Kenormalan Baru Jangan Jadi Abnormal Lagi

- Editor

Selasa, 26 Mei 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar demi aktivitas ekonomi harus dilakukan secara hati-hati dengan kajian epidemiologis. Tanpa data yang kuat, pelonggaran bisa memicu gelombang kedua pandemi Covid-19.

Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar demi aktivitas ekonomi harus dilakukan dengan hati-hati. Jika hal ini dilakukan dengan mengabaikan indikator epidemiologi, kebijakan tersebut justru akan memicu bencana lebih besar yang pada akhirnya bakal memperdalam krisis sosial ekonomi.

”Harus ditegaskan, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) tidak bisa diakhiri sebelum adanya vaksin, tetapi hanya bisa dilonggarkan. Untuk melonggarkan juga jangan buru-buru, harus ada kriteria epidemiologis yang harus dipenuhi, di antaranya terjadi penurunan kasus secara menerus, selain harus jelas strateginya,” tutur epidemiolog di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, Senin (25/5/2020), di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tanpa srategi dan ukuran yang ketat, upaya ke arah kenormalan baru justru akan memicu bencana ledakan kasus lebih besar. Belajar dari pandemi flu spanyol tahun 1918, gelombang kedua justru lebih mematikan.

Menurut Pandu, tahapan pelonggaran ini juga harus bertahap dan terus diukur. ”Begitu data menunjukkan adanya peningkatan kasus lagi, kita harus siap kembali melakukan pengetatan. Jangan sampai menunggu kasus membesar lagi agar tidak menjadi situasi ’abnormal’ lagi,” katanya.

Upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi saat wabah dinilai belum terkendali sehingga kebijakan pelonggaran PSBB justru bakal menjadi bumerang. ”Para investor pasti akan memilih negara lain yang dianggap sudah berhasil mengendalikan wabah, seperti Vietnam, dibandingkan kita,” tuturnya.

Meski pelonggaran belum diberlakukan, saat ini PSBB banyak dilanggar, terutama selama sebelum dan sesudah Idul Fitri. ”Sebelumnya banyak orang belanja dan dua hari ini juga banyak laporan keramaian, termasuk juga shalat jemaah,” kata Pandu.

”Hal ini juga menunjukkan arahan pemerintah tak banyak didengar karena sering berubah-ubah. Lebih kita takutkan lagi kalau terjadi arus balik. Kita mungkin baru bisa lihat dampaknya dua minggu ke depan,” ucapnya.

Tiga kriteria
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pekan lalu, telah mengeluarkan tiga kriteria untuk melonggarkan PSBB menuju kenormalan baru. Kriteria pertama dan menjadi syarat mutlak adalah epidemiologi, yaitu angka reproduksi efektif atau Rt kurang dari 1 selama dua minggu berturut-turut. Artinya, angka kasus baru telah menurun setidaknya selama dua minggu berturut-turut.

Kriteria kedua adalah kapasitas sistem pelayanan kesehatan harus lebih besar dari jumlah kasus baru yang memerlukan perawatan. Adapun kriteria ketiga adalah surveilans, artinya kapasitas tes usap harus cukup. Dua kriteria terakhir ini hanya disebut sebagai pertimbangan.

Namun, epidemiolog dari Laporcovid19.org, Henry Surendra, mengatakan, kriteria kapasitas pelayanan kesehatan dan surveilans itu seharusnya juga menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi, bukan hanya menjadi pertimbangan saja.

”Sesuai standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), pemeriksaan, penelusuran, dan perawatan merupakan kunci mengatasi wabah ini. Tes massal dan dilaporkan secara cepat menjadi kunci untuk mengukur penambahan kasus dengan akurat. Kalau tes masih terbatas, kita tidak akan tahu kondisi sesungguhnya,” tuturnya.

Henry mengatakan, kapasitas tes di Indonesia saat ini sangat kurang jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebagai perbandingan, untuk menemukan satu kasus positif di Indonesia hanya dibutuhkan 8 pemeriksaan. Padahal, di Taiwan harus dilakukan pemeriksaan 157 orang baru ketemu satu kasus dan Thailand 85 orang untuk menemukan kasus.

”Di Indonesia bukan hanya jumlah tes minim, melainkan juga jangkauan tes minim. Pemeriksaan di Indonesia masih fokus kepada pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP), itu pun sering terlambat sehingga banyak yang sudah meninggal duluan,” kata Henry.

Data Worldmeters.info pada Senin (25/5/2020), Indonesia baru memeriksa 940 orang per sejuta penduduk, dibandingkan Thailand yang memeriksa 5.380 orang per sejuta penduduk dan Malaysia yang memeriksa 15.883 orang per sejuta penduduk.

Henry mengatakan, Indonesia saat ini seharusnya sudah menarget unuk memeriksa orang tanpa gejala (OTG). ”Kita tahu 80 persen kasus adalah bergejala ringan dan tanpa gejala, tetapi bisa menularkan. Tanpa memeriksa dan segera mengisolasinya jika positif, penularan lokal akan terus terjadi,” ungkapnya.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 26 Mei 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB