Sejak 2016, impor bahan industri daur ulang kertas bekas diberi kemudahan agar industri mudah memenuhi bahan baku. Ini dimanfaatkan oleh oknum untuk “mengimpor sampah”.
Untuk mengantisipasi sisipan sampah dan limbah bahan beracun berbahaya dalam impor material daur ulang, seluruh kontainer terkait agar dimasukkan dalam jalur merah sehingga harus ada pemeriksaan fisik dari petugas Bea dan Cukai. Rembesnya sampah impor dalam kontainer daur ulang ini disebabkan sistem pengawasan yang melemah.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Petugas bea dan cukai, Sabtu (28/1), membuka beberapa kontainer dari total 113 kontainer berisi logam terkontaminasi bahan beracun berbahaya (B3). Kontainer ini berasal dari Inggris (89) dan Belanda (24) yang diimpor PT HHS, perusahaan penanaman modal asing di Jakarta. Selain melanggar UU Kepabeanan, masuknya limbah ini juga menyalahi kesepakatan dalam Konvensi Basel serta UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup serta UU 18/2009 tentang Sampah. Kasus ini diproses secara pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan tidak bisa mengawasi langsung kontainer impor berisi material kertas bekas bagi industri daur ulang. Ini karena kontainer tersebut masuk dalam jalur hijau sehingga petugas Bea dan Cukai tidak melakukan pemeriksaan fisik. Petugas Bea dan Cukai memeriksa kontainer tersebut hanya berdasarkan dokumen surat persetujuan impor dan laporan surveyor.
Terungkapnya kontainer berisi impor material daur ulang kertas yang bercampur sampah dan limbah bahan beracun berbahaya di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ini setelah Bea dan Cukai menerbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI). Dari NHI tersebut, petugas bisa melakukan pemeriksaan isi kontainer dari Amerika Serikat dan Australia yang bercampur sampah dan limbah B3.
“Pemeriksaan fisik hanya bisa dilakukan ketika Bea dan Cukai mencurigai isi kontainer dan mengeluarkan nota hasil intelijen. Bea dan Cukai kemudian menindaklanjuti dugaan tersebut dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap kontainer yang dicurigai, hingga akhirnya ditemukan sampah plastik dan limbah B3 di dalamnya,” kata Kepala Kantor Bea dan Cukai Tanjung Perak Basuki Suryanto, di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (13/7/2019).
Seluruh kontainer berisi kertas bekas dari Amerika Serikat dan Australia yang terkontaminasi limbah sudah melalui proses pemeriksaan dari surveyor di negara asal. Namun pemeriksaan yang dilakukan oleh surveyor ternyata tidak semua bersih dari limbah. Selama dua bulan terakhir, ditemukan sampah plastik dan limbah berbahaya dalam lima kontainer dari Amerika Serikat dan delapan kontainer dari Australia.
Basuki mengatakan, hanya kontainer yang mendapatkan NHI yang bisa dilakukan pemeriksaan fisik. Bea dan Cukai tidak bisa memeriksa seluruh kontainer yang masuk tanpa adanya NHI karena kontainer itu masuk dalam jalur hijau. “Pemeriksaan terhadap seluruh isi kontainer juga membuat proses bongkar muat menjadi lebih lama dan menelan biaya besar,” katanya.
Oleh sebab itu, pihaknya berharap surveyor yang mengecek isi kontainer dari negara asal bisa melakukan tugasnya dengan baik. Jangan sampai ada kontainer terkontaminasi sampah plastik dan limbah B3 lolos dari pemeriksaan surveyor sehingga terbawa hingga ke Indonesia.
Re-ekspor
Masuknya kertas bekas yang terkontaminasi sampah melalui Surabaya tercatat terjadi dua kali. Pertama, pada Kamis, (14/2/2019), sebanyak lima kontainer kertas bekas dari Amerika Serikat yang diimpor oleh PT AS juga mengandung sampah plastik dan limbah B3. Sampah itu kemudian dire-ekspor ke negara asal pada Jumat, 14 Juni.
Kemudian pada Rabu (12/6/2019), delapan kontainer dari Australia juga terbukti terkontaminasi sampah plastik dan limbah B3. Sebanyak delapan kontainer kertas bekas yang disita terdiri atas 282 bal dengan berat 210 ton dikirim dari Pelabuhan Brisbane, Australia, melalui jasa logistik Shipper Oceanic Multitrading Pty Ltd dan tiba di Terminal Peti Kemas Surabaya.
Dalam pemeriksaan fisik yang dilakukan petugas gabungan dari Bea dan Cukai serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kontainer itu dalam dokumennya berupa kertas bekas dan kertas campuran untuk bahan baku industri daur ulang kertas. Namun, sampah itu mengandung sejumlah limbah, antara lain kaleng bekas, botol plastik, kemasan oli bekas, popok bekas, alas kaki bekas, dan barang elektronik bekas.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016, importir diwajibkan untuk melakukan re-ekspor paling lambat 90 hari sejak barang tersebut tiba di Indonesia. Barang-barang tersebut saat ini disegel oleh Bea dan Cukai Tanjung Perak di Terminal Peti Kemas Surabaya.
