Kedua kandidat presiden dinilai tidak memiliki terobosan untuk menyelesaikan persoalan pangan. Keduanya lebih berkutat pada peningkatan produksi dengan mengabaikan kedaulatan rakyat atas pangan.
“Kedua kandidat tidak menunjukkan adanya kebaruan gagasan dalam menyelesaikan persoalan pangan kita. Padahal, aspek pangan menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatian utama masyarakat kita,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, Senin (18/2/2019), saat dihubungi di Jakarta.
Sebagaimana diberitakan, debat kedua Pemilu Presiden 2019 diikuti calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, di Hotel Sultan, Minggu (17/2/2019). Dalam debat itu, kedua kandidat presiden memaparkan strategi pembangunan terkait infrastruktur, energi, pangan, dan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Mengolah Lahan Di Tengah Kemarau – Samidi (55), seorang petani penggarap di Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (14/9/2018), tengah mengolah lahan sebelum ditanami padi varietas ciherang. Air irigasi yang lancar membuat petani di wilayah ini bisa tanam padi meski di tengah musim kemarau. Mereka mampu tanam padi tiga kali setahun dengan produksitivitas mencapai 12 ton per hektar.–KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Menurut Dwi, penekanan keduanya lebih untuk menurunkan harga pangan, namun tidak memiliki konsep jangka panjang untuk menyelesaikan persoalan ini. “Cukup banyak dibahas adalah soal impor pangan, tetapi tidak dieksplorasi lebih lanjut, termasuk akar masalahnya,” ujarnya.
Dwi menambahkan, dalam empat tahun terakhir impor 21 komoditas subsektor tanaman pangan di Indonesia meningkat dari 18,2 juta ton pada tahun 2014 menjadi 22 juta ton pada 2018. “Peningkatan hampir 3,8 juta ton dalam empat tahun terakhir ini signifikan,” katanya.
Sementara enam komoditas utama sektor panganyaitu beras, gandum, kedelai, bawang putih, ubi jalar, dan jagung ditambah satu komoditas perkebunan, yaitu gula, meningkat lebih tinggi. Pada tahun 2014 volume impor kita 21,7 ton, sedangkan pada tahun 2018 mencapai27,3 juta ton. “Memang kita mengekspor jagung, namun impornya mencapai 1,15 juta ton pada 2018. Pengurangan impor jagung juga meningkatkan impor gandum untuk pakan ternak. Dalam tiga tahun terakhir, impor gandum naik drastis rata-rata 2,2 juta ton,” kata Dwi.
Sisi positifnya, impor pangan mampu mentabilkan harga pangan di Indonesia dalam empat tahun terakhir. Hal ini menaikan Indeks Ketahan Pangan Indonesia dari urutan ke-73 di tahun 2014 menjadi urutan ke-65 di tahun 2018 dari 113 negara. “Masalahnya kenaikan indeks ketahan pangan kita ditopang impor besar. Ketahanan pangan tak memandang dari mana, yang penting pangan tersedia masyarakat, ini beda dengan konsep kedaulatan pangan,” kata dia.
Ketua Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menambahkan, dalam dokumen visi dan misi dua kandidat dan debat Minggu (17/2/2019) malam, tak satu pun kandidat menyebutkan kedaulatan pangan sebagai bagian rencana aksinya. “Padahal undang-undang pangan telah dengan tegas memandatkan untuk mencapainya hal ini,” ungkapnya.
Menurut Said, kedua kandidat terjebak pada paradigma pembangunan berbasis komoditas yang ujungnya hanya soal peningkatan produksi semata. Sedangkan fokus pada upaya peningkatan kualitas hidup petani tidak diperhatikan. “Kalaupun muncul dalam visi misi seolah jargon karena tak disertai bagiaman cara mencapainya,” kata dia.
Selain itu persoalan mendasar pangan dan pertanian di Indonesia yang tidak dijawab oleh dua kandidat dalam debat kedua maupun dokumen visi misi di antaranya akses terhadap sumber sumber produksi, seperti lahan, benih, pupuk, dan pembiayaan.
“Sebenarnya calon nomor satu (Joko Widodo) ada upaya menjawab persoalan tersebut tapi nyatanya hal itu masih jadi masalah. Contohnya reforma agraria belum sepenuhnya tercapai targetnya dan akses terhadap sumber pembiayaan sampai sekarang serapan petani sangat kecil serta banyak diakses petani kaya,” kata dia.
Said menambahkan kedua kandidat tidak menunjukkan komitmen dan rencananya untuk mengubah model pertanian yang sarat kimiawi menjadi model pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan . Padahal, situasi agroekologi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
Persoalan lain yang juga krusial namun tidak diperhatikan, tambah Said, adalah keberagaman pangan. “Tidak satu pun kandidat menyatakan soal masalah penyeragaman pangan dan itulah yang sebenarnya mendorong makin tingginya impor. Padahal Indonesia memiliki sumberdaya pangan lokal yang luar biasa dan sampai saat ini berlum termanfaatkan,” ucapnya.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 19 Februari 2019