Pembukaan kembali sekolah di tengah pandemi dinilai berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19. Pasalnya, anak rentan tertular dan menularkan virus korona baru penyebab penyakit itu.
Kasus Covid-19 dari kalangan anak muda menunjukkan peningkatan secara global. Studi terbaru juga menunjukkan, anak berusia di bawah lima tahun justru membawa virus SARS-CoV-2 di saluran pernapasan mereka lebih banyak dibandingkan yang lebih tua. Perkembangan ini perlu menjadi perhatian di tengah wacana pembukaan kembali sekolah.
“Data-data terbaru menunjukkan, anak-anak semakin banyak menderita Covid-19. Ini harus jadi pertimbangan keputusan pemerintah bagi pembukaan kembali sekolah. Apalagi, Indonesia memiliki kasus infeksi anak lebih tinggi dari rata-rata global,” kata Yogi Prawira, Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Analisis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap sekitar 6 juta kasus infeksi secara global menemukan, proporsi orang berusia 15-24 tahun yang tertular Covid-19 naik menjadi 15 persen pada 12 Juli dari sebelumnya 4,5 persen pada 24 Februari. Adapun anak-anak berusia 5-14 tahun yang terinfeksi virus korona baru pemicu Covid-19 naik menjadi sekitar 4,6 persen terinfeksi, dari sebelumnya hanya 0,8 persen.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa termasuk Spanyol, Jerman, dan Prancis, serta negara-negara Asia seperti Jepang juga melaporkan, banyak kasus baru yang terinfeksi adalah kaum muda.
Data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, dari jumlah total kasus Covid-19, proporsi anak usia 0 – 5 tahun yang menderita Covid-19 di Indonesia sebanyak 2,3 persen, usia 6-18 tahun 6,8 persen, usia 19-30 tahun 23,3 persen, usia 31-45 tahun 31,4 persen, 46-59 tahun 24,5 persen, dan usia di atas 60 tahun 11,6 persen.
Sementara itu, angka kasus bayi berusia 1- 5 tahun yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia mencapai 1 persen. Dalam rentang umur ini, bayi yang berumur di bawah satu tahun paling rentan meninggal dengan tingkat kematian 4 persen jika terpapar virus ini, dibandingkan anak-anak berusia 1 – 18 tahun yang tingkat kematiannya 1 persen jika terpapar.
Adapun anak berusia 6 – 18 tahun yang meninggal 1,1 persen, umur 19 – 30 tahun 5,1 persen, umur 31- 45 tahun 15,3 persen, umur 46 – 59 tahun 38,7 persen, dan di atas 60 tahun 38,8 persen.
Angka kematian anak di Indonesia ini tergolong tinggi. Data Ourworldindata.org yang dibangun oleh Oxford University dan tim menyebutkan, di Korea Selatan, China, Spanyol, hingga Italia, tidak ada anak usia 0 – 9 tahun yang meninggal karena Covid-19. Sementara anak berusia 10 – 19 tahun yang meninggal di empat negara tersebut berkisar 0 persen – 0,2 persen.
“Sebenarnya, kalau dilihat proporsi anak (5-14 tahun) menderita Covid-19 secara global kurang dari 5 persen dan Indonesia sekitar 6,8 persen, artinya anak-anak di Indonesia lebih rentan. Padahal, ini dalam kondisi anak-anak masih dilindungi di rumah. Bagaimana kalau sekolah makin banyak dibuka?” kata Yogi.
Demikian halnya, menurut Yogi, tingkat kematian anak-anak di Indonesia lebih tinggi dari negara lain. “Ini karena kita ada masalah kesehatan anak sebelum adanya pandemi, di antaranya faktor gizi buruk, selain juga obesitas. Radang paru-paru menjadi penyebab utama kematian anak di Indonesia,” katanya.
Dengan pertimbangan kesehatan dan keselamatan anak, menurut Yogi, IDAI tegas menolak pemerintah buru-buru membuka sekolah. “Saat ini puncak gelombang pertama belum kelihatan. Angka kasus masih naik terus, termasuk di kalangan anak-anak. Saya kebetulan merawat anak yang sakit Covid-19 dan 80-90 persen tertular dari orang dewasa di sekitar mereka, dan sebagian kondisinya kritis,” tuturnya.
Yogi memaparkan, persyaratan epidemiologi berupa terkendalinya penularan, tidak bisa ditawar-tawar, sebelum dibukanya kembali sekolah. “Kami tidak setuju dengan zonasi. Apakah zonasi menjamin anak-anak atau guru dari zona merah misalnya yang belajar atau mengajar di zona hijau. Selama tidak ada pembatasan mobilitas antara wilayah, zonasi itu tidak ada artinya,” ungkapnya.
