Kalangan industri peleburan logam besi dan baja berharap pemerintah mengganti persyaratan kondisi bersih untuk impor skrap atau material besi dan baja bekas, dengan memberikan toleransi impuritas.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)–Kontainer Berisi Limbah B3 – Petugas dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok memeriksa salah satu dari 113 kontainer berisi besi tua yang diduga terkontaminasi bahan beracun dan berbahaya (B3) di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (28/2). Kontainer-kontainer asal Inggris dan Belanda ini masuk ke Indonesia sebagai barang impor besi tua bahan baku industri baja.
Industri peleburan logam besi dan baja yang memanfaatkan scrap atau material besi dan baja bekas kini kesulitan mendapatkan bahan baku. Kesulitan itu di antaranya disebabkan kesulitan memenuhi persyaratan kondisi bersih yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri .
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) persyaratan bersih tersebut memiliki persepsi bahwa bahan baku berupa logam tersebut harus 100 persen bebas dari pengotor. Persyaratan ini dinilai tak mungkin dipenuhi karena besi-baja tersebut didapatkan dari luar negeri dengan persyaratan umum yang berlaku internasional.
Apabila harus bersih sempurna, bahan baku akan sangat mahal dan tak memiliki daya saing untuk diolah. “Lagi pula kami secara logika tak akan mau kalau (bahan baku) sangat kotor karena kami belinya kan per berat. Jadi kalau banyak pengotor kami akan rugi,” kata Ismail Mandry, Wakil Ketua IISIA, Senin (9/12/2019), di Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO-+Wakil Ketua Umum The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry
Ia mengharapkan pemerintah mengganti persyaratan tersebut dengan memberikan toleransi impuritas (bahan pengotor). Ia mengatakan impuritas yang berlaku di Eropa sebanyak dua persen dan Vietnam lima persen. Artinya apabila terdapat pengotor dalam persentase tersebut, masih diperbolehkan untuk diturunkan dari pelabuhan dan diangkut ke tempat pengolahan/pabrik.
Ismail mengatakan, skrap atau rongsokan logam bekas tersebut biasanya berasal dari blok mesin maupun bekas-bekas alat berat yang tak bisa bersih 100 persen. Sehingga, menurutnya, lumrah kalau masih terdapat oli yang menempel pada blok mesin tersebut.
Ditanya terkait pengelolaan atas pengotor-pengotor ini, ia mengatakan logam besi-baja tersebut dimasukkan dalam tanur peleburan bersuhu lebih dari 1.600 derajat celcius. “Jadi pengotor seperti oli akan habis terbakar,” kata dia.
Akibat aturan ini, kata dia, tidak ada penjual logam bekas di luar negeri yang mau bertransaksi dengan pembeli di Indonesia. Ia mengatakan, suplai logam-logam bekas tersebut malah akan beralih ke industri besi-baja di negara tetangga yang menjadi kompetitor Indonesia.
Apabila industri dalam negeri kesulitan mendapatkan bahan baku daur ulang logam ini, industri akan mengalihkannya dengan mengimpor billet atau produk logam setengah jadi dari negara lain yang memiliki harga lebih mahal, sedikit nilai tambah dibandingkan melebur skrap, dan makin menggerus devisa. Hal ini pun akan berdampak pada terhentinya proses peleburan di hulu yang berdampak pada nasib tenaga kerja pabrik.
Direktur PT Jatim Taman Steel MFG, Nyoman Sugiartha A mengatakan pihaknya tak bisa mengganti bahan baku dengan billet. Alasannya, proses produksi di tempatnya didesain spesifik untuk kebutuhan otomotif sehingga mengubah bahan baku sama artinya dengan mendesain ulang seluruh proses industrinya.
Ia pun meminta agar pemerintah membuka keleluasaan impuritas. “Pemerintah mungkin lupa bahwa scrap itu sisa bahan produksi, bahan baku. Kalau dikatakan tidak terkontaminasi oli tidak mungkin,” kata dia.
Waktu transisi
Akibat aturan Permendag Nomor 84/2019 ini, sejumlah perusahaan peleburan kehabisan bahan baku. Peraturan yang hanya memberi waktu transisi pelaksanaan sebulan ini membuat stok kian menipis bahkan beberapa industri tutup.
