Dalam perut bumi terkandung beragam bahan tambang bernilai tinggi, di antaranya minyak dan gas alam. Pengambilan sumber energi mudah terbakar ini sulit karena terimpit berlapis formasi batuan di kedalaman ribuan meter. Bencana bisa terjadi dan tak teratasi jika rencana operasi serta langkah kontingensi tidak cermat dan cepat.
Di sumur minyak, kesalahan pengeboran bisa mengakibatkan ledakan gas, kebakaran, serta semburan lumpur dan minyak. Bencana teknologi itu bisa menimbulkan kerugian material, memakan korban jiwa, dan kerusakan lingkungan hidup.
Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya ada dua musibah besar di sumur minyak, yakni semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006 dan tumpahan minyak akibat ledakan sumur minyak di Celah Timor pada 2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ledakan di sumur minyak lepas pantai di Montara, Australia, 21 Agustus 2009, mencemari Laut Timor dan menimbulkan kerugian Rp 247 miliar bagi Indonesia. Semburan itu bisa diredam 80 hari setelah kejadian. Sementara semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006 berlanjut hingga kini.
Awal semburan lumpur panas itu di Desa Renokenongo, Porong, berjarak 150 meter dari sumur milik Lapindo Brantas Inc, Banjar Panji-1 (BJP-1). Lokasi semburan di permukiman, dekat kawasan industri, serta akses utama jalan raya, jalan tol, dan jalur kereta api.
Kasus lumpur panas itu memunculkan tiga versi pendapat para ahli geologi, geofisika, dan pengeboran migas. Menurut mereka, lumpur di Sidoarjo akibat salah pengeboran, gempa tektonik, dan kombinasi keduanya. Namun, sebagian besar mengarah ke faktor kesalahan pengeboran.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Para pakar di Geological Society of America menyimpulkan, erupsi lumpur dipicu kegagalan mengatasi tekanan tinggi fluida saat pengeboran di lapisan batuan yang banyak pori. Dalam konferensi internasional yang diadakan American Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town, Afrika Selatan, Oktober 2008, sebanyak 42 dari 74 ahli geologi berpendapat faktor penyebabnya adalah kesalahan pengeboran. Ada 16 peserta lain menyatakan pemicunya kombinasi kesalahan pengeboran dan gempa tektonik.
Pendapat ahli, luapan lumpur Lapindo karena keliru menetapkan lokasi pengeboran dan tak memasang casing (selubung lubang bor dari pipa baja) di semua lubang. Menurut RP Koesoemadinata, Guru Besar Geologi Institut Teknologi Bandung, casing terpasang seperempat dari lubang yang dibor. Padahal, casing untuk meredam kick, yakni masuknya fluida dari formasi batuan ke dalam sumur.
Saat terjadi kick, meski dipasang sistem mekanik penutup dan memompa semen penyumbat lubang, fluida bertekanan, dan bersuhu tinggi, menerobos celah batuan di lubang tak berselubung hingga naik permukaan lewat rekahan alami. Akibatnya, semburan lumpur panas terjadi di sekitar area sumur.
Tom Casadevall, pakar vulkanologi dari Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), memperkirakan, semburan baru berhenti setelah 30 tahun karena kandungan lumpur dari kubah vulkanik purba bervolume hingga 1,5 miliar meter kubik.
Penanggulangan
Menurut Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, kasus semburan lumpur sama dengan yang terjadi di lepas pantai Brunei pada 1979. Erupsinya baru berhenti hampir 30 tahun kemudian setelah dipasang 20 relief well, pengeboran menyamping untuk injeksi semen berdensitas tinggi agar menghambat laju semburan fluida. Teknik itu lama dipakai di Indonesia, di antaranya oleh Pertamina untuk mengatasi ledakan di Subang pada 1982.
“Penanggulangan lumpur di Sidoarjo dengan relief well jadi cara paling pas jika segera dilakukan setelah kejadian. Kalau kini sulit karena banyak retakan di bawah,” ucap Rovicky Dwi Putrohari, praktisi migas yang kini di Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Sementara lumpur Lapindo hanya ditangani dengan membuat tanggul penahan luapan dan membuangnya ke Kali Porong hingga laut. Itu mengakibatkan 600 hektar lahan di 19 desa di 3 kecamatan (Tanggulangin, Jabon, dan Porong) tergenang lumpur, sekitar 13.300 orang tergusur, kehilangan harta dan mata pencarian. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian Rp 28 triliun, terutama akibat infrastruktur yang rusak.
Ancaman baru
Semburan lumpur menimbulkan penderitaan warga setempat 10 tahun terakhir. Maka, saat Lapindo Brantas Inc akan kembali mengebor di Sidoarjo, awal Januari lalu, ditolak keras warga setempat. “Kepercayaan warga untuk memberikan ruang bagi eksplorasi pengeboran migas hilang,” kata Rovicky.
Perusahaan migas itu akan mengebor sumur baru di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Maret 2016. Jaraknya 2,5 kilometer dari pusat semburan lumpur yang aktif.
Lokasi sumur itu rawan bencana, berpotensi ambles, dan semburan gas mudah terbakar. “Lokasi itu dekat sesar hingga ke Pulau Madura,” ucap Kepala Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Amin Widodo.
Ada sejumlah sesar mikro, di antaranya Sesar Watukosek melewati Sidoarjo. Ada 15 gunung lumpur, yang terbesar di bawah lokasi lumpur Lapindo. Itu dipaparkan Sergey V Kadurin, Ketua Tim Riset Geologi Universitas Nasional Odessa Ukraina, yang meneliti pada 2010.
Sergey yakin, gempa tektonik di zona subduksi Samudra Hindia mengganggu kestabilan Sesar Watukosek dan mengusik gunung lumpur yang tidur, kedalaman 3 kilometer di bawah permukaan tanah. Menurut analisis model 3 dimensi, ada 2 kanal lumpur lain dekat Sidoarjo yang berpotensi besar meletus sewaktu-waktu.
Karena itu, rencana pengeboran lagi di Sidoarjo tak bisa mengabaikan hasil survei geologi tersebut. Rovicky menekankan, perlu akuisisi data bawah permukaan untuk melihat dampak setelah semburan lumpur dan potensi bencana lain.
Selama ini semburan liar, ledakan, dan kebakaran bisa terjadi akibat gas dangkal, zona bertekanan tinggi, dan rembesan air ke reservoir hidrokarbon. Gas dangkal berupa metana dan etana kedalaman hingga 20 meter bisa terkonsentrasi, dan bermigrasi, serta memicu ledakan karena pengeboran. Kegempaan bisa jadi pemicu.
Ancaman itu bisa diatasi dengan sarana berteknologi mutakhir. “Itu tergantung keahlian pakar, teknisi, dan kerja sama multidisiplin, merancang sistem bor dan casing, memantau operasi, dan antisipasi bencana,” kata Anggoro Dradjat, anggota IAGI. Pengeboran migas, menurut Rovicky, jika sesuai prosedur, aman di lokasi mana pun.–YUNI IKAWATI
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Ketika Lumpur Menyembur”.