Rentan menularkan
Selain rentan tertular, anak-anak terbukti bisa menularkan Covid-19 ke orang lain. “WHO sudah menegaskan, anak-anak dapat tertular Covid-19, dapat meninggal, dan dapat menularkan penyakit ini ke orang lain,” kata Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University.
Dicky menyebutkan, banyak studi yang menunjukkan penutupan atau pembukaan sekolah sangat berhubungan dengan jumlah kasus kesakitan dan kematian akibat Covid-19 di suatu wilayah. Ini misalnya disebutkan dalam studi oleh Katherine A. Auger dari University of Cincinati, Ohio dan tim dalam studi yang dipublikasikan di The Journal of the American Medical Association (JAMA) pada 29 Juli 2020.
Kajian ini menyatakan, penutupan sekolah di AS pada periode 9 Maret hingga 7 Mei 2020 telah menurunkan secara signifikan kasus dan kematian akibat Covid-19. Jumlah kasus menurun hingga 62 persen per minggu dan kematian berkurang hingga 58 persen per minggu.
Yogi menambahkan, bukti bahwa anak-anak bisa menularkan Covid-19 juga harus menjadi pertimbangan dalam pembukaan sekolah. “Selain menularkan ke sesama anak, mereka juga bisa menularkan ke guru-guru dan juga orang tua mereka. Penularan juga bisa terjadi di perjalanan menuju sekolah,” katanya.
Studi terbaru dari Taylor Heald-Sargent dari 2Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago dan tim menunjukkan, anak-anak yang positif Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang memiliki viral load atau konsentrasi virus SARS-CoV-2 di saluran pernapasan. mereka setinggi orang dewasa. Bahkan, untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun atau balita memiliki viral load lebih tinggi di bandingkan anak-anak lebih tua dan orang dewasa.
Studi yang dipublikasikan di jurnal JAMA Pediatrics pada 30 Juli 2020 ini menyebutkan, anak kecil berpotensi menjadi pendorong penting penyebaran SARS-CoV-2 di populasi. Selain implikasi pada kesehatan masyarakat, populasi anak-anak usia dini ini juga penting diperhitungkan bagi target imunisasi jika vaksin SARS-CoV-2 nanti telah tersedia.
Anak-anak di Kampung Kebonjukut, Kelurahan Babakan Pasar, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, saat belajar sejenak di tepian Sungai Ciliwung, Kamis (6/8/2020). Belajar di tepian sungai ini untuk mencari jaringan yang baik untuk pembelajaran daring di tengah pemukiman mereka yang padat dan susah jaringan internet.
Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono mengatakan, relaksasi pembukaan sekolah akan dimulai dari wilayah yang punya keterbatasan akses pembelajaran jarak jauh. Ada 450.000 satuan pendidikan yang tak punya aliran listrik dan internet. Wilayah ini perlu dipastikan berisiko rendah dari penularan Covid-19.
Menurut rencana, teknis relaksasi pembukaan sekolah diumumkan Jumat (7/8) ini. ”Jika protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19 berjalan, relaksasi bisa dilakukan. Tidak hanya daerah di zona hijau, tapi zona kuning pun diizinkan dengan melihat satuan terkecil wilayah, yakni desa,” katanya.
Namun, ada tantangan relaksasi pembukaan sekolah terutama risiko penularan Covid-19 pada anak. Meski protokol kesehatan berjalan baik di sekolah, risiko penularan dijumpai dalam perjalanan dari rumah ke sekolah.
Untuk itu, relaksasi pembukaan sekolah harus diikuti evaluasi ketat. Pembukaan sekolah harus dimulai dari tingkat pendidikan lebih tinggi, yakni SMA dan SMK. Pendidikan anak usia dini tak dianjurkan dibuka. ”Jam belajar siswa dan jumlah siswa akan dibatasi 25 persen saat masuk. Pastikan protokol kesehatan, dari penggunaan masker hingga fasilitas cuci tangan tersedia,” kata Agus.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Anastasia Rima mengatakan, banyak orangtua dan guru salah kaprah memaknai pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 mengajak guru dan orangtua tak fokus pada pencapaian akademik saat PJJ, tetapi fokus pada keterampilan hidup.
Menurut Agus, penerapan sanksi pada pelanggar protokol kesehatan memperkuat pencegahan Covid-19 di masa transisi pembukaan sekolah. Hal itu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan mengatakan, Kementerian Dalam Negeri perlu memastikan tiap kepala daerah segera menerbitkan aturan turunan pemberlakuan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Tanpa aturan turunan itu, sanksi tidak bisa diterapkan di masyarakat.
Adapun uji klinis fase tiga calon vaksin Covid-19 produksi Sinovac asal China akan digelar di Kota Bandung mulai Selasa (11/8). (TAN/TAM/MED)
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2020