Pulau-pulau kecil tenggelam. Beruang kutub kehilangan rumah. Sumber air berkurang drastis. Penyakit tropis meluas. Tanaman pangan gagal panen. Terumbu karang memutih, berakibat pada anjloknya populasi ikan. Permukaan air laut naik sehingga sekitar 100 juta manusia harus bermigrasi. Bencana alam hidrometeorologi dan ikutannya akan semakin sering terjadi, menguat, dan meluas: topan, badai, banjir, dan tanah longsor.
Narasi panjang tentang bencana diingat setiap kali Konferensi Perubahan Iklim berlangsung. Berkumpulnya sekitar 10.000 orang dari sekitar 200 negara pada Pertemuan Para Pihak dalam Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) di Bonn, Jerman, 6-17 November, akan mencari konsensus tentang bagaimana Kesepakatan Paris diimplementasikan mulai 2020. Saat ini, 169 negara dari 197 para pihak telah meratifikasi kesepakatan tersebut. Setiap negara mengajukan Niatan Kontribusi Nasional (NDC) yang memuat berapa besar kontribusi penurunan emisi dan dari mana penurunannya.
Target Kesepakatan Paris adalah menahan kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah 2 derajat celsius dan dengan upaya keras tidak melampaui 1,5 derajat celsius dari temperatur sebelum Revolusi Industri. Faktanya, pada awal 2016, kenaikan suhu rata-rata bumi mencapai 1,48 derajat, mendekati batas 1,5 derajat celsius batas Kesepakatan Paris yang disetujui 12 Desember 2015 di Paris. Kenaikan pada Februari 2016 mencapai 1,55 derajat celsius, kenaikan suhu rata-rata bumi tertinggi yang pernah tercatat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari penelitian para ahli klimatologi ditemukan: kalaupun emisi dari aktivitas manusia mendadak dihentikan sekarang, kandungan gas rumah kaca (GRK) dalam atmosfer tetap mampu meningkatkan suhu bumi sekitar 1,3 derajat celsius pada akhir abad ini. Agar kenaikan temperatur tidak melampaui 2 derajat celsius, peluangnya amat tipis, tinggal 5 persen. Analisis ini didasarkan dari statistik pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan populasi di 150 negara. Dampaknya jelas: kerja dalam ekosistem akan kolaps.
Berlawanan dari prakiraan di atas, ahli fisika dari Oxford University, Richard Millar, berdasarkan hasil studinya yang dimuat Nature Geoscience menyebutkan, target Kesepakatan Paris 1,5 derajat celsius bukannya tidak mungkin, tetapi tercapai, hanya saja ”sangat, sangat sulit”.
Pendapat ini ditentang banyak pihak karena didasarkan pada laju kenaikan suhu bumi pada era saat tingkat emisi melambat, yang disebut sebagai periode climate hiatus (kesenjangan sistem iklim), yaitu pada awal milenium hingga 2014. Pada periode ini, dari sejumlah penelitian menunjukkan, sistem iklim secara temporer menekan kenaikan suhu.
Yang pasti, saat ini Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) sedang menyusun laporan tentang makna kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celsius. Laporan ini baru akan terbit tahun depan.
Ada yang harus diingat. Dalam sistem perubahan iklim berlaku prinsip: umpan balik positif. Hal lainnya, meledaknya populasi global tidak sebangun dengan kenaikan suhu global karena terjadi di negara berkembang yang tingkat emisi per kapita jauh lebih rendah daripada tingkat emisi per kapita negara maju. Negara-negara maju yang telah sukses menurunkan emisi
tercatat negara-negara Eropa Barat yang populasinya relatif rendah.
Maka, ”hiruk pikuk” COP-23 UNFCCC di Bonn, Jerman, kali ini amat ditunggu hasilnya. Apakah konsensus tentang implementasi NDC dalam Kesepakatan Paris menyulitkan negara-negara berkembang atau tidak? Kecenderungan selama ini adalah: konsensus tersebut berimplikasi pada ketergantungan negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Adakah target 1,5 derajat celsius akan membawa keadilan iklim? Mari kita mencecap Kesepakatan Paris: kebersamaan dalam memikul tanggung jawab itu bakal terasa manis atau hambar…?–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 8 November 2017