Sebagian ahli mengusulkan pemerintah segera memberlakukan karantina, terutama di wilayah zona penularan Covid-19. Langkah ini dipandang akan lebih efektif ketimbang penjarakan sosial yang tak berjalan maksimal.
AP PHOTO/ DAR YASIN–Tentara India berjaga di Srinagar, Kashmir, India, pada hari pertama karantina nasional, Rabu (25/3/2020). Pemerintah India memutuskan melakukan karantina nasional kepada lebih dari satu miliar warganya untuk menekan penyebaran virus korona tipe baru yang menjadi penyebab mewabahnya Covid-19. Karantina nasional itu diberlakukan selama tiga pekan atau 21 hari. Hingga Rabu (25/3/2020) pukul 15.00 WIB, jumlah penderita Covid-19 di India sebanyak 562 orang dengan korban meninggal 10 orang dan pasien sembuh 40 orang.
Penularan Covid-19 yang melaju kencang menuntut langkah progresif dengan mengutamakan keselamatan nyawa penduduk. Kegagalan imbauan pembatasan jarak harus diikuti ketegasan untuk mengarantina pusat wabah agar tidak semakin menyebar ke berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Para ahli sepakat bahwa pembatasan sosial berupa lockdown atau karantina yang lebih agresif seharusnya diberlakukan di wilayah yang sudah menjadi episenter Covid-19, seperti Jabodetabek.
Rekomendasi ini telah disampaikan oleh para ahli kesehatan dalam pembahasan mengenai strategi mengatasi wabah Covid-19 dengan melibatkan Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 dan Sekretaris Kabinet pada 16 Maret 2020. Di antara ahli tersebut adalah Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto dan Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia Akmal Taher.
Berikutnya, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) juga telah mengeluarkan rekomendasi agar Presiden Joko Widodo mempertimbangkan local lockdown atau karantina wilayah secara selektif sebagai salah satu alternatif bagi Indonesia. Disebutkan dalam rekomendasi yang ditandatangani pada 26 Maret 2020, local lockdown atau karantina wilayah menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan merupakan sebuah langkah menutup sebuah wilayah atau provinsi yang sudah terjangkit infeksi Covid-19.
Hal ini dimaksudkan unuk memutus rantai penularan infeksi, baik di dalam maupun di luar wilayah. Karantina wilayah disarankan dilakukan selama minimal 14 hari di provinsi-provinsi yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 atau daerah lain dengan berbagai pertimbangan.
Karantina wilayah akan memudahkan negara menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit, sumber daya manusia, alat pelindung diri, dan fasilitas rumah sakit. Pelaksanaan local lockdown dilakukan dengan melibatkan kerja sama lintas sektor yang matang dan melibatkan pemerintah daerah.
Dalam dokumen tertulis yang ditandatangani Ketua Dewan Guru Besar UI Siti Setiati itu juga dilampirkan perhitungan kebutuhan dana yang harus disiapkan negara untuk menjamin kehidupan masyarakat di wilayah karantina, terutama masyarakat miskin, selama dua pekan. Disebutkan, negara perlu mengeluarkan anggaran sekitar Rp 4 triliun untuk biaya lockdown di Jakarta.
”Surat yang beredar sebenarnya masih draf walaupun substansinya memang benar bahwa kami menyarankan adanya karantina wilayah. Ini karena kami melihat anjuran melakukan pembatasan jarak tidak efektif. Harus ada kekuatan yang memaksa orang di dalam rumah sehingga penularan virus bisa direm,” kata Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UI Ari Fahrial Syam di Jakarta, Jumat (27/3/2020).
Menurut Ari, karantina wilayah harus dilakukan segera karena saat ini arus mudik dari Jabodetabek ke daerah semakin deras. ”Jika tidak segera, ini akan menyebabkan ledakan wabah di daerah-daerah dan tidak mampu lagi ditangani layanan kesehatan kita. Banyak informasi bahwa kasus positif Covid-19 di daerah berasal dari Jakarta. Apalagi saat ini sudah banyak sejawat dan guru besar kami yang meninggal karena Covid-19,” katanya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indoseia (IDI) Adib Khumaidi juga mengharapkan pemerintah bisa melakukan karantina wilayah untuk mengurangi laju sebaran dan penambahan kasus infeksi sehingga pelayanan medis bisa dioptimalkan. ”Kami tidak ingin berpolitik, tetapi kondisi saat ini memang mengkhawatirkan. Layanan kesehatan bisa lumpuh kalau arus wabah meledak di mana-mana,” ujarnya.
