Pembangunan yang hanya bertumpu pada kepentingan ekonomi telah merusak lingkungan. Dampaknya, populasi hewan menurun, kehidupan manusia pun terancam.
Ekosistem alam di bumi terus mengalami degradasi. Keserakahan konsumsi manusia, terutama pembangunan yang hanya bertumpu pada kepentingan ekonomi, menjadi penyebab utamanya. Padahal, alam memiliki nilai penting untuk kesejahteraan serta perekonomian dunia. Ekosistem yang hancur tak bisa pulih lagi.
Laporan The Living Planet Report 2018 yang dikeluarkan organisasi konservasi global World Wide Fund for Nature (WWF) akhir Oktober lalu, menyebutkan, dampak aktivitas manusia membuat kondisi satwa liar, hutan, lautan, sungai, dan iklim semakin buruk. Populasi hewan bertulang belakang, seperti burung, mamalia, ikan, reptil, dan amfibi menurun 60 persen hanya dalam kurun 40 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan ini termasuk temuan terbaru yang diukur menggunakan Indeks Kehidupan Planet yang melacak 16.704 populasi dari 4.005 spesies hewan tulang belakang (vertebrata) dari tahun 1970 hingga 2014. Dari jumlah ini, sebanyak 44 spesies berada di Indonesia.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO (GER)–Bayi Badak Sumatera Delilah bersama induk Badak Sumatera Ratu menyantap buah-buahan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Rabu (27/6).
“Ancaman utama yang menyebabkan menurunnya populasi spesies tersebut adalah akibat dari aktivitas manusia, termasuk ekploitasi habitat karena lahan baru dan eksploitasi berlebihan satwa liar,” kata Direktur Program Konservasi WWF Indonesia Lukas Laksono Adhyakso di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Living Planet Report 2018 merupakan publikasi ke-12 yang dihasilkan oleh WWF. Laporan dua tahunan ini dianalisis dari sejumlah indikator dari Zoological Society of London (ZSL), Indeks Habitat Spesies (SHI), Indeks Daftar Merah IUCN (RLI), Indeks Keutuhan Keanekaragaman Hayati (BII), serta Batas Planet dan Jejak Ekologis (Planetary Boundaries and the Ecological Footprint).
Hasil laporan ini memperlihatkan pula kondisi habitat dan sumber daya alam satwa liar semakin terpuruk. Selama 50 tahun terakhir, 20 persen dari Amazon telah hilang. Setengah dari karang air dangkal di bumi telah hilang dalam 30 tahun terakhir. Populasi air tawar pun merosot hingga 83 persen.
Kondisi habitat dan sumber daya alam satwa liar semakin terpuruk. Selama 50 tahun terakhir, 20 persen dari Amazon telah hilang.
Ketua Umum Perkumpulan Cendekia Lingkungan Indonesia yang juga Director of Institute for Suistanable Earth and Resources Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, menyampaikan, kondisi Indonesia tidak berbeda jauh dengan data global tersebut. Meski belum ada data yang komprehensif terkait kondisi di Indonesia, keanekaragaman hayati di Indonesia cukup besar.
Setidaknya, 10 persen tumbuhan berbunga di dunia ada di Indonesia. Hal ini juga termasuk 15 persen serangga, 25 persen ikan, 16 persen amfibi dan reptil, 17 persen burung, serta 12 persen mamalia di seluruh dunia ditemukan di Indonesia.
“Jika tidak ada perubahan total dari konsumsi manusia, jelas bumi bisa terancam. Bumi terancam, berarti manusia terancam,” katanya.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA (PRA)–Orangutan Borneo (BOS) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memiliki 224 individu orang utan yang direhabilitasi.
Ekonomi berkelanjutan
Solusi praktis yang bisa dilakukan, kata Jatna, melalui pengembangan bioekonomi. Sistem ini berupa pengelolaan sumberdaya hayati dengan memasukkan konsep ekonomi yang berkelanjutan agar menghasilkan keuntungan yang optimal. Misalnya, pemerintah bisa memaksimalkan pengelolaan taman nasional sebagai alternatif tempat wisata. Selain itu, pelibatan masyarakat sekitar untuk pelestarian alam juga bisa lebih mudah dilakukan karena masyarakat juga mendapatkan keuntungan ekonomi.
Dalam Living Planet Report 2018 disebutkan pula, alam menyediakan layanan bernilai sekitar 125 triliun dollar AS per tahun. Alam juga memastikan pasokan udara yang baik, air bersih, makanan, energi, obat-obatan, dan berbagai hal lain.
Ketika satu populasi punah, bisa mengacaukan sistem ekosistem yang ada. Hewan penyerbuk misalnya, mereka bertanggung jawab untuk sepertiga dari semua produksi makanan. Burung, kelelawar, dan reptil juga berperan mengendalikan nyamuk yang menyebarkan penyakit.
“Nasib satu populasi hewan dapat memiliki konsekuensi yang jauh dan tak terduga pada keberlangsungan hidup di bumi, terutama untuk manusia,” ucap Lukas.
Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia juga menyebutkan, hilangnya keragaman hayati dan keruntuhan ekosistem merupakan salah satu dari 10 ancaman ekonomi teratas pada tahun 2018.
Hilangnya keragaman hayati dan keruntuhan ekosistem merupakan salah satu dari 10 ancaman ekonomi teratas pada tahun 2018.
Berdasarkan Statistik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem 2017 ada 236 jenis satwa yang dilindungi di Indonesia. Satwa tersebut diantaranya harimau sumatera yang saat ini populasinya berjumlah 78 ekor, gajar sumatera (586), badak jawa (64), badak sumatera (36), dan orangutan kalimantan (2.492), dan orangutan sumatera (86).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Kondisi terumbu karang di salah satu sudut titik selam Bhayangkari, Desa Barat Lembongan, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/10/2017).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Budi Setiadi Daryono mengungkapkan, manusia sangat bergantung pada alam, tetapi pada kenyataannya justru manusialah yang paling berkontribusi merusak alam. Degradasi fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati disebabkan oleh habitat yang semakin berkurang, ekploitasi yang berlebihan, perubahan iklim, serta populasi.
“Semua harus bergerak bersama karena kunci keberhasilan konservasi alam adalah sinergi, termasuk juga sumber daya peneliti. Selain itu, perlu ada perubahan pada pola konsumsi agar tidak berlebihan, pembiayaan yang merujuk pada keberlanjutan, dan komitmen pemerintah yang kuat,” ujarnya.
Indeks keanekaragaman hayati Indonesia
Manajer Program WWF Indonesia Barano Sulistyawan mengatakan, indeks keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan salah satu yang penting untuk dibentuk. Selama ini belum ada catatan yang pasti mengenai kondisi serta jumlah populasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Tanpa ada indeks keanekaragaman hayati, upaya konservasi yang dilakukan tidak bisa terukur sehingga hasilnya pun tidak optimal.
“Kami telah mendorong Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) untuk mulai merumuskan indeks biodiversity (keanekaragaman hayati) Indonesia. Harapannya bisa dilakukan percepatan. Sumber daya yang dibutuhkan juga sudah siap,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 17 November 2018