CATATAN IPTEK
Video sekitar 30 detik yang diunggah akun @Iputrii1 di Twitter menampilkan pemandangan horor Stasiun Kereta Api Duri di Jakarta. Penumpang yang baru keluar dari gerbong kereta api berebut naik tangga berjalan yang sempit. Sebagian kemudian naik eskalator yang seharusnya untuk turun dengan melawan arah gerakan tangga itu.
Tayangan itu kemudian viral dan diulas di banyak media daring dan televisi. Salah satu narator di televisi swasta mengomentari video itu sebagai cermin perilaku ceroboh, tidak sabaran, dan tidak disiplin masyarakat kita. Benarkah itu sikap mental bawaan manusia Indonesia?
Bagi penumpang kereta api dalam kota di Jabodetabek yang kerap bepergian di jam-jam sibuk berangkat atau pulang kantor, sebenarnya tak akan asing dengan suasana yang tak nyaman seperti di Stasiun Duri ini. Di Stasiun Tanah Abang dan beberapa stasiun padat lain juga terjadi hal ini. Kapasitas tangga yang disediakan tidak memadai. Maka saling gontok dan berebut cepat pun kerap terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesemerawutan di Stasiun Duri memang mencerminkan perilaku masyarakat kita yang kerap serampangan di ruang publik. Perilaku ini misalnya juga terlihat di lalu lintas yang saling srobot hingga perilaku membuang sampah sembarangan hingga mencemari sungai dan laut kita.
Namun stigma bahwa perilaku ini berakar pada mental penduduk negeri ini tidak sepenuhnya tepat. Jika kita mengakui stigma ini, artinya mengikuti cara pandang kolonial bahwa orang Indonesia pemalas dan korup. Sosiolog Syed Husein Alatas dalam dua bukunya, Mitos Pribumi Malas (1988) dan Sosiologi Korupsi (1982), telah mengurai panjang lebar tentang kekeliruan stigma itu.
KOMPAS/WISNU WIDIANTO–Ribuan penumpang berjalan menuju pintu keluar Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, sesaat setelah turun dari Kereta Api Matarmaja jurusan Malang-Jakarta, Minggu (4/9/2011).
Menurut Alatas, citra tentang kemalasan dan korupnya penduduk negeri ini ditiupkan penjajah untuk melegitimasi penindasan dan ketidakadilan dalam memobilisasi tenaga kerja demi kepentingan kolonial. Penduduk Indonesia sejatinya pekerja keras dan korupsi lebih disebabkan lingkungan birokrasi dan celah aturan yang mendukung perilaku sosial menyimpang ini. Bahkan, kolonialisme, menurut Alatas, merupakan salah satu pemicu suburnya korupsi.
Pelabelan terhadap karakter suatu bangsa pada dasarnya merupakan penyederhanaan terhadap kompleksitas perilaku manusia. Wartawan dan budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977 melontarkan autokritik tentang karakter manusia Indonesia. Pada pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis menyebut enam ciri orang Indonesia. Urutan teratas adalah munafik yang menyuburkan sikap asal bapak senang (ABS). Ciri berikutnya enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah karakternya. Pidato ini mengundang polemik panjang.
Kita bisa beradu argumen hingga tak ada habisnya soal benar tidaknya pengamatan Mochtar Lubis maupun sanggahan Alatas. Faktanya, perilaku manusia sebenarnya bisa diubah melalui pendidikan nilai-nilai yang baik.
Pendidikan nilai ini tentu saja tidak cukup dikhotbahkan melalui melalui ruang kelas ataupun mimbar ceramah agama. Namun, yang paling penting adalah membentuk “habitus”-nya, melalui latihan dan pembiasaan. Menurut Bourdieu, pemikir Perancis yang merumuskan konsep habitus ini, penyampaian nilai-nilai paling efektif justru secara tersirat, yaitu melalui teladan dan penciptaan lingkungan yang kondusif.
Diskusi tentang rekayasa perilaku manusia Indonesia sebenarnya pernah menghangat di masa kampanye dan awal Pemerintahan Joko Widodo lalu, namun berhenti pada slogan Revolusi Mental. Padahal, banyak negara yang sukses memperbaiki nilai-nilai warganya dengan menciptakan habitus yang baik.
Misalnya Jepang yang sukses menjadi negara berdisplin tinggi. Selain melalui pengalaman di sekolah, pendisiplinan ini juga dilakukan melalui sistem kereta api. Sekalipun penumpang komuter di Jepang lebih tinggi dibandingkan Jakarta, namun pemandangan melawan tangga berjalan tak akan ditemui di negeri ini karena kapasitas tangga di ruang stasiun rata-rata telah memadai.
Sedangkan soal disiplin waktu, akurasi jadwal kereta api di Jepang membuat masyarakatnya harus pintar-pintar menghargai waktu. Sebagai gambaran, pada tahun 2014, total keterlambatan kereta cepat Jepang, Shinkansen, selama setahun tak lebih dari 54 detik. Rekor tersingkat keterlambatan dalam setahun adalah 18 detik. Jadwal kereta api yang bisa diandalkan ini membuat orang Jepang tidak alasan untuk keterlambatan. Sebelum revolusi kereta apinya sekitar tahun 1960-an, orang Jepang tak sedisplin saat ini soal waktu.
Namun, jangan heran jika orang Jepang yang bisa tepat waktu di negara asalnya bisa terlambat begitu di Indonesia, karena lalu lintas kita tak mudah diprediksi. Demikian sebaliknya, orang Indonesia bisa menjadi tertib waktu jika lama tinggal di Jepang. Jadi, perilaku manusia, bisa berubah karena lingkungannya.
Dibandingkan 10 tahun silam, kondisi kereta api dalam kota di Jabodetabek sebenarnya sudah jauh lebih baik. Dulu stasiun dan gerbong kereta kotor serta bau pesing. Penumpang berebut tempat dengan asongan, pengamen, tukang sapu, hingga peminta. Jadwal kereta pun tak menentu.
Suasana berubah drastis begitu desain stasiun diubah. Mereka yang bisa masuk peron hanya yang memegang tiket. Bangunan stasiun diperbaiki dan dibersihkan.
Pada awal dilakukannya reformasi perkeretaapian dalam kota ini masih terlihat tentara hilir mudik di gerbong atau stasiun-stasiun untuk memastikan ketertiban. Namun belakangan, tak ada lagi tentara, tetapi gerbong dan stasiun tetap bersih. Kini, sistem tiket dan antrean di pintu masuk stasiun sudah berjalan tanpa ada lagi pengawalan.
Nah, solusi untuk horor di Stasiun Duri, Stasiun Tanah Abang dan stasiun padat dalam kota lainnya sebenarnya cukup sederhana: buatlah desain ruang yang manusiawi. Tambah kapasitas tangga, atau jika perlu buatlah terowongan penyeberangan seperti di Stasiun Manggarai, sehingga orang tidak dipaksa menjadi beringas dan kehilangan kemanusiaannya.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 4 April 2018