Diabetes menjadi salah satu penyakit tidak menular yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan global. Padahal, penyakit ini dapat dicegah dengan hidup sehat. Terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia meneliti khasiat dari kedondong hutan yang dapat mencegah diabetes.
Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016, diperkirakan 442 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada 2012. Jumlah tersebut naik naik empat kali lipat dibandingkan jumlah penderita diabetes pada tahun 1980, yakni sebanyak 108 juta orang.
DOKUMENTASI WAWAN SUJARWO–Daun kedondong hutan (Spondias pinnata)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 2012, diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian dan menjadikannya berada di peringkat ke delapan penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada 2015, Indonesia menempati peringkat ke tujuh dunia untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia dengan estimasi jumlah penderitanya mencapai 10 juta orang.
Berdasarkan data healthdata.org, diabetes selalu berada pada 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia sejak 2007 hingga 2017. Pada 2007, diabetes menduduki peringkat keenam dan pada 2017 naik menjadi peringkat ketiga di bawah stroke dan penyakit jantung.
Adapun komplikasi dari diabetes dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi kaki. Faktor pendorong penyakit diabetes yakni kelebihan berat badan atau obesitas. WHO menyatakan, 80 persen kejadian diabetes dapat dicegah.
Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan sehat, aktif secara fisik, dan menghindari penambahan berat badan yang berlebihan. Terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meneliti kedondong hutan (Spondias pinnata) yang diyakini dapat mencegah diabetes.
DOKUMENTASI WAWAN SUJARWO–Pohon kedondong hutan (Spondias pinnata)
Peneliti Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Wawan Sujarwo menceritakan, pada awalnya ia penasaran dengan keyakinan masyarakat desa di Bali yang mengkonsumsi daun kedondong hutan untuk mencegah diabetes. Masyarakat Bali menggunakan daun kedondong hutan sebagai loloh atau jamu.
Ia pun mencari tahu kebenaran khasiat kedondong hutan tersebut melalui pengujian laboratorium. Wawan membahas aspek botani bersama dengan Staf Khusus Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Ary Prihardhyanto Keim yang saat itu masih menjadi Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI. Ia juga melakukan pengujian antioksidan bersama dengan koleganya dari Roma, Italia Daniela Tofani.
“Kalau penggalian pengetahuan masyarakat lokal di Bali, saya lakukan sendiri,” kata Wawan di Jakarta, Senin (4/3/2019). Sebagai seorang ahli etnobotani, Wawan menggali kegunaan tumbuhan dari komunitas masyarakat lokal.
Kebiasaan masyarakat
Ia mengetahui kebiasaan masyarakat lokal di Bali mengkonsumsi loloh pada tahun 2013 dan telah mempublikasikannya lewat jurnal ilmiah serta buku. Dalam penelitiannya, Wawan menggunakan dua sampel daun yang diuji kandungan fenolik dan antioksidannya.
Dalam penelitiannya, Wawan menggunakan dua sampel daun yang diuji kandungan fenolik dan antioksidannya.
Ia menggunakan sampel daun kedondong hutan dari Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali. Masyarakat di desa ini telah menggunakan daun kedondong hutan atau cemcem dalam bahasa lokal Bali untuk membuat loloh atau jamu.
Mereka sudah memproduksi loloh dalam skala industri rumah tangga dan menjualnya di pasar tradisional di Kabupaten Bangli, Bali. Bahkan, sekarang ramuan tersebut telah menyebar sampai ke kabupaten di sekitarnya seperti Gianyar dan Karangasem.
Masyarakat lokal Bali memproduksi loloh sebagai minuman segar sekaligus untuk mencegah diabetes. Mereka menambahkan bumbu rujak agar terasa lebih enak.
Loloh yang dikonsumsi sendiri, hanya perlu membuat jus dari daun kedondong hutan tanpa dicampur bumbu rujak. Wawan menjelaskan, cara mengolahnya yakni daun ditumbuk lalu diperas dan airnya diminum.
Karena tanpa pengawet, maka minuman loloh hanya bertahan maksimal tiga hari dengan disimpan di lemari es. Setelah tiga hari, maka rasa dan kualitasnya sudah tidak optimal.
Adapun masyarakat lokal di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali memanfaatkan daun kedondong hutan untuk sayuran. “Sepanjang saya tahu, kedondong hutan dapat tumbuh di mana saja dari dataran rendah sampai pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut,” ujar Wawan.
Meskipun demikian, komunitas masyarakat di dunia yang menggunakan daun kedondong hutan untuk dibuat loloh hanya ada di Desa Penglipuran.
Pengujian laboratorium
Dari hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Wawan, daun kedondong hutan mengandung kadar antioksidan dan fenolik yang cukup tinggi. “Antioksidan memang tidak selalu mengarah pada antidiabetik (mengendalikan tingkat glukosa dalam darah), tetapi lebih ke fungsi umum untuk kesehatan karena antioksidan dapat menangkal radikal bebas,” kata Wawan.
Ia menegaskan, ramuan dari daun kedondong hutan berguna untuk mencegah dan bukan untuk mengobati diabetes.
Ramuan dari daun kedondong hutan berguna untuk mencegah dan bukan untuk mengobati diabetes.
Kedondong hutan (spondias pinnata) memiliki perbedaan dengan kedondong (Spondias dulcis). Perbedaan tersebut terletak pada bentuk bunga dan buahnya. Namun, bentuk daun, tulang daun, dan tangkai daun hampir sama persis. Wawan menuturkan, Indonesia merupakan wilayah persebaran alami kedondong hutan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Ina Rosalina Dadan mengaku pernah mendengar informasi terkait khasiat kedondong hutan, tetapi belum pernah membaca penelitian tersebut.
“Pada intinya, pasti khasiatnya sangat baik apalagi mengandung antioksidan. Namun, kalau memang untuk penderita diabetes, obat diabetesnya harus tetap diminum dan kedondong hutan sebagai antioksidannya,” ujar Ina.
Ia menambahkan, semua buah-buahan yang mengandung banyak vitamin atau herbal yang mengandung zat aktif, bukan dikonsumsi untuk pengobatan penyakit tetapi untuk menjaga kesehatan.
Wawan mengatakan, dirinya belum sampai ke pengujian senyawa aktif. “Hal itulah yang seharusnya dilanjutkan oleh ilmuwan bahan alam untuk mengeksplorasi lebih dalam lagi ke arah produksi obat herbal yang secara klinis dapat dipertanggungjawabkan dari sisi antitoksisitasnya,” tuturnya.
Ia menambahkan, kedondong hutan merupakan spesies yang masih semi liar dan belum sepenuhnya dibudidayakan sehingga penelitian yang lebih mendalam masih terbuka lebar. Untuk penelitiannya, ia masih melakukannya di tingkatan hulu.
Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO
Sumber: Kompas, 10 April 2019