Kekayaan alam indonesia tak terbantahkan. Wallace menemukan kawasan ekosistem transisi yang eksotis di belahan Indonesia Timur. Diakah pencetus teori evolusi yang sesungguhnya?
SECARA alamiah, harimau, macan kumbang, atau bekantan tak pernah hadir di Indonesia bagian Timur. Kalau pun ada di Sulawesi, Maluku, Pulau Irian, atau Nusa Tenggara, satwa-satwa ini cuma tamu yang menghuni kebun binatang. Sebaliknya, hewan seperti monyet kerdil tarsius dan burung kakak tua hanya ada di Timur. Hewan-hewan ini tidak pandai bermigrasi melintasi laut lebar hingga tinggal menjadi satwa endemik di kampung halamannya.
Keragaman hewan, juga tetumbuhan, bagian Timur dan Barat Indonesia sangat berbeda. Kedua wilayah ini terpisah oleh batas alam yang tegas. Itulah garis Wallacea. Garis imajiner ini tegas memisahkan Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian dengan Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan`Bali. Kedua wilayah itu berbeda secara biogeografis dan zoogeografis. Nama Wallacea itu diambil dari ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace, yang melaku-kan ekspedisi ke Kepulauan Nusantara pada tahun 1840-an. Ia yang menyimpulkan adanya pemisahan komunitas biologis di kedua wilayah besar tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syahdan, permukaan bumi yang kini berusia 6 milyar tahun itu terus saja berubah. Ada proses formasi dan deformasi. Sekitar 200 juta tahun lalu, kawasan Indonesia Timur itu menjadi satu dengan benua Asia. Deformasi muka bumi berlangsung, terjadi pemisahan dan wilayah Timur itu bergandengan dengan kontinen baru, Australia. Begitu berlangsung berjuta tahun, sehingga tiba saatnya Kawasan Timur Indonesia itu meninggalkan kontinen subtropik Australia yang kering, lalu menghuni sebuah habitat di daerah tropis basah. Ekosistem baru pun berangsung-angsur terbentuk dengan mengikuti hukum evolusi.
Hasilnya, kawasan barat Indonesia menjadi bagian dari evolusi Asia. Namun, kawasan Timur tumbuh menjadi ekosistem yang eksotik. Tak ada duanya di dunia. Secara terbatas, memang ada sedikit kemiripan dengan unsur-unsur ekosistem Australia.
Mau bukti? Ratusan jenis hewan endemik berkembang biak di sana. Sebut saja anoa (sapi bertanduk), yang disebut-sebut binatang berbahaya karena temperamennya susah ditebak. Ada pula babirusa, sejenis babi yang punya taring panjang melengkung hingga mata. Ada pula komodo si kadal raksasa, monyet imut tarsius yang bermata belok. Belum lagi burung maleo, burung rangkong, kakaktua, dan kupu-kupu raksasa yang memiliki bentangan sayap hampir 20 sentimeter. Kawasan timur Indonesia itulah yang kini popular sebagai ekosistem Wallacea.
Dari keanekaragaman faunanya, Wallacea merupakan salah satu yang terkaya di bumi. Jumlah hewan bertulang belakangnya saja masuk peringkat tujuh dunia, burung ranking tiga, begitu juga mamalianya. Lebih dari separuh binatang menyusui di sana, tidak ditemukan di tempat lain. Kondisi alam Wallacea merupakan gabungan antara hutan hujan tropis dan hutan tropis kering. Tanahnya berkapur dan di beberapa tempat amat tandus. Ini yang membuat tumbuhan yang ada dia tasnya juga memiliki keunikan sendiri. Keberagaman hayatinya mencapai 10.000 spesies. Di antaranya jenis damar, angsana, dan eukaliptus.
Sayang, pamor luar biasa ini sekarang mulai redup. Aktivitas manusia seperti penebangan hutan, pertambangan, dan dibukanya lahan untuk pertanian serta perumahan membuat lahan Wallacea yang masih perawan tinggal 15% saja. Proses kepunahan satwanya berlangsung serius.
Berbagai program konservasi telah dilakukan. Di Sulawesi ada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Taman Nasional Lore Lindu, dan Taman Nasional Pulau Togean. Di Nusa Tenggara ada Taman Nasional Komodo. Tapi, siapa berani menjamin bahwa status taman nasional itu bisa menghindarkan ekosistem unik itu dari penjarahan. Setiap tahun juga diadakan Operasi Wallacea, ekspedisi yang terbuka bagi para ilmuwan ataupun masyarakat umum, dan hasilnya hanya memperdalam keprihatinan atas nasib ekosistem Wallacea.
Alfred Russel Wallace memulai ekspedisinya di Kepulauan Malaya —sebutan Nusantara saat itu— pada 20 April 1854. Wallace masuk Indonesia melalui Singapura. Tentu, ia berbekal referensi tulisan-tulisan Thomas Stanford Rafless, ilmuwan sekaligus pejabat kolonial dari Inggris yang malang melintang di Kepulauan Malaya empat-lima dasawarsa sebelumnya. Sampai delapan tahun berikutnya, Wallace telah mengunjungi hampir semua pulau di Indonesia.
Secara cermat dan sistematis, Wallace mengumpulkan, mencatat, ratusan ribu spesimen flora dan fauna yang ditemui di tiap daerah. Sebagai ahli anatomi sekaligus taksonomi, ia membuat pengelompokan-pengelompokan secara sistematik dan pemetaan penebarannya. Hasil temuannya itu kemudian ditulisnya dalam The Malay Archipelago yang kemudian menjadi buku perjalanan terbaik sepanjang abad ke-19.
Selama ekspedisi, Wallace tak berhenti mengagumi ekosistem di belahan Timur itu. Ia merasa selalu menemukan spesimen baru yang berbeda dari corak Asia. Satu hal yang menjadi fokus pemikirannya adalah kenyataan bahwa flora dan fauna di Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku itu berbeda dengan yang ada di Asia, juga tidak mirip-mirip betul dengan apa yang di Australia. “Apakah yang terjadi? Mengapa?” pengajar di Collegiate School, Leicester, Inggris, itu merenung.
Tiga tahun Wallace berkutat dengan pertanyaannya itu. Hingga saat terserang demam malaria di Maluku tahun 1858, ia sampai pada kesimpulan bahwa individu yang bisa beradaptasilah yang bisa bertahan hidup. Yang lain musnah. Suatu organisme yang terisolasi dalam waktu panjang akan mengalami evolusi genetis dan fisik, lewat proses adaptasi dan seleksi, untuk mengatasi masalah lingkungannya.
Gagasan tentang seleksi alam sekaligus menerangkan teori tentang evolusi ini ia sampaikan ke Charles Darwin. Wallace sudah lama berkorespondensi dengan si pencetus teori evolusi yang menulis buku legendaries The Origin of Species itu. Belakangan, surat-surat Wallace membuat para ilmuwan bimbang tentang penemu teori evolusi itu. Darwin ataukah Wallace? Yang jelas nama Wallace telah ditabalkan pada kawasan yang merupakan daerah peralihan ekologis antara Asia dan Australia. — AMALIA K. MALA
Sumber: Majalah Gatra, Edisi Khusus 17 Agustus 2004