Kemampuan Membaca Pengaruhi Kesenjangan Jender di Pendidikan Tinggi

- Editor

Selasa, 16 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keterampilan membaca pada anak laki-laki yang buruk pada masa remaja dibandingkan pada anak perempuan memengaruhi partisipasi mereka di pendidikan tinggi yang lebih rendah daripada perempuan.
Data global menunjukkan, dibandingkan laki-laki, lebih banyak perempuan yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dari 18 negara, termasuk sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, rata-rata jumlah mahasiswa laki-laki hanya 45 persen dibandingkan perempuan yang 55 persen.

Di Indonesia pun demikian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2012, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan pada perempuan selalu lebih besar daripada pada laki-laki. Pada 2019, misalnya, APK pendidikan tinggi pada perempuan 31,67 persen dan pada laki-laki 28,93 persen.

Studi terbaru yang dilakukan tim peneliti Universitas Missouri (Kolumbia) dan Universitas Essex (Inggris) menemukan bahwa keterampilan membaca pada anak laki-laki yang buruk pada masa remaja, dikombinasikan dengan sikap sosial tentang perempuan yang kuliah, membantu menjelaskan mengapa lebih sedikit laki-laki daripada perempuan yang mendaftar ke pendidikan tinggi. Temuan ini dipublikasi di jurnal Prosiding National Academy of Science.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Skor membaca penting untuk anak laki-laki dan perempuan, dan kami tahu bahwa anak perempuan secara rata-rata mendapat nilai lebih baik dalam tes membaca,” kata David Geary, Guru Besar Psikologi di Universitas Missouri, seperti dikutip dari Science Daily, 8 Juni 2020.

Geary dan Gijsbert Stoet, profesor psikologi di Universitas Essex, mempelajari potret pencapaian membaca untuk anak laki-laki dan perempuan ketika mereka berusia 15 tahun. Mereka menganalisis tiga database internasional yang meliputi data pendaftaran pendidikan pascasekolah menengah pada 2011-2017 dari OECD, skor membaca tingkat nasional untuk anak berusia 15 tahun dan 16 tahun dari Program Penilaian Siswa Internasional (PISA), dan sikap sosial terhadap perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dari Survei Nilai Dunia (World Values Survey/WVS). Secara total, data tersebut mewakili lebih dari 400.000 anak laki-laki dan perempuan di 18 negara.

Secara khusus, para peneliti melihat satu pertanyaan dalam WVS yang berbunyi ”pendidikan perguruan tinggi lebih penting bagi anak laki-laki daripada anak perempuan”. Stoet mengatakan, sikap sosial ini harus dipertimbangkan bersama dengan skor membaca.

”Faktor penting untuk dipertimbangkan adalah sejauh mana masyarakat di seluruh dunia percaya bahwa pendidikan perguruan tinggi sama pentingnya bagi anak perempuan seperti halnya pada anak laki-laki. Meskipun semakin banyak anak perempuan yang masuk perguruan tinggi, anak perempuan masih cenderung dirugikan dibandingkan anak laki-laki dalam hal sikap sosial. Ini adalah masalah yang lebih besar di beberapa negara,” kata Stoet.

Kombinasi
Dengan menggunakan model segresi berganda, tim peneliti menunjukkan bahwa kombinasi tingkat kemahiran membaca antara antara anak laki-laki dan perempuan berusia 15 tahun dan sikap sosial terhadap anak perempuan yang masuk perguruan tinggi dapat memprediksi pendaftaran pendidikan tinggi lima tahun kemudian. Model ini juga menunjukkan bahwa paritas di beberapa negara adalah hasil dari buruknya kemampuan membaca pada anak laki-laki dan sikap sosial negatif terhadap pendidikan anak perempuan.

Hasil penelitian ini, kata Geary, memberikan gambaran suram untuk mengurangi kesenjangan jender pendidikan tinggi, kecuali jika keterampilan membaca ditingkatkan. Untuk meningkatkan keterlibatan laki-laki dalam pendidikan tinggi, membutuhkan peningkatan yang signifikan dalam kompetensi membaca pada anak laki-laki.

”Peningkatan ini harus dimulai sejak awal kehidupan. Kesenjangan membaca antara laki-laki dan perempuan ada sejak awal sekolah, bahkan di prasekolah,” katanya.

Namun, hanya sedikit harapan kesenjangan pendaftaran di perguruan tinggi akan berkurang. Hal itu karena kompetensi membaca cenderung stagnan di beberapa negara.

Oleh YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 15 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB