Ketika perkembangan teknologi berlangsung begitu cepat, keterampilan yang dimiliki pekerja menjadi usang dengan cepat pula. Problem ini tentu menimbulkan tantangan tidak hanya bagi karyawan, tetapi juga bagi perusahaan.
AFP/JOHANNES EISELE–Dalam foto yang diambil pada 5 Februari 2019 ini, seorang pekerja perempuan tengah mengepak barang di gudang Amazon di pusat Staten Island, salah satu wilayah di New York, Amerika Serikat. Amazon berusaha mendongkrak kemampuan karyawannya, agar mampu menyesuaikan dengan teknologi baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi karyawan, keterampilan yang mereka miliki dan banggakan belasan tahun silam tiba-tiba menjadi kurang relevan. Tuntutan dunia nyata sudah tidak bisa lagi diatasi dengan keterampilan tersebut. Jika berkesempatan untuk membuat keterampilan mereka lebih sesuai dengan era sekarang, tentu karyawan tidak menemui masalah. Celakanya, hal yang lebih sering terjadi ialah banyak orang tidak berkesempatan untuk memperbarui keterampilan. Penyebabnya beragam, mulai dari tidak ada waktu, merasa sudah tua, hingga ketiadaan biaya.
Situasi ini tentu menimbulkan ancaman berupa pemutusan hubungan kerja. Kalaupun tetap bekerja, karyawan yang bersangkutan tidak berkembang dan sangat mungkin memberikan dampak yang tak diinginkan bagi lingkungan kerja.
Dari sisi perusahaan, situasi tersebut juga memberi kerugian. Rencana untuk membuat terobosan, persiapan untuk meningkatkan kinerja, akan gagal diwujudkan. Di sisi lain, tentu tidak mudah pula bagi perusahaan untuk menggelar pelatihan bagi karyawan. Dibutuhkan waktu, dana besar, dan perencanaan detail.
Amazon
Tantangan menghadapi keterampilan pekerja yang mulai usang tidak hanya dialami perusahaan-perusahaan ”berusia tua”. Bahkan, perusahaan baru yang bergelut di bidang teknologi pun ikut mengalaminya.
Media The Wall Street Journal edisi 11 Juli 209 dalam ”Amazon to Retrain a Third of Its US Workforce” menulis bahwa perusahaan raksasa Amazon mengumumkan rencana untuk memperbarui keterampilan para pekerjanya. Langkah ini diambil karena inovasi teknologi, antara lain machine learning, membuat terjadinya perubahan peran pekerja.
Perusahaan penjual dalam jaringan (daring) itu pada Kamis (11/7/2019) mengumumkan rencana untuk menggunakan dana 700 juta dollar Amerika Serikat (Rp 9,8 triliun) selama sekitar enam tahun guna melatih kembali sepertiga tenaga kerja Amazon di AS. Alasan Amazon, otomatisasi, machine learning, dan teknologi lainnya telah mengubah cara banyak karyawan melakukan pekerjaan.
Menurut The New York Times, Amazon menyebut program tersebut merupakan salah satu pelatihan ulang bagi karyawan yang terbesar di dunia. Program pelatihan berlaku di seluruh perusahaan, dari karyawan di kantor hingga pekerja di gudang. Total mereka yang dilatih mencapai sekitar 100.000 orang hingga tahun 2025. Adapun total jumlah karyawan Amazon di AS sekitar 300.000 orang. Amazon memiliki 630.600 karyawan tetap dan paruh waktu di seluruh dunia hingga 31 Maret.
Tak hanya Amazon yang menyiapkan pelatihan karyawan untuk menghadapi disrupsi. Perusahaan AT&T, Walmart, JPMorgan Chase & Co, serta Accenture juga memulai langkah untuk mempersiapkan pekerja menjalankan peran baru.
Pada saat tingkat pengangguran sedang rendah di AS, ditambah transformasi digital yang cepat serta membutuhkan keterampilan kerja berteknologi tinggi, kini lebih banyak perusahaan menyatakan hendak membantu karyawan bertransisi ke peran/posisi baru.
Ryan Carson, pendiri dan CEO Treehouse, menyatakan, banyak perusahaan menyimpulkan bahwa mereka harus melatih staf yang ada untuk mengambil berbagai jenis pekerjaan baru. Jika tidak melakukan hal itu, perusahaan akan mengalami kekurangan tenaga kerja untuk keahlian-keahlian baru. Treehouse selama ini mempertemukan para pendatang baru di dunia teknologi dengan perusahaan yang mencari karyawan dan melatih mereka.
”Hal ini merupakan awal dari gelombang (pelatihan terhadap karyawan),” kata Carson, seperti dikutip The Wall Street Journal. ”Kita pada dasarnya hanya kembali ke masa ketika perusahaan berinvestasi pada karyawan mereka sendiri.”
Susan Lund, ekonom di McKinsey Global Institute, yang merupakan bagian dari perusahaan konsultan McKinsey & Company, menegaskan, skala dan laju perubahan di sektor tenaga kerja sekarang belum pernah terjadi sebelumnya. ”Perusahaan tidak dapat menyewa dari jalanan semua orang yang mereka butuhkan. Perusahaan tidak mempunyai pilihan selain melatih pekerja mereka sendiri.”
Bagaimanapun, prospek terkait langkah pelatihan ulang seperti itu tetap belum pasti. Banyak perusahaan masih ragu, apakah lebih ekonomis melatih pekerja yang ada atau memberhentikan mereka demi mempekerjakan karyawan baru dengan keterampilan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Sejauh ini, perusahaan yang telah mempelajari program pelatihan ulang menyebut langkah tersebut dapat meningkatkan moral karyawan dan mencegah pekerja meninggalkan perusahaan. Namun, kenyataannya, tidak semua orang memiliki kapasitas atau kemauan untuk mempersiapkan menjalani peran baru.
”Teknologi mengubah masyarakat kita dan hal ini tentu saja juga mengubah pekerjaan,” kata Jeff Wilke, pemimpin bisnis ritel Amazon untuk seluruh dunia. Ia menyebut inisiatif pelatihan kembali sebagai cara untuk membantu pekerja menyiapkan ”peluang di masa depan”.
Meski demikian, tantangan bagi banyak pelatihan yang dilakukan perusahaan adalah memperkirakan keterampilan apa yang akan dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang. Menurut Jeff Strohl, Direktur Riset di Pusat Edukasi dan Tenaga Kerja Georgetown University, dalam situasi tersebut, orang sering salah memilih. Benarkah pelatihan kembali para karyawan akan membuat keadaan dan upah karyawan membaik?
The Wall Street Journal edisi 4 Februari 2019 dalam artikel ”Tech Is Splitting the US Work Force in Two” oleh Eduardo Porter menyatakan bahwa penelitian oleh Massachusetts Institute of Technology menyimpulkan kemunculan robot mengurangi permintaan akan pekerja. Situasi itu juga memberi tekanan pada upah, yang penambahannya lebih lambat ketimbang produktivitas karyawan.
Beberapa ekonom bahkan menyimpulkan, penggunaan robot memberi penjelasan mengapa terjadi penurunan porsi pendapatan nasional yang masuk ke gaji pekerja selama tiga dekade terakhir.
Dengan demikian, pelatihan kembali karyawan tampaknya memang belum memastikan apa-apa. Tekanan terhadap pekerja tetap bisa terjadi di tengah inovasi teknologi yang berlangsung cepat.–A TOMY TRINUGROHO
Sumber: Kompas, 13 Juli 2019