Budaya membaca buku secara konservatif dinilai bisa menjadi cara efektif untuk membendung berbagai konten negatif yang beredar di media sosial. Untuk itu, gerakan membaca buku harus kembali dibangkitkan, terutama sejak usia dini.
“Jika dalam buku ada konten negatif, itu mudah dikontrol. Sebaliknya, konten di media sosial sulit dikontrol. Jadi, tidak ada pilihan lain yaitu harus mengembalikan cara membaca konservatif pada masyarakat dengan kembali membaca buku,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam acara peringatan hari buku nasional sekaligus satu tahun donasi buku untuk masyarakat di Kantor Pos Pusat, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Muhadjir Effendy
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Muhadjir menilai, di tengah banjirnya informasi di media sosial, masyarakat perlu diimbangi dengan konten yang diperoleh dari buku bacaan. Karena itu, gerakan literasi terutama pada anak usia dini diperlukan untuk mendidik anak kembali mencintai buku, bukan mencintai gawai.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy (tengah) memberikan simbolisasi paket buku dalam perayaan satu tahun program donasi buku untuk masyarakat di Kantor Pos Pusat, Jakarta, Kamis (17/5/2018). Pada kesempatan ini, Mendikbud didampingi oleh Presiden Direktur Kalla Group, Solihin Kalla (kiri) dan Ketua Pustaka Bergerak Indonesia, Nirwan Ahmad Arsuka (kanan).
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud) berupaya meningkatkan gerakan literasi nasional, antara lain melalui program perpusatakaan bergerak dan pembentukan sejumlah direktorat terkait. “Namun, Kemendikbud tidak bisa bekerja sendiri. Kami juga mendorong para pegiat dan penggerak literasi untuk menjadi garda depan serta ujung tombak dalam gerakan literasi nasional ini,” ucapnya.
Berdasarkan studi ”Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia berada di atas Botswana (61) dan di bawah Thailand (59).
Selain itu, rendahnya frekuensi membaca orang Indonesia diperlihatkan dari hasil penelitian Perpustakaan Nasional Tahun 2017. Penelitian tersebut menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu dengan lama waktu rata-rata 30-59 menit per hari. Buku yang diselesaikan dalam satu tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Nirwan Ahmad Arsuka
Pendiri Pustaka Bergerak Indonesia, Nirwan Ahmad Arsuka menuturkan, gerakan literasi harus semakin diperluas. Buku-buku bermutu harus lebih banyak didistribusikan ke masyarakat di seluruh Indonesia, terutama masyarakat yang berada di daerah pinggiran. “Paham radikalisme dan terorisme yang marak saat ini menegaskan, gerakan literasi harus semakin aktif dalam upaya membangun budaya kritis namun toleran pada perbedaan,” katanya.
Untuk itulah, Nirwan terus mendorong gerakan literasi dengan mengirimkan buku-buku bermutu ke seluruh wilayah Indonesia. Gerakan ini diharapkan bisa membuka cakrawala pemikiran dan memperkokoh toleransi di tengah keberagaman masyarakat.
Program donasi buku untuk masyarakat merupakan salah satu kegiatan yang diinisiasi pemerintah bersama organisasi penggerak literasi untuk mendukung gerakan literasi nasional. Sejak Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah menunjuk PT Pos Indonesia (Persero) sebagai sarana untuk mengirimkan buku donasi ke seluruh Indonesia. Pengiriman ini gratis dan dilakukan setiap tanggal 17.
Mei 2018 ini genap satu tahun program ini berlangsung. PT Pos Indonesia mencatat, hingga April 2018 sudah ada 25.580 koli buku dengan berat sekitar 160 ton. Pengiriman paling banyak berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Sementara, buku yang dikirimkan banyak ditujukan ke Nusa Tenggara Timur dan Papua.
“Bergerak membawa buku mendatangi warga adalah cara yang efektif untuk berbagi rasa merdeka, membangun persaudaraan, dan solidaritas di semua kalangan masyarakat,” kata Nirwan.
Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia Noer Fajrieansyah menyampaikan, dalam menjalankan program ini pihaknya menemui sejumlah tantangan, yaitu penyaringan pada buku yang dikirimkan oleh relawan. Tidak jarang, timnya justru menemukan buku yang mengandung konten berbahaya. “Jangan sampai buku yang dikirimkan justru bertentangan dengan tujuan dari program ini untuk meningkatkan toleransi pada masyarakat,” ujarnya.
1 ton buku dimusnahkan
Secara terpisah, Kepala Regional 4 PT Pos Indonesia Pupung Purnama menyatakan, sebanyak 1 ton buku yang mengandung konten berbahaya, seperti pornografi, radikal, intoleransi, dan toleransi, telah dimusnahkan pada Selasa (15/5/2018) kemarin. Pemusnahan ini dilakukan bersama dengan pihak bea cukai dan Badan Intelijen Negara.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Pupung Purnama
“PT Pos Indonesia bersama pihak yang terkait terus melakukan pengawasan terhadap barang-barang yang dikirimkan dari dalam negeri atau luar negeri. Jika ada indikasi membahayakan masyarakat, kami akan lakukan penyitaan dan akan dimusnahkan setiap tahun,” ucap Pupung.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 18 Mei 2018