Indonesia sudah waktunya mengembangkan industri pengolahan SDA untuk mengurangi ketergantungan pada eksploitasi dan penjualan bahan mentah. Semua itu harus dibarengi dukungan pada riset dengan menyediakan dana memadai dan membuat kebijakan yang mendukung.
“Bangun industri berbasis sumber daya alam yang mengandalkan riset dan inovasi agar Indonesia tak semata-mata bergantung eksploitasi alam,” kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain di sela Konferensi Asian Association of Learning, Innovation and Co-evolution Studies (ASIALICS) ke-12, Selasa (15/9), di Yogyakarta.
Konferensi ASIALICS ajang tahunan internasional bagi ilmuwan, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk menggali dan mengembangkan konsep pembelajaran, inovasi, dan studi koevolusi di Asia. Tahun ini dihadiri 150 ilmuwan, dari Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konferensi kali ini bertema “Innovation-Driven Natural Resource Based Industry”. Negara-negara di Asia masih berupaya mengembangkan industri pengolahan sumber daya alam.
Menurut Iskandar, kini sejumlah negara maju sukses menggeser struktur perekonomian dari basis SDA menjadi basis industri manufaktur. Namun, beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sangat bergantung pada penjualan bahan mentah SDA. Untuk menuju negara maju, ketergantungan pada bahan mentah itu harus dikikis.
“Sebagai negara kaya keanekaragaman hayati, Indonesia harus menemukan cara mengubah sumber daya alam menjadi produk bernilai ekonomi lebih tinggi. Untuk itu, industri pengolahan sangat butuh penemuan baru hasil riset,” kata Iskandar.
Percepatan industri pengolahan SDA, menurut dia, mensyaratkan dorongan pada kegiatan riset di bidang sumber daya alam. Itu bisa dilakukan dengan kebijakan yang mendukung dan mengucurkan dana mencukupi. Saat ini, dana penelitian dan pengembangan di Indonesia sekitar 0,09 dari produk domestik bruto.
Jumlah peneliti di Indonesia juga minim. Peneliti penuh waktu kurang dari 10.000 orang atau 40 peneliti per 1 juta penduduk. “Di Amerika Serikat, rasio peneliti 3.900 per 1 juta penduduk, Jepang 5.000 per 1 juta, Israel 6.500 per 1 juta, dan Malaysia 1.600 per 1 juta,” paparnya.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati mengatakan, pemerintah berupaya meningkatkan anggaran riset. Salah satunya mewajibkan 30 persen dari bantuan operasional perguruan tinggi negeri untuk riset. (HRS)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Kembangkan Industri Pengolahan Berbasis Riset”.