Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menengarai, turunnya angka kelulusan siswa tahun ini disebabkan merosotnya kualitas pendidik. Itu sebabnya, Mendiknas Mohammad Nuh meminta kemerosotan mutu pendidikan tersebut dijadikan bahan introspeksi.
Seperti diberitakan, tingkat kelulusan SMA/MA secara nasional tahun ini hanya 89,88 persen. Angka itu turun 3,52 persen dibanding tingkat kelulusan tahun lalu yang mencapai 93,4 persen.
Jebloknya kelulusan siswa tahun ini juga terjadi di tingkat SMP. Bahkan, lebih parah. Turunnya sampai 4,73 persen. Tahun lalu tingkat kelulusan siswa SMP mencapai 95 persen, tahun ini hanya 90,27 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
M. Nuh menilai turunnya persentase kelulusan tersebut sebagai bahan evaluasi pendidikan di Indonesia. Banyaknya siswa yang tidak lulus itu merupakan salah satu bahan evaluasi terhadap mutu para pendidik.
Saat ini total guru di Indonesia 2.607.311 orang. Di antara jumlah itu, 20,54 persen guru belum bergelar sarjana alias hanya lulusan SMA. Guru bergelar S-1 mencapai 41,91 persen. Dan, baru 59 guru yang berhasil menyandang gelar doktor (S-3) di Indonesia.
Nuh mengakui, salah satu penyebab turunnya mutu pendidik kita adalah belum meratanya persebaran guru. Masih banyak guru yang lebih suka tinggal dan mengajar di ibu kota daripada di daerah terpencil. ”Padahal, kami sudah memberikan insentif dan tunjangan bagi para guru di daerah terpencil. Kami masih mencari solusi untuk mengajak para guru mengajar di daerah, terutama di kawasan terpencil,” ungkap mantan rektor ITS Surabaya itu.
Secara global, kata Nuh, perbandingan jumlah guru dan murid di Indonesia cukup ideal. Hanya, jika penyebarannya tidak merata, sejumlah sekolah di daerah tertentu kekurangan guru. Sebaliknya, sekolah lain memiliki guru berlebih. ”Yang harus kita lakukan adalah meratakan penempatan guru, sehingga mutu pendidikan pun bisa merata,” ujarnya.
Dirjen Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan (PMPTK) Baidowi menambahkan, Kemendiknas saat ini memetakan distribusi guru itu. Kemendiknas tengah mendata kembali jumlah guru, kebutuhan guru di setiap daerah, dan persebarannya di Indonesia.
”Hasilnya akan kami gunakan untuk memetakan pemenuhan guru secara merata di seluruh daerah di Indonesia,” kata dia.
Menurut Baidowi, Peraturan Mendiknas No 7/2010 menerangkan rasio guru dan peserta didik. Termasuk persebaran guru dan proyeksi pemenuhan beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. ”Itu sudah tertuang dalam permendiknas,” terang Baidowi.
Secara nasional, lanjut dia, perbandingan guru dan murid adalah 1 : 32. Artinya, efektivitas seorang guru paling banyak mengajar di depan 32 murid dalam satu kelas. Bahkan, secara ideal, perbandingan guru : murid untuk jenjang SD adalah 1 : 9. Sedangkan perbandingan guru dengan murid untuk jenjang SMP, yakni 1 : 17. Sementara untuk jenjang SMA 1 : 16, dan jenjang SMK menjadi 1 : 23. Penghitungan itu, kata Baidowi, berdasar rata-rata guru dan murid per provinsi dan kabupaten/kota. ”Itu secara teori dan secara ideal,” ujarnya.
Namun, kenyataan di lapangan, lanjut Baidowi, persebaran guru sulit diatur. Kelebihan guru di suatu wilayah akan mempersulit mereka bekerja dengan target jam mengajar tertentu. ”Bahkan, untuk memenuhi 24 jam mengajar saja mereka tidak mampu,” paparnya.
Di tempat lain yang jumlah gurunya kurang, mereka harus mengajar dengan jumlah jam berlebih. ”Nah, ini yang sulit. Perbedaan beban dengan tugas yang sama membuat para guru sulit mencapai kompetensi maksimal,” tambah Baidowi.
