James G Mchnn, pengajar di University of Pennsylvania; Amerika Serikat, menyebut lembaga kajian (think tank) sebagai jembatan antara dunia akademik dan pengambil kebijakan. Indonesia punya lembaga kajian yang kualitasnya diakui oleh dunia internasional.
Dalam 2015 Global Go to Think Tank Index Report, McGann yang juga Direktur Think Tanks and Civil Societies Program (TTCSP) menuturkan, lembaga kajian melalui analisis dan masukannya menyediakan kemungkinan bagi pengambil kebijakan ataupun publik untuk membuat keputusan yang baik.
Rasionalisasinya, hasil kajian yang menggunakan metodologi dan data empiris yang bisa dipertanggungjawabkan bisa membantu pengambil kebijakan mendiagnosis persoalan dengan akurat. Sebagai konsekuensi, kebijakan yang diambil akan lebih dekat ke episentrum persoalan, jika dibandingkan dengan kebijakan yang berbasis intuisi atau kepentingan politik semata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, berdasarkan laporan TTCSP, ada lima lembaga kajian yang masuk jajaran 95 think tank terbaik di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik pada tahun 2015. Lembaga itu adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Economic Research Institute forASEAN and East Asia (ERIA), Institute of National Capacity Studies (INCS),Center for Indonesian Policy Studies, dan Indonesian Institute of Science (LIPI). CSIS berada di peringkat ketiga di kawasan dan peringkat ke-7O di seluruh dunia.
“Dari sisi kualitas, peneliti Indonesia tidak kalah bagus dibandingkan negara lain,” ujar peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris, akhir pekan lalu.
Dengan kondisi ini, lembaga kajian punya potensi membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang holistik, tidak sekadar tambal sulam. Di negara tetangga, seperti Australia atau Singapura, lembaga kajian ditempatkan sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan.
Sayangnya, menurut Syamsuddin, dalam lintasan sejarah Indonesia belum ada lembaga kajian yang sungguh-sungguh berperan penting dalam mendorong pembangunan Indonesia. Dia menilai peranan lembaga pengkajian dalam pengambilan kebijakan publik mengalami pasang surut.
Pusaran sejarah
Pada masa Orde Baru, CSIS dianggap berperan penting dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kemudian, pada tahun 1990-an, Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dengan Centre for Information and Development Studies (Cides) dianggap berperan penting pula dalam kebijakan pemerintah.
Persepsi atas peranan CSIS dalam kebijakan Orde Baru pada tahun 1970-an dan 1980-an tidak terlepas dari kedekatan lembaga itu dengan orang-orang yang pernah mendapat kepercayaan Presiden Soeharto. Mereka misalnya Letnan Jenderal (Purn) Ali Moertopo dan Mayor Jenderal(Purn) Soedjono Hoemardani. Setelah kedua tokoh itu meninggal, peranan mereka digantikan, antara lain oleh Jenderal (Purn) LB Moerdani. Sementara itu, ICMI dan Cides tidak terlepas dari sosok Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi, mempersilakan orang menganggap CSIS berperan penting sebagai lembaga kajian di masa Orde Baru. Namun, ia menuturkan, hubungan CSIS dan pemerintah kala itu juga
naik turun. Bahkan, CSIS pernah juga tidak disukai pemerintah karena berani memberi kritik. ”Karena sebagai scholars (terpelajar) harus berani merenung, introspeksi. Apa yang baik lebih diperbaiki, yang kurang dikritik, jika perlu ditentang,” kata Harry Tjan.
Memasuki era Reformasi, lembaga kajian baru bermunculan. Kini ada lebih banyak lembaga kajian dengan fokus kajian yang beraneka ragam, semisal kebijakan ekonomi, kepemiluan anti korupsi, pertambangan, lingkungan hidup, atau kesehatan. Setidaknya ada 27 lembaga kajian Indonesia yang masuk dalam ”radar” TTCSP. Jumlah yang besar untuk ukuran negara-negara Asia Tenggara, namun masih jauh dibandingkan dengan Tiongkok (435) dan India (280).
Harry Tjan menilai positif pertumbuhan lembaga kajian di Indonesia karena akan mencegah timbulnya monopoli pendapat. Selain itu juga akan ada desentralisasi lokasi ataupun isu. Kemunculan lembaga-lembaga kajian yang punya spesialisasi juga bisa saling melengkapi dalam kolaborasi.
Berkaca dari pengalaman CSIS yang bertahan di Usia 45 tahun, Harry Tjan menyarankan agar lembaga kajian mempertahankan integritas serta tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat.
Kebutuhan
Syamsuddin mengingatkan semakin tinggi kebutuhan pemerintah atas kebijakan berbasis riset, makin penting dan besar peranan lembaga kajian.
Menurut dia, alokasi dana riset menjadi salah satu indikator melihat kepedulian pemerintah atau negara terhadap riset. ”Dana riset pemerintah dan swasta di Indonesia masih 0,08 persen dibandingkan GDP (pendapatan domestic bruto). Persentase dana riset ini masih berada di bawah negara-negara lain diASEAN, yang sebagian sudah di atas 1 persen,”kata Syamsuddin.
Selain itu, agar bisa berpengaruh dan bertahan di tengah perubahan, lanjutnya, lembaga kajian juga harus bisa menyesuaikan kajian yang mereka lakukan dengan kebutuhan masyarakat. Lembaga kajian juga dituntut untuk memiliki tata kelola yang profesional dan juga tidak birokratis.
Mantan Menteri Perencanaan Pembangnan Nasional/ Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan, pemanfaatan lembaga kajian untuk pembuatan kebijakan pemerintah dewasa ini sangat minim, terutama jika dibandingkan dengan ”masa kejayaan” lembaga kajian di era Orde Baru.
Saat ini, ujar Andrinof, untuk memenuhi kebutuhan kajian data dan analisis, pemerintah cenderung menggunakan jasa konsultan profesional dan komersial. Penyedia jasa seperti itu umumnya mengerjakan proyek kajian dan penelitian jangka pendek yang bersifat praktis sesuai pesanan.
Peran lembaga kajian dalam mengkaji kebijakan visioner berjangka panjang semakin berkurang. Itu menyebabkan pemerintah tidak memiliki arah kebijakan jangka panjang yang akurat. ”Sekarang, negara ini kekurangan gagasan besar dan kajian tentang strategi dan kebijakan visioner yang seharusnya disumbangkan oleh lembaga think tank,” kata Andrinof, yang pernah menjadi anggota staf peneliti senior di Habibie Center.
Saat ini, ia menilai, arah pembangunan dan penetapan kebijakan cenderung lemah. Pada akhirnya, yang memandu kebijakan adalah rekomendasi dari para konsultan bayaran yang berjangka pendek dan bersifat pragmatis. Lembaga kajian, ujar Andrinof, harus lebih berinisiatif dalam menawarkan diri dan mengadvokasi kebijakan pemerintah melalui kajian yang berbasis bukti.
Hal ini penting karena seperti disampaikan John de Boer, Senior Policy Adviser United Nations University, dalam artikel ”What are Think Tanks Good for?”, lembaga kajian tidak hanya menyediakan gagasan atau
solusi kebijakan, namun juga menerjemahkan gagasan-gagasan ideal itu dalam realitas kebijakan.
(AGNES THEODORA/ ANTONY LEE)
Sumber: Kompas, 1 September 2016