Sejumlah organisasi pasien kanker dan profesi medis memprotes keputusan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang tidak lagi menanggung trastuzumab, obat kanker payudara, mulai 1 April nanti. Keputusan ini dinilai akan berdampak pada menurunnya harapan hidup pasien payudara.
Penyintas kanker payudara yang juag salah seorang pendiri Lovepink, organisasi yang bergerak di bidang yang terkait kanker payudara, Shanti Persada, Minggu (11/3), mengatakan, dirinya tidak melihat alasan yang jelas mengapa trastuzumab dinilai efektif lagi untuk terapi kanker payudara. Obat ini justru sangat membantu pasien kanker payudara.
Saat ini, sekitar 80 persen pasien kanker payudara berobat ke dokter atau rumah sakit dalam kondisi sudah terlambat. Kankernya sudah memasuki stadium lanjut atau menyebar ke organ tubuh lain (metastasis).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mengeluarkan trastuzumab dari daftar obat yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan membuat tingkat kematian perempuan dengan kanker payudara semakin tinggi,” kata Shanti.
Shanti menilai, ketika menarik trastuzumab dari daftar obat yang tidak ditanggung, BPJS Kesehatan tidak memberikan solusi obat penggantinya.
BERNARDUS KURNIAWAN FEBRYANTO ALLVITRO–Lily Sulistyowati (kedua dari kanan), Direktur Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia saat memberikan penjelasan pada acara Media Briefing: Ayo Deteksi Dini Kanker Payudara dengan SADARI dan SADANIS, di Gedung Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (19/9).
Trastuzumab adalah salah satu obat yang biasa dipakai dalam terapi kanker payudara stadium lanjut. Obat ini bekerja dengan menghambat pertumbuhan gen human epidermal growth factor receptor-2 (HER2) yang terlalu cepat dalam sel kanker.
Merugikan pasien
Penyintas kanker payudara lainnya yang juga pendiri Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri, menyatakan, kebijakan BPJS Kesehatan tersebut sangat merugikan pasien terutama yang tidak mampu. Pasien kehilangan haknya untuk memeroleh kesehatan.
“Para pasien kaget, bingung, dan sedih. Bagaimana nasib mereka yang terdiagnosis kanker payudara HER-2 positif setelah 1 April 2018 akan memperoleh pengobatan,” katanya.
Aryanthi juga menambahkan, pihaknya sudah menyampaikan aspirasi ini kepada Komisi IX DPR RI agar meindaklanjutinya dengan memanggil BPJS Kesehatan dan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK).
Ketika dikonfirmasi, Asisten Sekretaris Utama Bidang Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat, menyampaikan, keputusan BPJS Kesehatan yang tidak lagi menjamin trastuzumab didasarkan atas keputusan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK).
Surat Keputusan Ketua DPK nomor 11/DPK/I/2018 itu menyatakan bahwa trastuzumab tidak lagi memiliki dasar indikasi medis untuk terapi kanker payudara dengan metastasis maupun restriksi.
Nopi menambahkan, keputusan itu berlaku mulai 1 April 2018. Pasien BPJS Kesehatan yang masih menjalani terapi menggunakan trastuzumab (sebelum 1 April 2018), penggunaan obat trastuzumab tersebut masih ditanggung BPJS Kesehatan hingga siklus pengobatannya selesai.
“Dikeluarkannya trastuzumab dari manfaat Jaminan Kesehatan Nasional tidak akan menghambat akses obat kanker karena masih ada pilihan obat lain dalam Formularium Nasional,” tuturnya.
Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Prof Aru Wisaksono Sudoyo, menuturkan, pihaknya memertanyakan dasar argumentasi DPK sebab selama ini tratuzumab justru merupakan salah satu obat kanker payudara yang efektif. Angka kesintasan pasien dengan trastuzumab lebih tinggi, yakni 31,2 bulan, dibandingkan dengan pasien yang tidak memakai trastuzumab, yaitu 22,7 bulan.
Memang, selain trastuzumab ada pilihan obat lain untuk terapi kanker payudara tapi harganya lebih mahal. Selain itu, efek sampingnya pun agak lebih banyak, seperti misalnya diare, muntah-muntah, radang telapak tangan, dan rasa lelah yang amat hebat. “Oleh karena itu, POI dan Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Indonesia protes,” ujar Aru.–ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 13 Maret 2018