Pengelolaan untuk Energi Listrik Cukup Sebatas Bonus
Penetapan tujuh daerah sebagai lokasi percontohan pengolahan sampah menghasilkan energi listrik bisa memperpanjang masalah tumpukan sampah di kota besar. Tumpukan sampah tidak berkurang karena terus dibutuhkan sebagai bahan baku sumber energi agar produksi listrik berlanjut.
Komitmen Presiden Joko Widodo menyelesaikan krisis tumpukan sampah di kota besar semestinya juga memprioritaskan pengurangan sampah melalui pengelolaan menyeluruh dari hulu ke hilir. Energi sekadar bonus. “Prinsip bebas sampah dimulai dari rumah, kantor, dan berbagai tempat, bukan hanya tentang satu jenis teknologi mengolah sampah jadi energi,” ucap pendiri Greeneration Indonesia, M Bijaksana Junerosano, dihubungi Senin (8/2), di Jakarta.
Junerosano mengingatkan, penjelasan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan pendekatan komprehensif itu. Paradigma pengelolaan sampah adalah pengurangan sampah dengan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang serta penanganan sampah melalui pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pemrosesan akhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui rapat terbatas di Kantor Presiden, Jumat (5/2), pemerintah memutuskan proyek percontohan pengelolaan sampah untuk tenaga listrik di tujuh daerah: DKI Jakarta, Bandung, Tangerang, Surabaya, Semarang, Solo, dan Makassar. Daerah-daerah itu kota besar penghasil sampah di atas 1.000 ton per hari dan kota menengah dengan sampah 200-250 ton per hari.
Berdasarkan dokumen Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) di DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Surabaya, dan Kota Surakarta versi 27 Januari 2016, PLTSa menggunakan teknologi termal atau pembakaran, meliputi gasifikasi, insinerator, dan pirolisis. Pemerintah daerah diamanatkan memastikan ketersediaan sampah dengan kapasitas minimal 1.000 ton per hari.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi David Sutasurya, kewajiban bagi pemda itu berlawanan dengan prinsip bebas sampah. Sebab, berarti pemda menjamin sampah dalam volume besar ada setiap hari. “Pemda seharusnya membuat kebijakan pengurangan sampah secepat-cepatnya,” ujarnya.
Risiko kesehatan
Penasihat Senior BaliFokus Yuyun Ismawati menambahkan, teknologi termal dalam pengolahan sampah berisiko bagi kesehatan masyarakat. Pembakaran limbah domestik dan limbah medis dengan insinerator atau teknologi termal lain mengemisi dioksin dan furan yang merupakan polutan organik persisten (POPs). POPs terdiri dari 23 bahan kimia dan karsinogen (memicu kanker), persisten atau bandel, bioakumulatif (tertumpuk dalam tubuh), dan bisa tersebar jauh dari sumber.
Yuyun mengatakan, dioksin dan furin terbentuk terutama jika ada PVC (polyvinyl chloride), misalnya di sampah plastik terbakar. Bahan-bahan itu bisa dilepas lewat udara, air, dan abu. Studi di sejumlah lokasi di Inggris dan Islandia dekade 1990-an, air tanah dan susu sapi peternakan yang berjarak 15 kilometer dari bangunan insinerator mengandung dioksin tinggi. Berbagai kasus kanker muncul dan meningkat sejak insinerator berdiri.
Berdasarkan Rencana Implementasi Nasional Penghapusan POPs di Indonesia, kata Yuyun, inventori lepasan dioksin di Indonesia pada 2014 mencapai 9.881 gram TEQ (toxic equivalent) atau 7 kali lipat total dioksin se- Amerika Serikat pada 2000. Itu bahkan sebelum Indonesia menerapkan teknologi termal dalam mengolah sampah kota. Sampah di Indonesia cenderung basah karena lebih dari 67 persen sampah organik sehingga secara teknis tidak layak bakar.
Pemerintah punya pilihan selain teknologi termal dan lebih aman bagi publik, misalnya menerapkan tempat pembuangan akhir saniter dilengkapi penangkapan gas metana. Selain mengurangi emisi gas rumah kaca, gas metana yang ditangkap juga bisa untuk sumber energi listrik meski tidak besar. Penerapan di Bali dan Pontianak, dengan produksi listrik 1-2 megawatt.
Opsi lain, kata Junerosano, perbaikan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, seperti di 125 titik kawasan di Kota Depok pada 18 bulan terakhir. Warga disiplin memilah sampah karena sampah tak diangkut petugas jika belum terpilah. (JOG)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2016, di halaman 13 dengan judul “Kelola Sampah hingga Tuntas”.