Jumlah peneliti di Indonesia amat sedikit ketimbang populasi penduduk yang kini sekitar 250 juta jiwa. Untuk mendorong minat siswa jadi peneliti, perlu pembinaan sejak dini dan berkesinambungan dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.
“Sejak dini, anak perlu ditumbuhkan rasa ingin tahu fenomena alam, sikap kritis, kreatif, inovatif, untuk memecahkan masalah,” kata Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Supriano, Minggu (25/10), saat dihubungi dari Jakarta. Itu disampaikan terkait adanya Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) ke-12, di Bali, hingga Rabu (28/10).
Dalam membina dan mendidik siswa agar berminat meneliti, perlu dimulai sejak tahap pembibitan pada usia sekolah dasar, lalu menumbuhkembangkan di sekolah menengah pertama (SMP), dan pembinaan di tingkat sekolah menengah atas (SMA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemupukan semangat ilmiah harus berlanjut dan tak terbatas pada karya ilmiah. “Mereka perlu ditantang menghasilkan inovasi bernilai tambah bagi industri dan lingkungan,” ujar Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe.
Sekolah rujukan
Pembinaan siswa untuk gemar meneliti harus dimulai dari lembaga pendidikan atau sekolah dan guru. “Dalam menumbuhkan kemampuan berkreasi dan inovatif pada siswa di daerah, akan dilaksanakan program sekolah rujukan. Untuk itu, akan dipilih minimal satu sekolah rujukan per kabupaten,” kata Supriano.
Pada tahap awal, program itu akan diterapkan di 200 sekolah berakreditasi A atau pernah jadi rintisan sekolah bertaraf internasional. Sekolah rujukan itu akan jadi sekolah induk untuk melayani atau membina sekolah lain dalam satu kluster.
Untuk pendampingan siswa dengan pola itu, dari tiap daerah pihaknya akan memilih 10 guru terbaik untuk dilatih membina KIR (kelompok ilmiah remaja). “Program itu akan dilaksanakan tahun depan,” kata Supriano.
Ketua Dewan Juri LPIR ke-12, Prof Wahyuddin Latunreng sependapat tentang perlunya kaderisasi guru kreatif. Para guru itu diharapkan bisa memotivasi dan membina peserta didik untuk menghasilkan karya ilmiah.
Sejauh ini, ada 35.000 SMP di Indonesia. Jika 10 persen dari jumlah total SMP itu atau 3.500 sekolah membentuk KIR, itu dinilai sudah bagus. “Keikutsertaan SMP di LPIR mengindikasikan rendahnya kegiatan riset di kalangan remaja,” ucap Wahyuddin.
Di perguruan tinggi, Kemenristek Dikti menerapkan program Desa Inovasi untuk mengembangkan hasil riset dari perguruan tinggi, terutama bagi peneliti dan dosen. “Inovasi yang dihasilkan harus memberi nilai tambah bagi warga,” kata Direktur Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi Kemenristek Dikti Retno Sumekar.
Pada tahap awal, empat desa ditetapkan di antaranya di Lumajang dan Bandung. Inovasi teknologi yang diterapkan antara lain dari Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor, berupa teknologi pertanian, peternakan, dan teknologi informasi. “Kegiatan itu didukung perbankan, ini menentukan keberlanjutan program,” ujarnya.
Jumain menambahkan, tanpa dukungan lembaga keuangan dan ada lembaga pengelola di daerah, program bisa berhenti. Selain itu, minat mahasiswa dan dosen dalam riset didorong untuk menghasilkan inovasi yang bisa diproduksi industri. (YUN)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Tumbuhkan Jiwa Inovatif sejak Dini”.