”Tiga antariksawan Amerika Serikat … hari Rabu kemarin tiba di lapangan terbang Kemajoran. Mereka disertai istri-istri, tiba dengan pesawat milik AD Amerika Serikat. Dan mereka masing-masing mendapat kalungan bunga..” (”Kompas”, Para Penakluk Bulan Tiba, edisi Kamis, 19 Maret 1970).
Ya, para penakluk bulan itu bukan cuma Tintin, Kapten Haddock, dan Profesor Lakmus, tiga tokoh khayalan komikus Herge yang dalam komik ”Penerbangan 714 ke Sydney” diceritakan singgah di Bandar Udara Internasional Kemayoran di Jakarta. Pada 18 Maret 1970, disinggahi astronot sungguhan, Charles Conrad, Richard Gordon, dan Alan Bean.
Bukan cuma penakluk bulan yang mendarat di Kemayoran. Pada April 1946, Laksamana Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia Tenggara, mendarat di Kemayoran dan menemui Perdana Menteri Sjahrir untuk membicarakan nasib Republik Indonesia pasca Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 1955, para kepala negara dan diplomat 29 negara peserta Konferensi Asia Afrika tiba di Indonesia dengan mendarat di Kemayoran. Pada tahun 1970, giliran Nixon menjadi Presiden Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Indonesia, juga dengan mendarat di Kemayoran.
Namun, Rabu (21/1) lalu, sisa hujan melengkapi kesendirian bekas bandar udara yang ditutup sejak 1984 itu. Selasar bekas ruang VIP bandar udara itu sunyi, dingin, dan penuh genangan sisa hujan. Yang mengembik cuma puluhan kambing piaraan yang digembalakan di pelataran parkir kosong berumput tinggi.
Relief Sudjojono
Dingin makin terasakan di ruang dalam terminal VIP tempat para pemimpin negara Asia dan Afrika membincang cara membajak dominasi Eropa dan Amerika dalam pergaulan internasional. Tak ada lagi aroma kopi atau teh di ruang tunggu, juga tak ada cakapan persuaan ataupun senyuman perpisahan para sahabat.
Cuma sepi yang menemani sebuah relief beton di sepanjang dinding lantai pertama ruang VIP. Keindahannya terasa ganjil di tengah segala kemuraman ruang tunggu itu. Cerita tentang keseharian Indonesia ada di sana, orang membajak sawah, nelayan mengarungi samudra, tifa, rebab dan gamelan, binatang mitologi, ragam buah dan hasil bumi, eloknya bentang alam Nusantara. Di sudut kiri bawah, terukir dua penanda, ”Seniman Indonesia Muda” dan ”Jogja1957”.
Anak tangga yang basah membawa kaki ke lantai dua ruang tunggu VIP yang berkilauan oleh genangan bocoran air hujan. Sepasang relief beton yang berhadapan di lantai dua sama merananya. Beberapa bagian relief rancangan tiga seniman kondang Indonesia pada masa itu, S Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, dan Surono, bahkan telah rontok, hancur.
”Pada tahun 2005, sudah banyak detail relief yang rontok. Beberapa bagian relief dipotong ketika gedung direnovasi, bagi saya itu brutal. Itu relief beton pertama dalam khazanah seni rupa modern Indonesia. Relief itu menjadi gambaran kekayaan budaya dan alam Indonesia. Nilai karya itu bagi sejarah seni rupa Indonesia tak terhingga. Kehancurannya adalah kebiadaban,” ujar pengajar sejarah seni rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Aminuddin TH Siregar.
Dari Tjililitan
Sejarah penerbangan Indonesia sebenarnya dimulai saat perusahaan penerbangan Kerajaan Belanda, KLM, mendaratkan sebuah Fokker VII di Lapangan Terbang Tjililitan (sekarang Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta) pada 1924, untuk dioperasikan Koninklijke Nederlansch Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM). KNILM menjadi maskapai pertama di Hindia Belanda, membangun rute penerbangan Tjililitan-Bandung dan Tjililitan- Surabaya (RS Damardjati, Kompas, 28 November 1969).
”Baru pada tahun 1940 lapangan udara Kemayoran selesai dibangun, (dan) KNILM menjadikan lapangan udara baru itu sebagai home-base-nya. Selama masa antara 1937 dan 1940, lapangan udara Tjililitan besar peranannya dalam riwayat penerbangan di Indonesia. Lapangan udara Kemayoran menarik dunia penerbangan internasional, antara lain KLM dalam penerbangan dari Amsterdam dan Qantar dari Sydney ke London,” tulis Damardjati. Tjililitan lapangan terbang pertama di Jakarta, namun Kemayoran adalah Bandar Udara Internasional pertama di Hindia Belanda.
Karena permukiman di Kemayoran semakin padat, pemerintah membangun Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta di Cengkareng. Pada 1 Oktober 1984, maskapai Merpati mulai memindahkan penerbangan dari dan ke Jakarta ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, mengawali penutupan Bandar Udara Internasional Kemayoran.
Atje (64), Ketua RW 5 Kelurahan Kebon Kosong, adalah salah satu saksi sejarah perubahan itu. ”Umur belasan, saya jualan koran bahasa Inggris dan Mandarin yang turun dari pesawat. Tahun 1972-1974, saya sopir taksi gelap di sana. Tak terbayangkan saya mengalami Bandar Udara Internasional Kemayoran ditinggalkan mulai tahun 1984,” tutur Atje.
Tahun 1986, Presiden Soeharto menyetujui alih fungsi areal Bandar Udara Internasional Kemayoran menjadi lokasi perumahan rumah susun, Pekan Raya Jakarta, perkantoran, dan sarana umum lalu lintas. ”Tapi, pelaksanaannya tidak seketika. Lapangan terbang jadi kawasan tak bertuan. Perburuan besi tua menggila pada masa itu, kabel lampu landasan pacu belasan kilo dibetot dari tanah pakai mobil, melihat tanah jebol saja ngeri,” kata Atje.
Landasan pacu yang dikisahkan Atje kini telah bersalin menjadi Jalan Benyamin Sueb, yang dikelilingi gedung-gedung apartemen menjulang. Sebuah pasar jual-beli mobil, sejumlah perkantoran dan pusat perbelanjaan, dan pelataran lokasi Pekan Raya Jakarta menjadi wajah baru Bandar Udara Internasional Kemayoran.
Seperti nasib relief Seniman Indoneia Muda, peninggalan terpenting bandar udara itu merana. Dikepung tembok, menara bekas pengatur lalu lintas penerbangan yang tergambar dalam komik Tintin bahkan tak bisa dikunjungi. Kawasan bekas bandar udara sudah terbagi menjadi kapling yang dikelola swasta, tanpa kejelasan arah pelestarian saksi bisu sejarah Indonesia dan dunia.
Teringat dialog dalam salah panel di komik Tintin Flight 714. Di sana ada percakapan antara Tintin, Kapten Haddock, dan Profesor Lakmus. ”There..! Look..! Kemajoran!… Tell me, is this or this is not Djakarta..”
Mungkin Tintin akan bingung jika ia sekarang kembali datang ke Kemayoran.
Oleh: Aryo Wisanggeni G
Sumber: Kompas, 25 Januari 2015