Disiplin Berobat Berpeluang Sembuh
Di antara penyakit menular lain, tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 67.000 kematian per tahun. Padahal, penanggulangan tuberkulosis sudah berlangsung 125 tahun dan pengobatan terus berkembang.
“Tidak ada penyakit menular dengan masalah setinggi tuberkulosis,” ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan M Subuh, Rabu (23/3), saat temu media di Jakarta. Penyakit itu tetap menjadi masalah di Indonesia meski ada kemajuan, di antaranya angka kematian turun dan angka kesembuhan akibat tuberkulosis (TB) meningkat.
Menurut data Kemenkes, prevalensi TB tahun 2014 mencapai 647 orang per 100.000 penduduk, turun 30 persen dibandingkan dengan kondisi tahun 1990 yang sebanyak 1.045 orang per 100.000 penduduk. Angka kejadian juga turun, dari 453 kasus baru per 100.000 penduduk pada 1990 menjadi 399 kasus baru per 100.000 penduduk pada 2014. Angka kematian turun menjadi 41 kasus per 100.000 penduduk tahun 2014, dari 65 kasus per 100.000 penduduk pada 1990.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tuberkulosis disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan Robert Koch. Tanggal 24 Maret adalah Hari Tuberkulosis Sedunia karena Koch mengumumkan temuan itu pada 24 Maret 1882. Gejala TB yang mudah tampak ialah batuk terus-menerus selama dua pekan, dan bisa batuk darah.
Angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia 90 persen. Angka putus berobat 10 persen antara lain karena pasien pindah tempat tinggal dan obat tak berefek pada penyakit.
Pengobatan efektif
Sebagian pasien TB tak disiplin mengonsumsi obat. Itu mempersulit penanggulangan penyakit tersebut karena keparahan TB bisa naik, peluang kesembuhan turun, dan beban biaya terapi kian mahal. “Penderita TB harus sabar menjalani pengobatan panjang. Jika disiplin, amat bisa sembuh,” kata Subuh.
Penderita TB tahap reguler harus mengonsumsi obat selama 6-9 bulan tanpa putus. Dengan biaya Rp 400.000-Rp 1,2 juta per kasus, pengobatan termasuk efektif karena peluang kesembuhan lebih dari 95 persen. Namun, pasien rentan tak disiplin berobat karena bulan ketiga kondisi tubuh biasanya seperti normal dan bisa beraktivitas biasa sehingga merasa tak butuh obat.
Putus berobat itu bisa memicu multidrug resistant tuberculosis (MDR TB), yakni kuman TB kebal terhadap Isoniazid dan Rifampisin (obat TB reguler). Akibatnya, biaya terapi naik jadi lebih dari Rp 100 juta per kasus, tetapi peluang kesembuhan turun jadi 50-70 persen. Biasanya pengobatan selama dua tahun dan pasien amat tak nyaman. Ini karena pengobatan punya efek samping, seperti mual, muntah, susah tidur, dan bintik merah yang gatal di kulit.
Jika terapi tak berhasil pada tahap MDR-TB, penyakit bertambah parah menjadi XDR-TB (extremely drug resistant tuberculosis). Obat yang tak mempan bertambah, yaitu fluoroquinolone dan obat suntik. Biaya terapi mencapai Rp 300 juta-Rp 400 juta per kasus dan peluang kesembuhan hanya 10-30 persen.
Ully Ulwiyah, mantan penderita TB, menambahkan, pasien TB reguler cenderung menutupi kondisinya karena takut terhadap stigma negatif dari orang lain sehingga mempersulit petugas kesehatan menjangkau untuk mengobati. Di sisi lain, penderita TB reguler biasanya mendapat informasi minim dibandingkan dengan saat sudah tahap MDR-TB sehingga risiko penularan meningkat.
Satu orang dengan kuman TB aktif bisa menginfeksi 10-15 orang per tahun dan 1 dari 10 orang yang terinfeksi bisa terserang TB. Untuk mencegah penularan, penderita dan orang yang berinteraksi dengan pasien harus mengenakan masker.
Maka dari itu, Kemenkes mendorong paradigma penanggulangan TB berbasis keluarga. Jadi, keluarga diharapkan mendeteksi dini gejala TB pada anggota keluarga. Keluarga juga perlu mendampingi pasien TB agar disiplin mengonsumsi obat.
Pemerintah menargetkan memeriksa ada atau tidak TB pada 4 juta orang tahun ini. Dari jumlah itu, 350.000-400.000 orang diperkirakan positif TB sehingga butuh terapi. Kemenkes menyiapkan 500.000 paket obat TB dengan anggaran sekitar Rp 400 miliar untuk 2016. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Kematian akibat TB Tinggi”.