Ari juga menegaskan, para tenaga medis saat ini sangat terpukul dengan banyaknya sejawat mereka yang menjadi korban.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Petugas menyemprotkan cairan disinfektan ke kendaraan dari arah Sidoarjo yang baru masuk ke Kota Surabaya di Jalan Ahmad Yani, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/3/2020). Intensitas penyemprotan terus ditingkatkan oleh sejumlah pihak untuk menekan penyebaran wabah Covid-19. Untuk memberlakukan kawasan tertib pembatasan sosial, diberlakukan penutupan dari Jumat hingga Minggu di Jalan Darmo dan Jalan Tunjungan.
Ledakan wabah
Pemodelan yang dilakukan oleh Budi Sulistyo, peneliti dari Senior Sharing Vision Indonesia, dan Dimitri Mahayana, pengajar di Institut Teknologi Bandung, menunjukkan adanya perbedaan sangat besar jika pemerintah memberlakukan karantina wilayah yang ketat dan jika melonggarkan pembatasan seperti saat ini.
”Kalau pembatasan jarak fisik longgar seperti saat ini, wabah akan berlarut-larut. Estimasi moderat kami, jumlah akumulasi kasus Covid-19 akan menjadi 189.200 pada Mei 2020 dengan penambahan kasus harian saat puncak wabah 14.720,” kata Budi.
Sementara itu, jika dilakukan pembatasan jarak fisik yang ketat melalui karantina wilayah, sebaran wabah bisa ditekan menjadi 11.070 pada Mei 2020 dengan penambahan kasus harian saat puncak wabah 821. Budi mengatakan, perhitungan ini menggunakan pemodelan sistem dinamik. ”Angka-angka ini masih dengan skenario moderat. Kasus riil yang terinfeksi minimal dikalikan lima dari kasus yang dikonfirmasi,” ujarnya.
Iqbal Elyazar, peneliti biostatistik di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), mengatakan, dengan model penanganan saat ini, angka penularan Covid-19 di Indonesia akan menjadi 71.000 kasus pada akhir April 2020. Proyeksi ini dilakukan dengan menggunakan model penambahan kasus seperti Italia, yaitu penambahan kasus menjadi dua kali lipat sama dengan Italia, yaitu per lima hari.
Namun, pada Jumat, 27 Maret 2020, angka kasus di Indonesia ternyata sudah mencapai 1.046 dan jumlah kematian 87 orang. Ini berarti lonjakan kasus di Indonesia bisa lebih besar dari model Iqbal. Selain itu, angka kematian rata-rata akibat Covid-19 mencapai 8,3 persen atau jauh lebih tinggi dari kematian rata-rata di dunia saat ini sebesar 4,5 persen.
Karantina bantu tenaga medis
Wakil Direktur Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, karantina wilayah akan membantu tenaga medis dan laboratorium pemeriksaan untuk bekerja melakukan penapisan dan perawatan pasien secara maksimal. Karantina wilayah ini harus diikuti pemeriksaan yang masif dan penelusuran riwayat kontak untuk mengeliminasi penularan.
”Saya kira, semua laboratorium yang dirujuk telah kewalahan menganalisis sampel, apalagi stok reagen dan alat untuk swab mulai menipis sehingga harus impor lagi. Untuk transport virus, kami bisa buat sendiri dan sudah 2.000 yang kami bagi ke lab-lab lain di daerah,” katanya.
Data yang didapat Kompas, sejauh ini seluruh laboratorium di Indonesia hanya bisa memeriksa sampel 400-600 per hari. ”Eijkman per hari bisa menganalisis 160 sampel,” kata Herawati.
Ari mengatakan, antrean spesimen yang harus diperiksa oleh UI saat ini menumpuk sebanyak 800. ”Semua lab saya kira mengalami persoalan yang sama. Kita semua kewalahan karena sebelumnya tidak ada persiapan. Selama Januari-Februari masih ego sektoral,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 27 Maret 2020