Kebun raya mangrove seluas 200 hektar akan dibangun di kawasan pantai Timur Surabaya, Jawa Timur. Kebun raya tersebut diklaim sebagai kebun raya mangrove pertama di dunia. Pembangunan ini menjadi salah satu wujud nyata dari gerakan menjaga bumi dari kerusakan lingkungan yang kian mengancam.
Program pembangunan kebun raya mangrove itu akan dimulai pada 29 April 2018 bertepatan dengan Festival Jaga Bhumi 2018. Program tersebut melibatkan pemerintah kota Surabaya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI).
Wakil Ketua II YKRI Sonny Keraf mengatakan, bencana ekologis mengancam bumi, seperti pemanasan global, pembabatan hutan, serta pencemaran udara, air, dan laut. Keberadaan ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan untuk menyokong keberlanjutan kehidupan manusia, alam, dan hewan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ketika lingkungan terancam, kehidupan manusia juga terancam. Kita harus menyelamatkan bumi ini. Pembangunan kebun raya mangrove pertama di dunia ini menjadi salah satu langkah awal, juga rencana besar, untuk memulainya,” kata Sonny dalam jumpa pers jelang Festival Jaga Bhumi 2018 di Veranda Hotel, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (12/4/2018).
Saat ini Indonesia telah memiliki 36 kebun raya. Kebun raya mangrove yang akan dibangun di kawasan pantai Timur Surabaya, tepatnya di Wonorejo hingga pesisir pantai Kecamatan Gunung Anyar, akan menjadi kebun raya ke-37.
Sonny menambahkan, LIPI telah merampungkan kajian akademis terkait pembangunan kebun raya mangrove itu. Kini, tinggal menunggu rencana induk (masterplan kebun) raya yang sedang dikerjakan Kementerian PUPR.
NIKOLAUS HARBOWO–Wakil Ketua II YKRI Sonny Keraf menjelaskan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dalam konferensi pers jelang Festival Jaga Bhumi 2018 di Veranda Hotel, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/4/2018).
“Masterplan ini dirancang Kementerian PUPR. Kami harus membentuk konsep yang matang dengan mengutamakan konservasi, riset penelitian, pendidikan, dan rekreasi,” ujarnya.
Namun pembangunan masih terkendala pembebasan lahan. Dari rencana 200 hektar, tanah yang tersedia baru seluas 50 hektar. Pemerintah Kota Surabaya harus menganggarkan setiap tahunnya untuk pembebasan lahan tersebut. “Itu lahan sebenarnya milik pemerintah daerah tetapi telah lama kosong. Sehingga, orang masuk untuk tanam dan bikin pondok di sana,” ucap Sonny.
Ahli Konservasi YKRI Sudjati Budi Susetiyo mengatakan, tantangan untuk mewujudkan kebun raya mangrove adalah konsep konservasi “ex-situ”. Kebun raya itu harus mampu mencakup sekitar 180 jenis mangrove yang ada di Indonesia. Adapun, saat ini baru ada sebanyak 14 jenis mangrove.
“Karena ini akan jadi kebun raya, tantangannya agar bisa menampung koleksi mangrove yang ada. Pasti harus mencari ke tempat lain yang ada mangrove-nya yang kondisi alam dan ekologi sama dengan Surabaya,” kata Djati.
Karena ini akan jadi kebun raya, tantangannya agar bisa menampung koleksi mangrove yang ada.
Pembangunan kebun raya mangrove diperkirakan membutuhkan waktu hingga 10 tahun. “Bangun seperti Kebun Raya Bogor bisa 200 tahun, tetapi itu kan zaman dulu. Dengan peralatan yang ada sekarang dan dibantu Kementerian PUPR, pembangunan semoga bisa lebih cepat,” ucapnya.
Direktur Program Jaga Bhumi Michael Bayu Sumarijanto mengatakan, kebun raya mangrove dapat menjadi contoh pelestarian alam yang menyatukan antara kehidupan darat, laut, dan udara. Hal ini dikarenakan banyak ekosistem yang tumbuh di sebuah kawasan mangrove.
“Tempat ikan beranak, burung hijrah, binatang-binatang darat berlindung juga. Jadi kombinasi ini menggambarkan darat, laut, udara menjadi satu di mangrove,” ujarnya.
Ia berharap gerakan ini bisa menjadi semangat bagi kaum muda untuk ikut melestarikan alam. Pelestarian itu dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti ikut menanam mangrove ketika Festival Jaga Bhumi atau menggaungkan gerakan Jaga Bhumi melalui media sosial.–DD18
Sumber: Kompas, 13 April 2018