Selain masuk dari Surabaya, sampah plastik terkontaminasi limbah B3 juga masuk melalui Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Hasil uji laboratorium terhadap 65 kontainer sampah plastik impor menunjukkan 49 kontainer terkontaminasi limbah B3 dan sampah lainnya.
Sebanyak 65 kontainer sampah plastik untuk bahan baku industri daur ulang itu berasal dari Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Hong Kong, dan Australia. ”Saat ini, kami juga masih memeriksa 58 kontainer yang diduga terkontaminasi limbah B3, terdiri dari 38 kontainer dari Amerika Serikat dan 20 kontainer dari Jerman,” ujar Basuki.
KOMPAS/PANDU WIYOGA–Tim gabungan dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Rabu (19/6/2019), mengambil sebuah mainan dari salah satu kontainer pengangkut sampah plastik untuk dijadikan sampel. Nantinya, sampel tersebut akan diteliti melalui uji laboratorium untuk memastikan kandungan limbah bahan berbahaya dan beracun terhadap 65 kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, yang diimpor dari Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara Eropa.
Sekretaris Ditjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 KLHK Sayid Muhadhar mengatakan kemudahan bagi impor material bahan industri daur ulang kertas bekas diberikan sejak 2016. “Pertimbangannya dulu kan kertas pemainnya industri gede jadi kecil kemungkinan untuk main-main dan buang. Terus selama ini tak masalah,” kata dia.
Kemudahan diberikan untuk memudahkan industri dalam memenuhi bahan baku, termasuk mendatangkan bahan baku impor. Namun kini, diakuinya terdapat oknum-oknum yang memanfaatkan kemudahan yang diberikan pemerintah tersebut.
Ide untuk mengembalikan impor material daur ulang kertas ke jalur merah, Sayid mengatakan belum terpikir ke arah itu. Ia mengusulkan jalur merah diberlakukan pada importir material daur ulang kertas yang bermasalah atau menyalahgunakan kemudahan impor.
“Sudah dikantongi (importir yang juga industri daur ulang kertas) yang nakal-nakal. Tidak susah diidentifikasi,” kata dia.
Aturan ketat
Ketua Umum Asosisasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Christine Halim menuturkan untuk memiliki izin impor material daur ulang tak mudah. “Perusahaan tidak boleh hanya membeli, menggiling, dan mencuci. Kami harus bisa membuktikan mampu membikin produk akhir yang punya nilai tambah. Kita juga harus bisa ekspor barang itu,” kata dia.
Saat ini hanya ada 10 perusahaan dari total 400 anggota ADUPI yang memiliki izin impor bahan daur ulang.
Terkait aspek pengawasan dan pemantauan perizinan, Christine mengatakan, ADUPI selalu berkoordinasi dengan Kemenperin, Kemendag, dan KLHK. “Kami dipantau terus. Kami harus laporan dan itu kewajiban dari industri,” katanya.
Christine menuturkan barang yang diimpor anggota ADUPI adalah bahan baku daur ulang. “Jadi bedakan antara plastik daur ulang dan sampah yang banyak diberitakan masuk dengan limbah kertas. Kami tidak pernah mengimpor sampah yang masuk dengan limbah kertas,” kata Christine.
Christine mengatakan bahan baku daur ulang di luar negeri yang diimpor tersebut pun sudah disurvei lembaga surveyor. “Sampai di sini pun ada kerja sama operasi, jadi pasti diperiksa. Bahan baku daur ulang yang diimpor tersebut tidak boleh ada campuran limbah B3,” ujarnya.
Dia menuturkan bahan baku daur ulang di dalam negeri memiliki perbedaan dengan yang dari luar negeri. Di luar negeri sudah ada segregasi atau pemilahan plastik, kertas, logam, sejak tingkat rumah tangga sehingga tidak masuk ke tempat pembuangan akhir.
“Di Indonesia semua dicampur jadi satu. Nanti pemulung yang memilih. Atau masuk ke TPA dulu dan baru dijual ke industri daur ulang. Jadi memang beda. Bahan baku daur ulang impor lebih bersih,” katanya.
Pihak yang membersihkan bahan baku daur ulang di Indonesia adalah pemulung, pengepul, atau bank sampah. Persyaratan bahan baku daur ulang dalam negeri disesuaikan kebutuhan masing-masing anggota ADUPI.
Oleh ICHWAN SUSANTO / IQBAL BASYARI / C ANTO SAPTOWALYONO
Sumber: Kompas, 17 Juli 2019