Organisasi nonpemerintah pemerhati lingkungan hidup Greenpeace menilai, Deklarasi Bangkok dan Kerangka Aksi ASEAN tentang sampah di laut belum mengatasi akar masalah pencemaran plastik di masyarakat. Kerangka tersebut masih berfokus pada pengelolaan limbah, bukan mengurangi produksi plastik sekali pakai.
Dalam pernyataan resmi yang diterima pada Selasa (25/6/2019) di Jakarta, Greenpeace menyatakan, persoalan plastik harus ditangani secara komprehensif, mulai dari produksi, konsumsi, hingga akhir siklus pemakaiannya. Sementara Kerangka Aksi ASEAN hanya melihat permasalahan plastik pada hilir, seperti persoalan buruknya sistem daur ulang, pengelolaan, dan pembuangan limbah.
ANTARAFOTO/PUSPA PERWITASARI–(Dari kiri) PM Malaysia Mahathir Mohamad, Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Thailand Prayuth Chan-ocha, PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, Presiden RI Joko Widodo, dan Presiden Laos Bounnhang Vorachith berfoto bersama saat pembukaan KTT Ke-34 ASEAN di Bangkok, Thailand, Minggu (23/6/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Seharusnya, semua negara ASEAN fokus ke hulu persoalan yang secara drastis mengurangi produksi plastik. Dengan begitu, dapat signifikan berimbas pada turunnya pencemaran akibat sampah plastik sekali pakai,” ujar Juru Kampanye Urban Greenpeace Muharram Atha Rasyidi.
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI–Anak-anak di Desa Bangun, Mojokerto, bermain di tengah gunungan sampah plastik, Rabu (19/6/2019).
Meski telah menyentuh aspek inovasi dan alternatif, Kerangka Aksi ASEAN yang disusun dinilai tidak memiliki visi untuk mengembangkan sistem yang tepat. Sistem yang diharapkan lebih mengembangkan inovasi hijau untuk membantu memfasilitasi perubahan pola pikir masyarakat pada plastik sekali pakai. Adapun saat ini sistem yang dibangun hanya sekadar mengganti kemasan dengan bahan sekali pakai lainnya.
Selain itu, masalah mendasar lain yang disoroti dalam Kerangka Aksi ASEAN adalah impor sampah plastik yang gagal diatasi. Negara-negara ASEAN perlu berjuang lebih keras melawan perdagangan sampah plastik yang memiliki konsekuensi ekologis dan sosial yang serius.
Ratifikasi
Untuk itu, Greenpeace merekomendasikan agar negara-negara di ASEAN segera menerapkan larangan pada semua impor sampah plastik, bahkan untuk keperluan daur ulang sekalipun. Semua negara ASEAN pun perlu memastikan telah meratifikasi Amandemen Konvensi Basel tentang Perdagangan Sampah Plastik.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Berbagai jenis sampah plastik yang dipisahkan sesuai jenis dan warnanya sebelum dicacah dan dibersihkan, di Desa Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (23/4/2019). Dari pemrosesan berbagai limbah plastik yang dicacah tersebut, mereka dapat menjual kembali ke pabrik pengolahan plastik. Harga jual plastik cacahan Rp 5.500-Rp 14.000 per kilogram berdasarkan jenisnya.
Greenpeace juga merekomendasikan adanya penetapan kebijakan regional yang holistik untuk mengurangi produksi kemasan dan produk plastik sekali pakai secara masif. Setiap negara didorong memfasilitasi inovasi pada kemasan yang dapat digunakan kembali dan sistem pengiriman alternatif.
Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia Ester Meryana menambahkan, Greenpeace mendorong setiap negara ASEAN untuk memajukan kerangka ekonomi sirkular yang berkelanjutan, etis, dan berdasarkan pada pendekatan nol sampah (zero waste) yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.
”Kami juga mendorong kawasan ASEAN untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari ekstraksi, produksi, konsumsi, dan pemborosan sumber daya yang berlebihan,” ucap Ester.–DEONISIA ARLINTA
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 25 Juni 2019