Seperti dituturkan Jansen Panggabean, Head of Department Logistic and Purchasing PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills, pabriknya ditutup selama sebulan karena ketiadaan bahan baku. Perusahaan ini pernah juga mengalami permasalahan serupa di tahun 2012 saat terjadi reekspor ratusan kontainer berisi logam bahan baku daur ulang.
Akibat peraturan yang tak memberi keleluasaan waktu yang cukup bagi industri untuk beradaptasi tersebut, Lisa dari Global Metcorp LTd, perusahaan di Jakarta Barat, mengatakan saat ini 200.000 ton bahan baku yang didatangkannya tertahan. “Trader batalin kontrak karena ada permen baru ini,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengecoran Logam Indonesia Safiun pun menyatakan permasalahan serupa. Pengaturan impor scrap ini menyebabkan industri pengecoran logam terhenti. “Termasuk di antaranya salah satu pabrik yang selama ini mengimpor scrap dan kemudian seluruh produknya diekspor juga terhenti,” kata Safiun di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Safiun menuturkan, kondisi seperti ini berpotensi menambah beban defisit transaksi berjalan. Pelaku usaha berharap penyelesaian persoalan yang menghambat kegiatan produksi seperti ini. “Hal ini penting sekali karena menyangkut kondisi industri besi baja nasional dan devisa Indonesia,” kata Safiun.
Wakil Ketua IISIA Ismail Mandry mengatakan pihaknya pada 13 November atau 10 hari sebelum Permendag Nomor 84/2019 dinyatakan berlaku, telah mengirim surat permohonan kepada Menteri Perdagangan untuk menunda dan merevisi permendag tersebut.
“Kami, The Indonesian Iron & Steel Industri Association (IISIA) sebagai wadah organisasi 192 perusahaan dan 34 di antaranya adalah produsen peleburan industri besi dan baja dengan ini menyatakan sangat keberatan dan mengajukan permohonan penundaan sekaligus dilakukan revisi terhadap permendag tersebut,” demikian tertulis dalam surat tersebut.
Selain terkait impuritas, industri besi dan baja ini juga mengeluhkan beberapa pengaturan baru dalam permendag. Di antaranya terkait direct shipment (pengapalan/pengiriman langsung) yang dinilai tak mungkin karena penyedia jasa logistik tak mungkin hanya mengirim kontainer berisi skrap dari Eropa langsung ke Indonesia. Kapal-kapal kontainer tersebut pasti singgah ke beberapa pelabuhan untuk bongkar-muat demi efisiensi dan memaksimalkan kapasitas kapal.
Mereka pun mengeluhkan tentang syarat transaksional yang mengharuskan pembeli harus membeli langsung dari penjual skrap. “Hal ini tidak mungkin karena yang berlaku di pasar internasional selama puluhan tahun kita beli lewat trader,” kata dia.
Ismail pun menyatakan keberatan dengan kewajiban menyertakan pernyataan bahwa eksportir di negara asal bersedia menerima kembali apabila skrap mengandung bahan beracun berbahaya. Ia mengatakan terkait pengotor ini importir (industri di Indonesia) telah menggunakan jasa surveyor dengan biaya 1.300 dollar AS per 25 kontainer.
Surveyor ini yang bekerja sama dengan jejaring di negara asal barang untuk melakukan pengecekan kondisi bahan baku tersebut. Dari sisi ini, ia pun mempertanyakan fungsi surveyor tersebut. “Kita bayar ribuan dollar, namun bila barang tiba dan bermasalah, kita harus reekspor dengan kerugian sangat besar dan terancam pidana,” kata dia.
Seperti diberitakan, Permendag Nomor 84/2019 merevisi Permendag Nomor 31/2016. Revisi tersebut didorong oleh permasalahan impor pada industri daur ulang kertas dan plastik yang memiliki pengotor sangat tinggi. Sampah pengotor tersebut menjadi permasalahan di sejumlah daerah, seperti di Tropodo, Sidoarjo Jawa Timur, sampah plastik residu digunakan untuk bahan bakar industri tahu. Di beberapa tempat lain, sampah-sampah plastik yang disortir dari bahan baku daur ulang dibakar begitu saja maupun mengotori lahan dan sungai.
Oleh ICHWAN SUSANTO/C ANTO WALYONO
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 10 Desember 2019