Perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, tidak akan menyingkirkan manusia. Kuncinya adalah transformasi manusia dari pekerja manual menjadi penghasil ide, kreativitas, dan keterampilan.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Presiden Armenia Armen Sarkissian memberi pidato kunci mengenai pendidikan karakter dalam menentukan pembangunan berbasis ilmu dan digitalisasi teknologi di Simposium Inovasi Pendidikan Dunia (WISE) 2019 di Al Rayyan, Qatar, Rabu (20/11/2019).
AL RAYYAN, KOMPAS — Keniscayaan perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan justru memberi kekuatan yang tak tergantikan kepada manusia, yaitu kenyataan bahwa kemanusiawian seseorang adalah alat terbaik untuk beradaptasi dan membangun peradaban. Etika, nilai, dan kebersamaan adalah cara hidup di masa kini dan akan datang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kunci dari keberlangsungan manusia dalam perkembangan zaman ialah kemampuan untuk terus belajar, bekerja sama, dan membangun kepercayaan berdasarkan tujuan kemanusiaan universal.
Hal ini menjadi inti dari diskusi hari pertama Simposium Inovasi Pendidikan Dunia (WISE) 2019 di Al Rayyan, Qatar, Rabu (20/11/2019). Turut hadir dalam acara itu Presiden Armenia Armen Sarkissian dan pendiri Yayasan Qatar (QF) yang mendorong percepatan pembangunan melalui pendidikan, penelitian, dan inovasi, Sheikha Moza bint Nasser.
Sarkissian yang berlatar belakang dosen fisika dalam pidatonya menyampaikan bahwa perkembangan sains pada intinya adalah untuk mempermudah kehidupan. Contohnya, otomasi biaya produksi menjadi lebih rendah dengan capaian yang lebih tinggi dan kinerja efisien.
“Namun, jangan diartikan bahwa manusia akan menjadi pengangguran. Kuncinya adalah transformasi manusia dari pekerja manual menjadi penghasil ide, kreativitas, dan keterampilan,” tuturnya. Ketiga aspek tersebut tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan berkembang di dalam masyarakat yang saling mendukung dengan kolaborasi dan keterbukaan untuk saling belajar.
Etika
Di dalam proses tersebut pendidikan etika menjadi sangat penting. Etika menjadi penentu perkembangan teknologi memang digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan memberi manusia kerugian, apalagi kerusakan. “Nilai-nilai kemanusiaan lah yang akan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi,” kata Sarkissian.
Pendapat serupa juga ampaikan Max Tegmark, salah satu pendiri Future Life Institute yang mengembangkan kecerdasan buatan. Ada kode etik pengembangan teknologi tersebut yang tidak boleh dilanggar oleh oleh para individu yang bergerak di bidang itu.
Pembentukan kode etik terinspirasi dari Matthew Stanley Meselson, pakar biologi dan genetika dari Universitas Harvard, Amerika Serikat yang mendorong hukum pelarangan mengembangkan senjata bilogis.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Pendiri Future of Life Institute Max Tegmark memaparkan etika adalah rambu-rambu dalam pengembangan kecerdasan buatan agar bertujuan memberi kemaslahatan pada masyarakat. Ia berbicara dalam Simposium Inovasi Pendidikan Dunia (WISE) 2019 di Al Rayyan, Qatar, Rabu (20/11/2019).
Pada tahun 2017 di Asilomar, California, AS para pakar kecerdasan buatan berkumpul dan mengeluarkan Prinsip Kecerdasan Buatan Asilomar yang berisi 23 butir aturan terkait pengembangan kecerdasan buatan. Intinya, pengembangan teknologi itu bersifat transparan, tidak menyudutkan kelompok atau golongan tertentu, dan digunakan untuk menyejahterakan masyarakat, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi maupun politik.
“Pada prosesnya, kecerdasan buatan hanya mengganti hal-hal bersifat kognitif rendah dan repetitif yang sebenarnya menghalangi manusia untuk berkembang sepenuhnya. Justru, aspek yang harus dikembangkan ialah kemampuan manusia untuk berkolaborasi, membangun relasi, dan berempati yang memungkinkan terbentuknya berbagai kreativitas,” papar Tegmark.
Oleh sebab itu, pendekatan pendidikan yang diambil ialah mengkaji ulang makna menjadi manusia di era teknologi digital. Faktor penting yang harus diterapkan ialah menanyakan kepada para siswa, mengenai persepsi mereka tentang keinginan mereka atas masa depan dan masyarakat seperti apa yang ingin mereka bentuk.
Pakar pendidikan dari University College London, Inggris Rose Luckin mengungkapkan, bahkan di negara tersebut juga menghadapi kendala dalam melakukan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Keengganan masyarakat, termasuk guru, untuk mengubah pola pikir bahwa belajar tidak selesai ketika seseorang lulus sekolah masih menjadi momok.
“Dalam hal ini, guru-guru diikutsertakan dalam menentukan pengembangan teknologi tidak hanya untuk pendidikan, tetapi juga kehidupan sehari-hari. Mereka membantu para perusahaan teknologi mengenai kebutuhan tumbuh kembang anak sekaligus memahami proses teknologi membantu kehidupan sehingga tidak lagi antipati,” ujarnya.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR DARI AL RAYYAN, QATAR
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 21 November 2019