Ketersediaan data terbuka mengenai perubahan iklim di Indonesia belum tersedia luas dan terpadu. Selain data tak lengkap, ditemukan pula format data yang tak memungkinkan analisis lebih lanjut. Akibatnya, pengambilan kebijakan pemerintah minim berbasis data dan publik sulit mengawasi aksi pemerintah menekan laju perubahan iklim.
“Tantangan data iklim Indonesia antara lain kurang akurat, tidak mutakhir, tersebar, sangat teknis, dan tidak interaktif,” ujar Direktur World Resources Institute Tjokorda Nirarta Samadhi pada peluncuran Platform Interaktif untuk Data Iklim (Pindai), di Jakarta, Senin (6/6).
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Emma Rachmawati menyatakan, ketersediaan data iklim sangat penting untuk mendukung penekanan laju perubahan iklim. Namun, masih ada kendala memenuhi data yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalam penyetoran data dari daerah, misalnya. Di daerah, pergantian personel sangat cepat sehingga penanggung jawab data juga sering ganti,” katanya. Akibatnya, pelatihan soal data harus terus dilakukan dan diulang.
Deputi II Kantor Staf Presiden RI Yanuar Nugroho menyatakan, data belum dihargai sebagai basis pembangunan dan pengambilan kebijakan. “Belum ada kebijakan disusun berbasis data. Masalahnya dua, substansi data apakah lengkap atau tidak dan bagaimana data ditata,” ujarnya.
Data terbuka
Contoh permasalahan penataan data ditemukan dalam pengelolaan data terbuka. Data terbuka adalah data yang bisa diakses dan digunakan lagi oleh publik. Seluruh data terbuka Indonesia dari kementerian, lembaga pemerintahan, pemerintah daerah, dan instansi pemerintah lainnya seharusnya disusun dalam portal www.data.go.id.
Faktanya, data dalam portal itu sangat terbatas, termasuk data perubahan iklim. Dalam laman itu, belum ada data terpadu perubahan suhu, kenaikan permukaan laut, atau laju deforestasi.
Kepala Subdirektorat Iklim dan Cuaca Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Syamsidar Thamrin menyatakan, data perubahan iklim juga sulit dicari karena program-programnya sering kali di bawah isu lain. “Isu ini sering di bawah isu lain, misalnya pemberdayaan masyarakat atau jender,” ujarnya.
Menurut analis data terbuka Bank Dunia Prasetya Dwicahya, penggunaan data terbuka dapat meningkatkan kemitraan, transparansi, dan akuntabilitas. “Memang tak cepat menyelesaikan masalah. Namun, ketersediaannya mendukung pembuatan kebijakan yang baik,” katanya.
Salah satu upaya pengintegrasian data iklim dilakukan WRI melalui platform Pindai. Dari laman cait.wri.org/indonesia, diperoleh data provinsi penghasil emisi tertinggi, sektor sumber emisi, upaya provinsi menurunkan emisi, kesesuaian komitmen iklim provinsi dengan target pembangunannya, dan kemajuan yang dicapai. (C01)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Ketersediaan Data Belum Memadai”.