Jepang pernah mengalami berbagai bencana akibat nuklir. Namun, itu tak menyurutkan semangat Jepang untuk terus menguasai teknologi nuklir. Bencana justru jadi pelajaran untuk meningkatkan kemampuan bangsa. Semangat dan pembelajaran Jepang itu bisa ditiru Indonesia jika ingin jadi negara industri maju.
Jepang pernah porak poranda akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Hanya dua dekade setelah itu, reaktor nuklir komersial pertama Jepang beroperasi. Pada 2011, kecelakaan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi membuat Jepang harus mengungsikan ratusan ribu penduduk dan terus berupaya mengendalikannya hingga kini.
PLTN di Jepang sebenarnya sudah disiapkan untuk menghadapi gempa hingga magnitudo 9. Namun datangnya tsunami besar akibat gempa pada 2011 di luar dugaan mereka. Pascakecelakaan itu, seluruh reaktor di Jepang dimatikan dan dievalusi sistem keselamatannya. Kini, sembilan dari 54 reaktor sudah dihidupkan lagi dan akan disusul reaktor lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI–Situasi kota Kobe, salah satu kota industri di Jepang, Rabu (28/11/2018). Negara-negara maju menjadikan energi nuklir sebagai tulang punggung industri mereka karena dinilai lebih terjamin pasokan, jumlah dan keberlanjutannya.
“Kesembilan reaktor yang beroperasi lagi adalah reaktor air tekan (pressurized water reactor/PWR), ” kata Deputi Direktur Divisi Sistem Energi Nuklir Mitsubishi Heavy Industries Ltd (MHI) Itaru Kikuoka di Pabrik MHI di Kobe, Jepang, Rabu (28/11/2018). MHI merupakan salah satu dari tiga industri penyuplai nuklir di Jepang, selain Hitachi dan Toshiba.
Berbagai peristiwa pilu terkait nuklir itu nyatanya tak menyurutkan Jepang untuk terus meningkatkan penguasaan teknologi nuklir. Bukannya takut dengan risiko yang dihadapi, kecelakaan di PLTN Fukushima Daiichi justru dijadikan sebagai pembelajaran untuk menguasai teknologi nuklir yang lebih maju.
Bahkan pemerintah Jepang pada Juli 2018 meluncurkan Rencana Energi Strategis yang menargetkan penggunaan energi nuklir mencapi 20-22 persen dari sumber energi nasional pada 2030. Porsi itu memang masih lebih rendah dibanding sebelum kejadian Fukushima Daiichi yang mencapai 28 persen, namun tingkat keselamatan reaktornya jadi berlapis.
Sumber energi
Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran mengatakan Jepang kembali ke energi nuklir karena negara itu tidak memiliki sumber energi yang beragam. Pascakecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, Jepang mencoba mengalihkan tulang punggung energi nasionalnya pada energi baru, seperti angin dan matahari. Namun, itu tidak cukup menopang kebutuhan listrik industri.
Konsekuensinya, mereka mengimpor gas dan batubara untuk sumber energi listrik. Namun, itu ternyata membuat belanja energi membengkak dan ketahanan negara terancam. “Karena itu, Jepang memutuskan kembali menggunakan nuklir dengan syarat baru yang bisa menjamin nirkecelakaan,” katanya.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Zulnahar Usman mengatakan industri membutuhkan sumber energi yang terjamin pasokan, kecukupan, dan keberlanjutannya. Hingga kini, jenis energi yang bisa menjamin hal itu adalah energi nuklir. Tulang punggung industri di negara-negara maju pun bertopang pada jenis energi ini.
“Energi nuklir perlu terus didorong di Indonesia. Edukasi ke masyarakat pun harus terus dilakukan,” kataya. Terlebih, untuk mempersiapkan pembangunan PLTN butuh waktu lama, sekitar 10 tahun.
Sementara Deputi Teknologi Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Suryantoro mengatakan selain energi nuklir, energi minyak, gas dan batubara adalah yang sudah terbukti bisa dijadikan tulang punggung industri. Namun semua energi fosil akan habis sehingga pengembangan energi nuklir jadi kebutuhan.
Meski demikian, seperti pengalaman Jepang, pengembangan nuklir bukan berarti menghambat pengembangan energi baru. Jenis energi baru memang cocok dikembangkan untuk keperluan rumah tangga dan ekonomi skala kecil. Namun jika Indonesia ingin jadi negara industri maju, penggunaan nuklir sulit dihindarkan.
Sumber: kompas, 29 November 2018