Wahana pengorbit Bulan milik NASA menemukan bukti melimpahnya kandungan besi dan titanium oksida di bawah permukaan Bulan. Temuan itu makin membuktikan teori asal-sul Bulan yang berkaitan erat dengan pembentukan Bumi.
Wahana pengorbit Bulan milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat, Lunar Reconnaissance Orbiter, menemukan bukti melimpahnya kandungan besi dan titanium oksida di bawah permukaan Bulan. Temuan itu makin membuktikan teori asal-usul Bulan yang memiliki kaitan erat dengan terbentuknya Bumi.
Selama beberapa dekade, astronom maupun ahli keplanetan telah memperdebatkan asal mula terbentuknya Bulan sebagai satelit alam Bumi. Teori yang paling banyak diterima tentang asal Bulan itu adalah adanya benda seukuran Mars yang bertabrakan dengan jabang Bumi atau proto-Bumi pada miliaran tahun lalu di awal terbentuknya Bumi. Saat ini, umur Bumi sekitar 4,6 miliar tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tumbukan kedua benda itu membuat benda seukuran Mars hancur berkeping-keping dan sebagian permukaan proto-Bumi terhambur ke luar angkasa. Puing-puing sisa kehancuran benda seukuran Mars dan pecahan proto-Bumi itu kemudian mengelilingi Bumi dan membentuk sebuah cincin keplanetan. Puing-puing debu di cincin Bumi itu kemudian mengalami keruntuhan gravitasi, memadat, hingga membentuk Bulan seperti yang terlihat saat ini.
REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA—Bulan purnama super (supermoon) terlihat di Phrathat Doi Suthep di Chiang Mai, Thailand, 15 November 2016.
Namun, dari berbagai studi sebelumnya, komposisi kimiawi Bulan tidak mendukung kuat teori pembentukan Bulan tersebut. Jika sebagian materi Bulan tersusun atas materi dari permukaan Bumi yang hancur akibat tertumbuk benda seukuran Mars, seharusnya Bulan memiliki materi kimiawi yang mirip dengan Bumi.
Dataran tinggi di Bulan, yang dari Bumi terlihat sebagai bagian yang lebih terang, memiliki kandungan batuan dan mineral logam yang relatif lebih sedikit dibanding yang ada di Bumi. Kondisi itu akan logis jika saat tumbukan itu terjadi, Bumi sudah tersusun atas lapisan-lapisan dengan logam sebagai elemen yang massanya lebih berat sudah jatuh ke dalam permukaan Bumi dan berada di dekat inti Bumi.
Temuan Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) mampu menjelaskan perbedaan komposisi kimiawi tersebut. Menggunakan perangkat Miniature Radio Frequency (Mini-RF), radar untuk pemetaan geologi Bulan, mencari air, serta menguji sejumlah teknologi komunikasi, dan LRO menyapu belahan utara Bulan.
Penyapuan permukaan Bulan itu dilakukan untuk menentukan properti elektrik Bulan yang disebut konstanta dielektrik. Konstanta ini adalah angka yang membandingkan kemampuan suatu material mentransmisikan medan listrik di ruang hampa udara.
Transmisi medan listrik itu berguna untuk menemukan air di daerah bayang-bayang kawah Bulan yang terlindung dari panas Matahari. Proses transmisi itu juga bisa mengidentifikasi area yang memiliki kandungan logam lebih banyak yang terpapar ke permukaan Bulan, khususnya besi dan titanium oksida.
Hasilnya, peneliti menemukan bahwa konstanta dielektrik meningkat seiring dengan makin besarnya ukuran kawah meski sampai batas tertentu saja. Kawah dengan diamater 2-5 kilometer memiliki konstanta dielektrik yang meningkat seiring bertambahnya ukuran kawah. Namun untuk kawah dengan lebar 5-20 km, konstanta dielektriknya tetap stabil.
”Ini adalah hubungan yang mengejutkan di luar harapan kami,” kata Essam Heggy, salah satu peneliti dalam percobaan Mini-RF dari Universitas California Selatan di Los Angeles, AS, seperti dikutip Space, Senin (6/7/2020) dari situs Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA).
Peneliti menduga, pada kedalaman beberapa ratus meter dari permukaan Bulan terkandung sejumlah oksida. Makin ke dalam, makin kaya kandungan logamnya. Saat meteor atau asteroid menumpuk permukaan Bulan hingga memunculkan permukaan Bulan yang penuh kawah seperti sekarang, tumbukan meteor itu akan menyingkap lapisan permukaan Bulan dan mendorong logam di bagian lebih dalam ke luar ke permukaan Bulan.
KOMPAS/BUDI SUWARNA—Bulan purnama menggantung di perairan Desa Waha, Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (23/10/2010).
Proses itulah yang menjelaskan mengapa kandungan logam di dataran tinggi Bulan rendah. Sementara di dataran rendah atau laut (mare) Bulan yang terlihat dari Bumi sebagai bagian yang gelap memiliki kandungan logam yang lebih tinggi.
Untuk menguji teori tersebut, tim peneliti membandingkan citra radar Mini-RF pada bagian dasar kawah Bulan dengan peta oksida logam yang dihasilkan oleh sejumlah misi, seperti LRO Wide-Angel Camera, misi Selenological and Engineering Explorer (Selene) Jepang, dan Lunar Prospector milik NASA. Baik wahana Selena dan Lunar Prospector sudah tidak beroperasi lagi, tetapi datanya tetap tersedia.
Pengamatan tersebut menunjukkan bahwa kawah Bulan yang lebih besar memang mengandung logam lebih banyak. Ini mendukung hipotesis peneliti bahwa endapan logam yang terletak agak dalam di bawah permukaan Bulan terdorong ke permukaan Bulan saat permukaan Bulan ditumbuk meteor.
Temuan ini juga melengkapi sejumlah fenomena atau data unik yang diperoleh misi Gravity Recovery and Interior Laboratory (Grail) milik NASA pada 2019. Misi yang mengukur gravitasi Bulan itu menemukan ada banyak material padat dalam jumlah besar pada kedalaman puluhan hingga ratusan kilometer dari permukaan di wilayah cekungan Aitken di kutub selatan Bulan. Penggabungan temuan LRO dan Grail itu memberi simpulan bahwa logam di Bulan kemungkinan hanya terkonsentrasi di bagian tertentu Bulan.
Temuan LRO yang dipublikasikan di jurnal Earth and Planetary Science Letters, Rabu (1/7/2020), adalah satu langkah maju untuk memahami bagaimana Bulan terbentuk karena pengamatan menunjukkan bagaimana besi dan titanium oksida didistribuikan di bawah belahan utara Bulan. Dari sini, peneliti akan melihat belahan Bulan selatan untuk mencari seberapa besar kandungan logam yang ada di dasar kawah-kawah Bulan di sana.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 11 Juli 2020