyah, yang terlibat dalam penelitian vaksin AstraZeneca untuk Covid-19 mendorong kemajuan riset vaksin di Indonesia.
Mahasiswa doktoral Program Clinical Medicine University of Oxford, Inggris, Indra Rudiansyah, merupakan diaspora Indonesia yang turut andil dalam pengembangan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Pengalaman dan ilmu yang dimiliki Indra dapat menjadi modal besar bagi Indonesia untuk mengembangkan vaksin Covid-19 ataupun penyakit lainnya.
Dalam live Instagram bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Jumat (23/7/2021), Indra menceritakan bahwa ia merupakan mahasiswa penerima beasiswa doktoral dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sebelum melanjutkan studi doktoral, Indra sempat bekerja selama dua tahun di Bio Farma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain University of Oxford, saat pendaftaran beasiswa, ia juga mengajukan studi di John Hopkins University, Amerika Serikat. Dari dua pengajuan tersebut, Indra hanya diterima di University of Oxford. Ia pun akhirnya melanjutkan studi di Oxford dengan topik penelitian vaksin malaria melalui teknologi viral vector.
Indra mengatakan, Oxford memiliki grup penelitian emerging pathogens, tetapi dengan jumlah tim yang kecil. Saat pandemi, grup ini membuka lowongan ke semua orang untuk membantu penelitian. Indra akhirnya mendaftar dan diterima dalam grup tersebut hingga terlibat dalam pengembangan vaksin AstraZeneca.
Setelah namanya mulai banyak disebut di sejumlah media, Indra menyebut banyak tim dari Bio Farma yang menghubunginya untuk diskusi dan berbagi pengetahuan terkait teknologi viral vector dalam pengembangan vaksin Covid-19. Namun, ia juga memandang bahwa peneliti di Bio Farma juga sudah memiliki kapasitas yang tidak kalah dengan peneliti luar.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU—-Mahasiswa doktoral Program Clinical Medicine University of Oxford, Inggris, Indra Rudiansyah (bawah) saat bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di Instragam live, Jumat (23/7/2021).
”Bio Farma sudah memiliki kapabilitas untuk produksi protein rekombinan untuk hepatitis B. Jadi, kita tinggal kita mendesain dari awal seperti apa. Mungkin dua platform lainnya, yaitu viral vector dan mRNA, yang masih ada challenge (tantangan),” ujarnya.
Viral vector merupakan teknologi mengembangkan vaksin dengan menggunakan virus rekayasa yang disisipkan protein untuk dibawa masuk ke dalam sel tubuh. Terdapat dua jenis dalam teknologi ini, yaitu metode yang bereplikasi dan tidak bisa bereplikasi atau memperbanyak diri.
Sementara teknologi mRNA (messenger RNA) menggunakan materi genetik untuk pengembangan vaksin atau protein paku (spike) dari sebuah virus. Zat tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memberi instruksi kepada sel tubuh dan memicu pembentukan antibodi terhadap virus.
Indra berharap para peneliti di Indonesia juga dapat menguasai viral vector dan mRNA mengingat teknologi baru ini mampu mengembangkan vaksin dengan lebih efektif. Menguasai semua teknologi tersebut juga sangat membantu untuk menghasilkan produk vaksin untuk penyakit lainnya selain Covid-19.
”Ini bisa menjadi kesempatan baru untuk kita menyelesaikan vaksin yang belum ada sampai sekarang. Dengan adanya teknologi tersebut mungkin dapat membantu kita untuk bisa membuat terobosan,” katanya.
Membantu pengembangan
Mendengar kisah Indra dalam menempuh studi dan pengembangan vaksin AstraZeneca, Erick pun meminta Indra agar kembali ke Indonesia dan membantu mengembangkan vaksin. Sebab, Erick mengakui bahwa riset dan pengembangan vaksin di Indonesia masih kurang.
Di sisi lain, Indonesia masih memiliki catatan untuk mengembangkan vaksin untuk penyakit selain Covid-19, seperti polio, malaria, dan tuberkulosis. Oleh karena itu, semua pihak termasuk BUMN juga perlu menyiapkan inovasi, riset, ataupun pengembangan yang dapat mendukung penanggulangan berbagai penyakit dengan prevelensi tinggi tersebut.
”Adanya Covid-19 ini membuat semua BUMN bertransformasi, termasuk Bio Farma. Sekarang di Bio Farma ada peneliti dari United Health Care Amerika yang dibawa kembali ke Indonesia untuk membangun sistem agar Bio Farma naik kelas di tingkat global,” katanya.
Menurut Erick, saat ini Bio Farma masih melakukan serangkaian tahap penelitian mengembangkan vaksin dari virus yang dinonaktifkan. Namun, Bio Farma juga mulai mencoba proses viral vector yang nantinya akan dikembangkan untuk vaksin Merah Putih atau vaksin BUMN tahun depan.
Guna mengoptimalkan riset dan pengembangan vaksin, kata Erick, Indonesia juga telah berkomunikasi dengan profesor di Oxford untuk bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Semua upaya ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, riset, dan pengembangan di Indonesia agar tidak kalah bersaing di tingkat global.
”Setelah tahun 2022, 2023, dan 2024, bukan tidak mungkin kita bisa loncat untuk mengembangkan vaksin dari viral vector atau mRNA. Sebab, upaya ini merupakan bagian dari ketahanan kesehatan nasional kita,” ucapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 23 Juli 2021