Praktik perjokian karya ilmiah, termasuk skripsi, masif di sejumlah daerah. Selain ditopang sistem kerja berjejaring, lingkungan kampus pun diduga ikut memungkinkan praktik itu terjadi.
Di Universitas Palangkaraya (UPR), Kalimantan Tengah, misalnya, praktik perjokian karya ilmiah itu diduga melibatkan dosen. Berkedok pembimbingan, mahasiswa ditawari jasa penyusunan skripsi oleh dosen dengan tarif Rp 2 juta-Rp 3 juta.
Hal ini diungkapkan IPS (24), alumnus UPR, Sabtu (7/10). IPS yang diwisuda pada 2015 menyatakan, tawaran dari dosen untuk jasa penyusunan skripsi terpaksa ia terima karena takut dipersulit jika menampiknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ada mata kuliah yang belum selesai, tetapi gara-gara ditawari dan saya takut kalau nanti malah dipersulit, saya bayar saja,” ungkap IPS yang sekarang ini bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Namun, pengakuan IPS dibantah keras oleh Wakil Rektor II UPR Lewie A Rahu. Ia menegaskan, Rektorat UPR sudah mengeluarkan beberapa aturan terkait larangan pungutan liar dan jasa pembuatan skripsi. “Kalaupun ada itu, oknum saja. Namun, selama ini tidak ada seperti itu,” ujar Lewie.
Bulan lalu, seorang oknum dosen di universitas itu ditangkap Kepolisian Daerah Kalteng terkait pungutan liar penggandaan skripsi. Oknum itu saat ini sudah menjadi tersangka kasus gratifikasi (Kompas, 14/9/2017).
Cenri (27), mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UPR, menuturkan, saat dirinya memimpin lembaga kemahasiswaan itu tahun 2015, terungkap sejumlah keluhan terkait jasa penyusunan skripsi. “Mahasiswa yang menerima pesanan itu hanya korban. Tidak jarang kami dikondisikan untuk menerima penawaran jasanya itu,” katanya.
Dari mulut ke mulut
Di Yogyakarta, selain melalui jaringan internet, sejumlah penyedia jasa pembuatan karya ilmiah berpromosi dari mulut ke mulut. Pengguna jasa joki ini merupakan mahasiswa semester akhir sejumlah perguruan tinggi di “Kota Pelajar”.
HA (30), alumnus sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Kota Yogyakarta, sempat menjadi joki dalam jaringan pembuatan skripsi tahun 2012-2014.
Ditemui di Yogyakarta, Sabtu, HA mengaku pernah jadi bagian dari jaringan joki skripsi. HA bernaung di bawah seorang koordinator yang mengarahkan klienklien kepada para joki.
Berlatar belakang pendidikan filsafat, HA selalu disodori pesanan skripsi bidang studi ilmu sosial. Untuk satu skripsi dia diberikan target waktu dua bulan. “Begitu tuntas satu skripsi, datang lagi tawaran ‘proyek’ baru dari koordinator,” kata HA.
Dari sang koordinator, HA menerima bayaran bersih Rp 4 juta-Rp 5 juta. Selain menyusun skripsi mulai dari bab pendahuluan hingga daftar pustaka, HA juga mengajari kliennya menjawab pertanyaan dosen pembimbing saat bimbingan. Bahkan, klien dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan penguji pada saat sidang skripsi.
Umumnya, klien HA adalah kalangan mahasiswa asal Kalimantan dan Indonesia timur. Beberapa tahun terakhir, HA sudah tidak lagi menjadi joki setelah banting setir ke dunia kreatif bidang seni.
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi, berpendapat, maraknya fenomena joki karya ilmiah tak lepas dari larutnya perguruan tinggi pada orientasi mencetak tenaga kerja. Perguruan tinggi tak ubahnya pabrik pencetak tenaga kerja.
“Akibatnya, tugas akhir hanya dianggap sebagai formalitas untuk meraih gelar. Ini berbeda jika perguruan tinggi berorientasi mencetak manusia yang jujur, berintegritas, beretika, dan mandiri,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Saras menekankan pentingnya keterlibatan dosen pembimbing. “Dosen pembimbing bertanggung jawab untuk menggali minat mahasiswa bimbingannya hingga melahirkan suatu karya tulis otentik. Jangan sampai dosen pembimbing terlalu sibuk sampai tidak bisa membimbing mahasiswanya,” ujarnya.
Sementara budayawan Radhar Panca Dahana di Jakarta menuturkan, saat ini kecenderungan mencari material untuk meningkatkan status sosial semakin marak. “Salah satunya gelar akademik,” ujarnya.
Menurut Radhar, orientasi material ini memicu nafsu-nafsu liar manusia. Jika tidak dilakukan pengendalian, cara memperoleh material itu akan menyimpang. Kealpaan adab sebagai fondasi dasar dalam diri dapat membuat manusia menghalalkan segala cara untuk meraih material itu.
“Padahal, adab mengandung moralitas, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat,” kata Radhar. Oleh karena itu, sejatinya adab membentuk jati diri, karakter, dan integritas pada manusia.
Dosen Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta, Saifur Rohman, menilai, faktor mentalitas dosen pembimbing ikut mendorong peluang fenomena joki skripsi dan karya ilmiah lainnya.
“Ada kecenderungan dosen pembimbing lebih pragmatis. Integritas dosen pembimbing mulai luntur terkait dengan transfer budaya meneliti kepada mahasiswa yang dibimbingnya,” kata Saifur.(IDO/DIM/DD09)
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2017