Karena itu, kata Nuh, untuk bisa meningkatkan angka kelulusan tahun depan, pemerintah perlu mengalokasikan dana intervensi unas (ujian nasional) pada APBN-P 2010 senilai Rp 100 miliar. Rencananya, dana itu digunakan untuk memotivasi dan mendukung daerah-daerah yang memiliki tingkat kelulusan terendah. Bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan setiap sekolah. (nuq/c2/ari)
————
Lebur Struktur Ditjen PMPTK
PENINGKATAN target sertifikasi guru dianggap tidak signifikan. Pemenuhan kesejahteraan guru pun terancam. Alasan tersebut dijadikan pegangan Kemendiknas untuk merombak birokrasi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK).
Menurut rencana susunan organisasi Kemendiknas dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 24 Tahun 2010, yang dirombak bukan hanya Ditjen PMPTK. Kemendiknas juga melebur Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal. “Sebenarnya tetap ada. Hanya, kami lebur pada ditjen lain sehingga terkesan dihapuskan,” terang Mendiknas M. Nuh.
Dia mengatakan, perubahan tersebut memang baru dilakukan pada 14 April 2010. Saat ini perpres tersebut masih disosialisasikan. Menurut dia, wajar dalam sosialisasi ada ketidaksetujuan dari berbagai pihak. “Pelan-pelan, kami tidak mungkin langsung melaksanakan perpres itu tanpa sosialisasi,” paparnya.
Nuh menjamin, dengan dileburnya PMPTK, guru makin sejahtera. Apalagi, terang dia, sebelumnya tugas PMPTK terlalu banyak. Yakni, merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang PMPTK untuk pendidikan anak usia dini serta pendidikan dasar, menengah, dan nonformal. “Kami anggap terlalu berat,” ujar dia.
Seorang pejabat eselon I, jelas Nuh, wajib menyusun standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur serta memberikan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang PMPTK hingga melaksanakan urusan administrasi ditjen. “Pekerjaan itu dilakukan untuk guru jenjang SD hingga SMA. Bayangkan, bagaimana berat tugas mereka,” ungkap dia.
Wakil Mendiknas Fasli Jalal menambahkan, peleburan Ditjen PMPTK tidak mengurangi perhatian pemerintah terhadap guru. Menurut dia, lebih efektif jika beban sertifikasi itu dikerjakan oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah (eselon II) daripada Ditjen PMPTK (eselon I).
Fasli menegaskan, pada reformasi nanti guru SD diurus secara khusus oleh Ditjen Pendidikan Dasar. Ditjen tersebut mengurusi sertifikasi, evaluasi, standardisasi, hingga kompetensi guru. Hal tersebut juga bakal berlaku pada guru SMP dan SMA yang ditangani Ditjen Pendidikan Menengah. “Akan lebih banyak staf yang membantu mempercepat peningkatan kompetensi dan sertifikasi,” ucapnya.
Di antara 2,6 juta guru di Indonesia, hanya 1,4 yang berhasil meraih sertifikat dalam sertifikasi. Target Kemendiknas, pada 2014 seluruh guru sudah mengantongi sertifikat tersebut. “Agar target itu bisa dikejar, kami bagi beban tersebut ke ditjen lain sehingga lebih fokus dalam menanganinya,” tambah Nuh.
Namun, seluruh usul tersebut diragukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PGRI Sulistiyo meminta agar Ditjen PMPTK dipertahankan. Dia tidak yakin bahwa perubahan tersebut dapat mengubah kesejahteraan guru. “Bahkan, mungkin malah memperlambat sertifikasi,” papar dia.
Meski jumlah staf ditambah, belum tentu mereka bisa merespons dengan cepat. Justru Kemendiknas harus menyesuaikan diri dengan sistem kerja baru. Menurut dia, hal tersebut tidak bisa instan.
“Kami minta ada lembaga khusus yang menangani guru, yang terpisah dari struktur Kemendiknas,” tutur ketua Komite III DPD asal Jawa Tengah itu. Dia mengusulkan agar presiden membentuk badan guru nasional. Lalu, nanti dibentuk pula badan guru provinsi untuk mempercepat efektivitas dan efisiensi guru.
Keputusan dileburnya Ditjen PMPTK tersebut dianggap tidak menjamin kualitas guru. Sementara itu, khusus program sertifikasi, terang dia, Kemendiknas belum bisa memenuhi target. “Berbagai persoalan akan semakin rumit dan tak mendapatkan solusi,” terang Sulistiyo. (nuq/c11/iro)
Sumber: Jawa Pos, 19 Mei 2010