Sebanyak 23,3 persen anak muda di sejumlah negara bergantung pada gawai sehingga berperilaku seperti kecanduan. Padahal, kebergantungan tinggi pada gawai meningkatkan risiko stres, cemas, sulit tidur, hingga bunuh diri.
Tekanan hidup yang tinggi pada masyarakat urban terkadang memicu stres dan mengganggu kesehatan jiwa. Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa menghambat akses pada layanan kesehatan jiwa. Padahal, dengan perawatan tepat, orang dengan gangguan jiwa bisa beraktivitas seperti biasa.
Sebanyak 23,3 persen anak muda di sejumlah negara sangat bergantung pada gawai sehingga berperilaku seperti kecanduan. Padahal, kebergantungan tinggi pada gawai bisa meningkatkan risiko stres, cemas, depresi, sulit tidur, terganggunya prestasi akademik, hingga bunuh diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Orang dengan gangguan jiwa akibat kecanduan gawai berada dalam perawatan di panti rehabilitasi disabilitas mental Yayasan Jamrud Biru, Jalan Mustikasari Gang Asem Sari II RT 03/04 Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (14/4/2019).
Studi yang dilakukan sejumlah ilmuwan Inggris itu menganalisis 41 studi tentang masalah penggunaan gawai dalam berbagai bahasa yang dipublikasikan pada 1 Januari 2011 hingga 15 Oktober 2017. Studi itu melibatkan 41.871 responden dan 55 persennya adalah perempuan.
Analisis dari berbagai studi itu menunjukkan hasil yang konsisten. Perilaku seperti kecanduan gawai itu membuat anak-anak muda menjadi panik, bingung, atau marah-marah saat dijauhkan dari gawai. Mereka juga kesulitan mengontrol waktu yang mereka gunakan di depan gawai sehingga mengganggu aktivitas lain yang lebih penting.
Berbagai tindakan yang mirip dengan perilaku kecanduan itu menunjukkan gawai memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan mental. ”Tidak diketahui apakah yang menyebabkan kecanduan itu gawainya atau berbagai aplikasi yang ada dalam gawai,” kata salah satu peneliti, Nicola Kalk, dari Institut Psikiatri, Psikologi, dan Neurosains di King’s College, London, Inggris kepada BBC, Jumat (29/11/2019).
Studi menunjukkan berbagai masalah penggunaan gawai itu memiliki keterkaitan dengan berbagai ukuran kesehatan mental yang buruk, mulai dari stres, cemas, depresi, kualitas tidur yang buruk, hingga terganggunya aktivitas sehari-hari yang memengaruhi kemampuan akademik mereka.
Risiko bunuh diri
Salah satu studi bahkan menunjukkan peningkatan risiko bunuh diri akibat masalah penggunaan gawai. Berbagai perilaku yang terkait dengan risiko bunuh diri, seperti kontrol diri yang rendah, impulsif, dan ketidakstabilan emosi, juga ditemukan pada mereka yang punya masalah dengan gawai.
Meski demikian, Amy Orben, peneliti dari Unit Ilmu Kognitif dan Otak, Laboratorium Biologi Molekuler MRC, Universitas Cambridge, Inggris, yang tidak terlibat dalam studi mengingatkan untuk berhati-hati menarik kesimpulan perilaku mirip kecanduan pada penggunaan gawai dengan dampaknya bagi kesehatan mental sebagai sebab akibat.
”Efek gawai tidak hanya searah, suasana hati juga bisa menentukan penggunaan gawai (bukan hanya penggunaan gawai yang memengaruhi suasana hati,” katanya.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir Mei 2019 telah resmi memasukkan gangguan bermain video gim (gaming disorder) dalam revisi ke-11 Pengelompokan Penyakit Internasional (International Classification of Diseases/ICD-11). Gangguan gim itu berlaku baik untuk permainan gim digital maupun video gim.
Gangguan bermain gim itu ditandai oleh terganggunya kontrol diri atas permainan, lebih mengutamakan bermain gim daripada melakukan hobi atau kegiatan sehari-hari lainnya, hingga terus melakukan permainan itu meski sudah merasakan dampak negatifnya.
Untuk memastikan diagnosis tersebut, seperti dikutip dari situs who.int, perubahan perilaku itu harus diamati dan terbukti berlangsung minimal 12 bulan. Seiring bertambahnya waktu, dampak itu makin besar hingga mengganggu berbagai fungsi pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Asosiasi Psikiater Amerika (APA) memperkirakan 0,3 persen sampai 1 persen penduduk dunia menderita gangguan bermain gim. Itu berarti ada sekitar 75 juta orang di seluruh dunia yang mengalami gangguan perilaku akibat permainan video gim.
Di Indonesia, meski belum ada data pasti, data pasien penderita kecanduan gawai di sejumlah rumah sakit terus meningkat. Terakhir, pada Oktober 2019, Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat di Cisarua, Bandung Barat, menerima belasan pasien kecanduan gawai berumur 5-15 tahun setiap bulan. Kecanduan yang dialami beragam, mulai dari kecanduan bermain video gim, berselancar di dunia maya, hingga pemakaian aplikasi tertentu.
Meski demikian, kesadaran untuk mencegah kecanduan gawai masih rendah. Gawai dan akses internet umumnya masih sebatas dianggap sebagai simbol kemajuan dan kemodernan. Antrean penjualan gawai baru juga masih mengular. Pembelian pulsa pun kini menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar ketiga setelah beras dan rokok.
Namun, dampak penggunaan gawai kurang diwaspadai. Gawai justru sering diberikan orangtua kepada anak-anaknya agar tidak rewel atau menangis. Jenis tontonan yang disaksikan anak juga jarang diperhatikan. Akibatnya, anak menjadi sangat bergantung pada gawai, kurang beraktivitas fisik, dan kurang berinteraksi sosial.
Dengan dampak kesehatan mental yang serius dari penggunaan gawai yang tak terkontrol perlu jadi perhatian serius. Orangtua dan orang dewasa perlu memberi teladan terkait penggunaan gawai. Gawai boleh digunakan sepanjang untuk keperluan yang produktif dan tidak melupakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 Desember 2019